Jumat, April 19, 2024

Darurat Kebebasan Pendirian Rumah Ibadah

Arfianto Purbolaksono
Arfianto Purbolaksono
Peneliti The Indonesian Institute (TII), Jakarta
Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia mengikuti kebaktian di halaman Tugu Proklamasi, Jakarta, Minggu (16/8). Mereka berharap Presiden Joko Widodo segera menegakkan hukum dan konstitusi terkait kasus GKI Yasmin dan HKBP Fladelfia. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pd/15.
Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia mengikuti kebaktian di halaman Tugu Proklamasi, Jakarta, Minggu (16/8). Mereka berharap Presiden Joko Widodo segera menegakkan hukum dan konstitusi terkait kasus GKI Yasmin dan HKBP Fladelfia. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

Konflik yang berlatar belakang pendirian rumah ibadah semakin hari semakin marak terjadi di Indonesia. Setelah kasus Singkil dan Manokwari, yang terbaru terjadi pembakaran terhadap rumah ibadah Penghayat Kepercayaan Sapta Darma di Rembang, Jawa Tengah, serta penolakan pendirian masjid As-Syuhada di Bitung.

Hal ini jelas menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia sedang dalam kondisi darurat kebebasan pendirian rumah ibadah. Melihat kondisi ini tentu kita sangat prihatin dan bukan mustahil perjalanan bangsa ke depan cukup mengkhawatirkan.

Padahal, kebebasan dan kerukunan beragama di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E mengenai kebebasan beragama dan beribadah. Juga pasal 29 yang memberikan jaminan menjalankan agama dan kepercayaan. Namun, ,sayangnya amanat konstitusi ini belum terlaksana hingga kini.

Jika dicermati, salah satu penyebab konflik pendirian rumah ibadah di negeri ini adalah kebijakan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM 2006) yang menjadi pedoman hingga saat ini. Kebijakan ini justru menjadi dasar mempersulit umat beragama untuk mendirikan rumah ibadahnya.

Pada Pasal 14 ayat 2 (a) disebutkan bahwa diperlukan daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat, minimal 90 orang, yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Kemudian di poin (b) disebutkan bahwa diperlukan dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala desa. Persoalan persyaratan administrasi inilah yang biasanya akan memunculkan permasalahan yang berujung konflik.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak memiliki political will menyelesaikan persoalan ini. Bahkan banyak kepala daerah yang mengganggap ini bukan bagian dari program prioritas utamanya. Tak sedikit dari mereka yang memprioritaskan program-program yang bersifat populis di mata masyarakat. Hal ini jelas karena program-program yang bersifat populis menyangkut dengan kepentingan kepala daerah tersebut untuk kelangsungan pemerintahannya maupun menjaga peluangnya terpilih kembali di periode selanjutnya.

Padahal, tiap kepala daerah harus menyadari bahwa pembiaran terhadap persoalan ini akan mengganggu ketentraman dan ketertiban di daerah tersebut di kemudian hari. Ketika ketentraman dan ketertiban daerah terganggu, pelayan publik dan pembangunan daerah akan terhambat, sehingga masyarakat akan menjadi korban.
Apalagi jika pemerintah baik pusat maupun di daerah tidak dapat bertindak adil jika sudah berhadapan dengan tekanan massa. Seharusnya pemerintah dapat menegakkan hukum secara tegas dan adil.

Sebagai bentuk dari pelayanan publik, kebijakan pendirian rumah ibadah harus bersifat non-diskriminatif dan menjamin adanya persamaan warga tanpa membedakan asal usul, suku, ras, etnik, dan agama.

Menurut paradigma new public service, pelayanan publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik. Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan warga negara dan kelompok komunitas. Dengan demikian, karakter dan nilai yang terkandung di dalam pelayanan publik tersebut harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Karena masyarakat dinamis, maka karakter pelayan publik juga harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat (Agus Dwiyanto, 2006).

Maraknya konflik pendirian rumah ibadah memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, diperlukan beberapa langkah untuk menanganinya. Pertama, mencabut PBM 2006, karena aturan ini dinilai diskriminatif dan kurang efektif dalam pelaksanaannya.

Kedua, pemerintah dan DPR harus mendorong secara serius RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). RUU PUB yang tengah digulirkan pemerintah diharapkan menjawab problematika yang berkembang saat ini. Dengan adanya UU diharapkan dapat memberikan payung hukum yang jelas bagi pemerintah, baik pusat dan daerah, untuk mengatur kerukunan agama (khususnya yang menyangkut pengaturan pendirian rumah ibadah) dengan non-diskriminatif.

Ketiga, mendesak pemerintah untuk secara tegas menegakkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan, kebhinekaan, dan kesetaraan. Penegakan hukum ditujukan kepada siapa pun yang melakukan pelanggaran–apa pun agama dan keyakinannya. Ketegasan terhadap kelompok intoleran yang melakukan tindak kekerasan atas nama agama.

Arfianto Purbolaksono
Arfianto Purbolaksono
Peneliti The Indonesian Institute (TII), Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.