Sidang kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai terdakwa benar-benar membuat saya termangu. Bagaimana tidak, dari sejak dilaporkannya Calon Gubernur DKI Jakarta Nomor Urut 2 ini, tak nampak sama sekali dasar yang jelas soal bukti bahwa si terlapor menistakan agama Islam ataupun menghina para ulama.
Meski ada bukti berupa rekaman video, isinya tidak membuktikan secara eksplisit akan tuduhan penistaan dan penghinaan tersebut. Yang ada adalah pidato soal program pemberdayaan budi daya kerapu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Bahwa program pemberdayaan ini harus terus dilanjutkan, meski dirinya (Ahok) tak terpilih lagi menjadi gubernur di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta Februari mendatang.
Tak hanya itu, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sama tidak berdasar dalam mengambil prosedur hukum yang berlaku. Ada sejumlah pasal yang tidak dipenuhi, seperti pasal tentang prosedur pemberian peringatan keras sebelum akhirnya Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Pasal tersebut termaktub dalam UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 yang sampai hari masih berlaku sebagai rangkaian dari hukum positif di Indonesia.
Kenyataan para pengambil hukum semacam ini justru diperparah dengan diaminkannya penolakan nota pembelaan (eksepsi) Ahok oleh majelis hakim. Seperti JPU, majelis hakim juga terang melangkahi aturan yang semestinya menjadi pertimbangan kuat. Tak salah ketika banyak pihak memberi penegasan bahwa Ahok adalah korban kriminalisasi politik SARA.
Ya, begitulah realitas prosedur hukum yang berjalan dalam persidangan Ahok dari hari ke hari. Mungkin memang begitulah konsekuensi kita yang hidup dalam naungan negara hukum. Sehingga segala keputusan hukum yang ada, timpang atau tidaknya, taat hukum adalah sikap yang diniscayakan keberadaannya.
Tapi belum juga usai kemuakan saya atas prosedur hukum yang berjalan, lagi-lagi ketermanguan saya itu muncul dalam sedang keempat yang berlangsung di Auditorium Kementerian Pertanian, kemarin (Selasa, 3/1/2017). Sejumlah saksi pelapor dari JPU, dilihat dari sisi latar belakang, tak satu pun di antaranya yang bisa saya nilai sebagai saksi yang patut mendapat perhatian.
Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada orang yang memberi kesaksian hukum padahal dirinya sendiri punya pengalaman yang tidak elok dalam sejarah hidupnya? Sebut, misalnya, Novel Chaidir Hasan. Sekretaris Jenderal DPD Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta ini pernah menjadi buron tersangka atas kasus unjuk rasa menolak Ahok yang berujung ricuh di tahun 2014. Ia dijerat pasal penghasutan, pengrusakan barang publik, dan melawan petugas.
Ketidaksukaan pada Ahok ini berlanjut ketika Novel melaporkan Ahok atas nama pribadinya. Ia menggugat Ahok secara perdata dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 204 juta. Ini tentu bisa jadi bukti bahwa saksi pelapor sama sekali tidak berdasar pada kasus penistaan agama, melainkan karena ketidaksukaan secara pribadi. Artinya, kasus dugaan penistaan agama ini menjadi momentum bagi Novel untuk kembali melayangkan perlawanan berdasar ketidaksukaannya pada Ahok.
Selain Novel, ada juga saksi pelapor bernama Gus Joy Setiawan. Kedudukannya sebagai Ketua Umum Koalisi Adovaksi Rakyat, yang pernah menyatakan dukungannya pada pasangan Agus-Sylvi, membuat perannya sebagai saksi patut dicurigai. Sebagai lawan politik, tentu Gus Joy memberi kesaksian semata hanya untuk menjegal Ahok sebagai peserta pilkada.
Muh. Burhanuddin juga menjadi salah satu dari gerombolan saksi pelapor itu. Dari pengalamannya sebagai advokat yang pernah membela Putu Sudiartana, salah seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang terkena operasi tangkap tangan KPK untuk kasus suap, membuat eksistensinya pun rapuh. Pembela koruptor, kok, mau didengar?
Adapun saksi-saksi pelapor lainnya, seperti Muchsin dan Samsu Hilal, adalah ketua umum ormas yang banyak diyakini sebagai ormas intoleran, yakni FPI dan Forum Anti Penistaan Agama (FAPA). Mana mungkin mereka mampu memberi kesaksian jeli kalau pada dasarnya saja mereka adalah pemimpin ormas intoleran?
Begitulah fakta-fakta di persidangan yang harus menjadi pertimbangan tim majelis hakim. Apalagi, dari kelima saksi pelapor di atas, tak satu pun di antaranya adalah saksi yang menyaksikan langsung ucapan Ahok di tempat kejadian perkara itu. Bagaimana mungkin saksi yang tidak melihat kejadian persisnya, kok, bisa jadi saksi? Sudikah kita mendengar kesaksian dari orang-orang semacam ini?