Santri semakin naik daun di negeri kita ini. Sejak empat tahun lalu, santri telah memiliki hari nasional. Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Jalan panjang Rancangan Undang-Undang Pesantren semakin dekat dengan pengesahan. Dan, yang paling kontroversial, film The Santri besutan sutradara Livi Zheng memancing perhatian dari banyak pihak.
Tapi, apa sebenarnya definisi santri? Siapa sajakah yang berhak disebut santri? Menilik gerakan Ayo Mondok, yang diprakarsai oleh Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) atau Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama, apakah sebutan santri hanya khusus buat mereka yang mondok di pesantren, wabil khusus pesantren NU? Bagaimana kalau mengaji di luar pesantren, atau berkhidmat pada mursyid tarekat? Atau yang selain itu
Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri NU, berpetuah, ”Siapa yang mengurus NU, saya anggap santriku.” Masih disambung dengan doa, sebagaimana yang dia serukan, ”Siapa yang menjadi santriku, saya doakan husnul khotimah beserta keluarganya.” Tidak ada syarat spesifik selain mengurus NU. Latar belakang orang itu, siapa pun dia, terbuka lebar dan tidak dibatasi oleh ketentuan dia harus lulusan pesantren dan fasih berdalil.
Prof KH Said Aqil Siroj MA, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, memiliki definisi yang lebih luas lagi. Kepada media, dia pernah mengungkapkan, santri adalah umat yang menerima ajaran Islam dari para kiai yang belajar Islam dari guru-gurunya yang terhubung sampai Rasulullah Saw. Lalu, para santri ikut mendakwahkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin lewat jalan budaya yang mengutamakan akhlak mulia.
Prof KH Ma’ruf Amin sepakat untuk tidak selalu melekatkan stempel pesantren pada siapa pun yang ingin disebut santri. Yang prinsip, dia mengikuti kiai. Apakah pernah mengaji di pesantren atau tidak, bisa baca kitab atau tidak, pernah mondok atau hanya sesekali datang ke pondok, atau sewaktu-waktu sowan kepada kiai, yang terpenting adalah barangsiapa patuh dan taat kepada kiai, maka dia seorang santri. Anda yang mana?
Robi, penderek (pengikut) KH Syarofuddin Qoumas, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, bahkan tidak sekadar manut kepada kiai. Dia bergabung dengan SK NU, singkatan dari Sopir Kiai Nusantara. Di seluruh Indonesia, terutama terbesar di Pulau Jawa, anggota organisasi para sopir kiai ini telah mencapai 800 orang. Merekalah orang di balik kemudi para kiai yang hilir-mudik sehari-hari ke berbagai penjuru daerah mengelola urusan umat.
Saya termasuk yang berkeyakinan bahwa seorang santri hanya memiliki dua pilihan: jika tak pandai mengaji, maka ia harus lihai mengabdi. Dan, kurang lebih inilah rupanya yang oleh para sopir dijadikan pedoman. Tidak selalu mereka bisa menyimak materi yang disampaikan sang kiai, karena harus pintar mencari celah waktu untuk istirahat sebelum melanjutkan perjalanan, tapi para sopir kiai berkhidmat mengabdi lillahi ta’ala.
Sejak fenomena tentang KH Ahmad Bahauddin Nursalim semakin ramai di media sosial, banyak pula kalangan yang semula tak mengenal dunia pesantren menjadi rajin menghadiri pengajian-pengajian murid kesayangan mendiang KH Maimoen Zubair. Mereka sering mengutip petuah Gus Baha’, yang kini Rais Syuriah PBNU. Begitu pula pengajian Gus Muwaffiq, kajian Ihya Ulumuddin Gus Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lain. Kajian mereka dipoles tampilannya menjadi konten YouTube, meme, wisdom quotes, dan sebagainya.
Gus Novianto Said, Ketua Pengurus Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, lain lagi. Dia dan teman-temannya merangkul para remaja broken home, pengguna narkoba, penjaja seks komersil, preman, pengamen, hingga pelajar sekolah yang terpapar radikalisme dan terorisme untuk diajak pelan-pelan mengaji dan sowan kiai. “Kami bikin kaos bertuliskan Nderek Kiai Kampung,” ujarnya.
Begitu luasnya makna santri hingga tidak eksklusif sebagai hanya milik pesantren. Katib Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, mengatakan, santri berasal dari kata cantrik, yaitu seseorang yang berguru dan berbakti kepada seorang tokoh agama, pertapa atau orang sakti. “Cantrik sudah ada di Nusantara sebelum Islam masuk. Sebelum pesantren ada di sini, sudah lebih dulu ada padepokan, perguruan, pawiyatan,” ungkap Kiai Yahya.
Sistem pendidikan dan pengajaran melekat dan tertanam, embedded, menurut kiai yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini, ialah khas Nusantara. Cantrik tidak hanya berguru, namun tinggal berdekatan dengan gurunya, melihat langsung bagaimana guru menjalani kehidupan, belajar dari praktik sehari-hari, tidak berhenti pada kitab dan hapalan. “Dari cantrik, jadi santri,” tuturnya. Dan, nilai terpentingnya adalah pada adab.
Karena cantrik ini khas Nusantara, dan yang paling khas dari Nusantara adalah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu jua, Kiai Yahya mendefinisi ulang makna santri. Tidak eksklusif, tidak elitis, tak lagi hanya ukhuwah islamiyah (persaudaraan seagama), namun ukhuwah wathoniyah (persaudaraan setanah air) dan ukhuwah basyariah (persaudaraan semanusia). “Santri haruslah menjadi etos intelektual berwatak Nusantara,” tegasnya.
Beda lagi tinjauan KH Zawawi Imron. Sang Celurit Emas dari Madura ini menerangkan, santri berasal dari kata shastri, satu akar kata dengan shastra dalam bahasa Sansekerta. “Shastri adalah orang yang belajar kalimat-kalimat suci dan indah. Itu di India sana. Di Nusantara, sejak Wali Sanga mendirikan lembaga pendidikan, para pencari ilmu juga disebut shastri, yang kemudian oleh lidah Jawa disebut santri,” papar kiai penyair ini.
Kalangan pesantren memiliki pandangan tersendiri dalam memaknai istilah santri. Mereka mengupas santri huruf per huruf, yang terdiri atas huruf sin (s), nun (n), ta’ (t), ra’ (r), dan ya (i). Sin untuk saafiqul khair, pelopor kebaikan. Nun untuk naasibul ‘ulama, penerus ulama. Ta’ untuk taarikul ma’ashi, meninggalkan kemaksiatan. Ra’ untuk ridhallah, keridaan Allah. Ya’ untuk yaqin, menyakini benar-benar ajaran Islam.
Sesungguhnya, kunci dari segala tentang santri terdapat pada kiai. Pada bagaimana hormat, patuh, dan taatnya murid kepada mursyid, santri kepada kiai, siswa kepada guru. Dalam ceplosan populer, kita punya prinsip: gondelan sarunge kiai, berpegang bahkan pada sarung kiai alias mengikuti ke mana arah sang kiai. Cara gondelannya adalah dengan berpegang pada prinsip, bukan justru melepaskan pegangan itu.
Sineas film The Santri berikhtiar memaknai santri juga, rasanya. Namun, terlepas dari semua definisi santri, belajar itu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada manusia sepanjang waktu, sejak dilahirkan hingga kelak diwafatkan. Oleh karena itu, meski resolusi jihad difatwakan seorang kiai besar, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, hari nasional yang ditetapkan adalah Hari Santri. Sebab, Kiai Hasyim pun seorang santri, pembelajar.
Hanya saja, menurut KH Ahmad Mustofa Bisri, yang akrab disapa Gus Mus, santri di era media sosial semakin aneh. “Tak lagi tentang mengaji, ngalap berkah doa dari kiai dan mencium tangan, kini semakin banyak yang ngalap berkah selfie bersama kiai,” kelakarnya. Bahkan, Gus Mus mengaku pernah dijadikan “obyek foto” rombongan santri dari suatu daerah yang sowan dengan dua bus. Mereka minta foto, satu per satu.
Sampeyan juga begitu?
Bacaan terkait
Merayakan Hari Santri dengan Puisi
Santri, Nasionalisme, dan Jihad Zaman Now