Aku mengenal Mas Dawam Rahardjo melalui buku Pergolakan Pemikiran Islam, catatan harian Ahmad Wahib. Di awal kuliah di jurusan Aqidah Filsafat, IAIN/UIN Jakarta, buku itu perlu dibaca. Saya lupa kapan persisnya bertemu muka langsung dengannya. Mungkin di salah satu seminar di kampus, atau sebuah diskusi JIL di Utan Kayu. Yang saya ingat, pertemuan dengan Mas Dawam kemudian terjadi di banyak tempat: ruang diskusi, seminar, dan di tengah demonstrasi. Foto di atas, kalau tidak salah, adalah aksi demonstrasi pertama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di depan Mabes Polri, setelah Kampus Mubarak JAI di Parung diserang pada 2005.
Pertemuan dengan Mas Dawam menjadi sangat intens, tentu saja, ketika saya bergabung dengan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) pada 2006. Di tempat ini, saya saksikan Mas Dawam beraktivitas persis seperti yang selama ini saya dengar dari para sahabat dan murid-muridnya. Dia adalah seorang pencari ilmu yang gigih. Setiap hari kantor diisi dengan percakapan tentang pikiran dan perjuangan.
Mas Dawam sangat terganggu dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Dia ingin melawan fatwa itu. Dari situ muncul gagasan untuk menggali pandangan para tokoh intelektual Muslim Indonesia tentang tiga tema tersebut, hingga lahir dua jilid buku tebal, Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme dan Pluralism.
Percakapan-percakapan dengan Mas Dawam selalu menarik. Semua yang ia sampaikan berangkat dari pertanyaan. Ia ingin menyelesaikan suatu perkara secara serius. Ia tambahkan referensi pada percakapan. Setiap saat ia perlu berhenti untuk sekadar mengingat-ingat di buku mana teori yang ia rujuk.
Saya kemudian usul kepada Mas Dawam agar percakapan-percakapan sore, siang, dan pagi itu direkam, atau setidaknya dicatat agar bisa ditulis secara lebih sistematis. Dia setuju. Mulailah saya mencatat dan kemudian menuliskan percakapan saya dengannya. Satu atau dua hasil percakapan itu kemudian terbit di Kompas dan koran lain.
Selain berdiskusi, aktivitas lain Mas Dawam di LSAF tentu saja adalah membaca. Setiap hari dia membaca. Di depan mejanya, buku bertumpuk-tumpuk. Dia membaca buku apa saja. Minatnya sangat luas: agama, ekonomi, politik, filsafat, sastra, dan mungkin juga hal-hal lain yang saya tidak tahu. Karena itu, berbicara dengannya bisa dimulai dari mana saja. Dia bukan tipe intelektual yang memilah-milah bahan bacaan. Dia seolah ingin membaca semua buku yang diterbitkan.
Mas Dawam memiliki dua kategori untuk sebuah tulisan: bagus banget dan buruk sekali. Tapi untuk karya buku, dia ingin baca semua, termasuk buku-buku baru dari penulis yang menurut saya hanya akan menyia-nyiakan umur untuk membacanya—tapi bagi Dawam Rahardjo tidak begitu, dia baca semua.
Yang mengesankan adalah bahwa gairah membaca semua buku itu dilakukannya dengan penderitaan. Penglihatannya bermasalah. Dia membaca dengan kaca pembesar. Di atas buku yang sedang dia baca, ada kaca pembesar. Demikian pula jika dia ingin menulis, font tulisan di komputer dibuat sangat besar.
Pada beberapa kesempatan saya berinisiatif untuk membacakan buku yang sedang dia baca. Kadang-kadang buku itu saya bawa pulang. Saya rekam di indekos. Esoknya rekaman itu dia dengarkan. Rekaman-rekaman itu menjadi lebih berguna ketika Mas Dawam beberapa kali masuk rumah sakit. Duh, Mas Dawam. Maafkan kami.
Suatu hari, Mas Dawam tiba-tiba ingin kembali menulis sastra. Saya kira itu terjadi di rumah sakit Medistra. Dia diktekan cerpen-cerpen yang ingin dia tuliskan. Kalau tidak salah ada sembilan cerpen yang berhasil ditulis dengan cara itu.
Salah satu ciri cerpen Mas Dawam adalah cerita yang beririsan secara intens dengan kehidupan nyata yang sedang ia alami. Nama-nama tokoh ia ambil dari nama orang-orang yang hidup di sekelilingnya, disertai dengan karakter dan profil yang sangat mirip. Berkali-kali saya terkecoh menganggap ceritanya itu adalah curhatan pribadi soal peristiwa nyata, ternyata hanya rekaaan.
Mas Dawam adalah seorang guru dan sahabat sekaligus. Kami memanggilnya Mas, walaupun secara umum dia pantas kami panggil Ayah atau Kakek. Kadang-kadang kami menyebutnya MDR (Mas Dawam Rahardjo).
Dawam Rahardjo bukan tipe intelektual senior yang membatasi pergaulan. Semua orang diajak bertukar-pikiran. Itulah yang menyebabkan Mas Dawam memiliki banyak sekali murid. Dia mengkader siapa saja. Saya bersyukur pernah belajar langsung padanya.
Selamat jalan, Mas Dawam. Terima kasih atas pelajaran, inspirasi, semangat, dan pengaruh yang demikian besar pada diri saya dan juga pada murid-muridmu yang lain. Kami akan menyusulmu, Mas.