Dengan membeli bekas pemain Real Madrid yang telah berusia tiga puluh tiga seharga 100 juta Euro, Juventus ingin menjuarai Liga Champions Eropa. Mereka pasti sudah muak berkali-kali maju ke final dan kemudian kalah. Mereka tampaknya ingin seperti Real Madrid, yang setiap ke final hampir pasti juara. Mungkin untuk itu juga, selain menebus Cristiano Ronaldo, begitu pemain bekas itu disebut, mereka melepas Gianluigi Buffon, kiper legenda, seorang juara dunia, yang sayangnya tak pernah mengangkat piala kuping besar itu meskipun telah tampil di empat final. Buffon menuju klub besar lain yang sedang sangat kaya, yang juga sangat ingin juara Eropa: Paris Saint-Germain.
Dengan Cristiano Ronaldo berseragam putih-hitam, Juve sudah menjual jutaan kaos bahkan sebelum musim dimulai. Mereka juga sepertinya sudah mengkapling gelar Serie A kedelapan berturut-turut mereka. Mungkin kesembilan dan kesepuluhnya juga.
Selain menjamin Cristiano tak akan berurusan dengan persoalan pajak seperti yang dialaminya di Spanyol, memberinya kursi untuk menyanyi, Juve mesti membuatnya nyaman tanpa saingan di lini depan. Karena itu, Juve melepas bekas pemain Madrid yang lain: Gonzalo Higuain.
Selalu saja kegendutan dan dianggap mulai melamban, Higuain dipinjamkan ke AC Milan, sebuah klub yang dalam satu dekade terakhir tegak dan bertahan, dan ngos-ngosan, dengan pemain-pemain bekas dan/atau pinjaman. Selain Higuain, Tiémoué Bakayoko dan Franck Kessié adalah tiga pemain pinjaman penting yang diharapkan bisa menyelamatkan Milan musim ini. Juga pemain-pemain bekas, macam Pepe Reina dan Ivan Strinic. Jangan lupakan Ricardo Montolivo dan Ignazio Abate. Masukkan juga Halilovic dan Borini, jika mau menambah daftar. Seperti tak cukup puas dengan itu, mereka mengundang kembali Paolo Maldini dan Leonardo, dua bekas pemain mereka, selain mempertahankan Gennaro Gattuso, pelatih yang pernah dipecat klub macam Sion, Palermo, dan ditolak Hamilton Academical. Sayang, Carlo Ancelotti justru nyasar ke Napoli.
Sedang menguber-uber Luka Modric, pemain Madrid yang lain, Internazionale dianggap sebagai pesaing terdekat Juve musim ini. Cukup masuk akal melihat bagaimana mereka berhasil mempertemukan Luciano Spalletti dan Radja Nainggolan, dua bekas pelatih dan pemain Roma. Juga selama mereka bisa menjaga para finalis Piala Dunia Rusia mereka, Ivan Perisic dan Marcelo Brozović, dari renggutan klub lain. Dan sang kapten Mauro Icardi, tentu saja. Dan memastikan Wanda Nara, bekas istri Maxi Lopez itu, tetap mendampinginya.
Bekas Madrid yang lain, yang patungnya niscaya berdiri megah di setiap kepala pendukung Inter, Jose Mourinho, sedang sangat tidak nyaman dengan kursi bekas Sir Alex Ferguson di bangku cadangan Old Trafford. Mungkin ia sedang tidak kerasan dengan kamar hotelnya di Manchester dan kangen rumah dan keluarganya di London. Tapi, boleh jadi—seperti olok-olok yang sedang ramai di kalangan penulis dan penggemar bola Inggris—ia sedang mempersiapkan pesangon besar untuk diri dan masa depan anak-anaknya.
Mou sedang tidak senang klubnya, tapi terutama dengan Ed Woodward, Vice-Chairman Manchester United. Woodward, seorang pendukung klub divisi enam Chelmford City, memveto daftar pemain yang diminta Mou, yang itu membuat keranjang belanja MU lebih kecil dibanding klub-klub mungil macam Leicester City, West Ham, bahkan Fulham. Mou juga terkesan membenci para pemainnya sendiri. Mungkin saja, seperti biasa terjadi di musim ketiga masa kerjanya, ia sedang membenci semua hal di luar dirinya.
(Jadi, kesimpulannya, apakah MU nanti akan mengakhiri musim tanpa trofi Liga dalam enam tahun beruntun, atau dengan pelatih yang baru? Boleh jadi kedua-duanya.)
Tapi jangan salah, tak semua hal dibencinya. Ketika ditanya soal belanja Liverpool yang gila-gilaan awal musim ini, Mou bilang bahwa dia ikut berbahagia. Disertai senyum sumirnya, tentu saja. Dan tidak lupa, Mou meminta para wartawan agar mereka menuntut Jurgen Klopp meraih trofi pertamanya.
Dengan belanja 158 juta pound (terboros di antara klub-klub Inggris), dan mencetak empat gol di pertandingan pertama melawan West Ham, salah satunya oleh Mo Salah, bekas pemain Mou di Chelsea, tampaknya harapan juara para Kopites tak pernah sebesar musim ini. Tapi, sejujurnya, adakah harapan yang lebih besar melebihi harapan sekelompok suporter sebuah klub kaya sejarah yang sudah 28 tahun tak juara liga? Tapi, lebih jujurnya, bukankah harapan adalah ritual rutin awal musim pendukung Liverpool, yang di akhir musim biasanya ditutup dengan rutinitas yang lain, penghiburan diri yang itu-itu juga: “Mungkin musim depan juara.”
Mungkin musim ini juara (lagi) adalah bekas klub yoyo yang kini menjadi raksasa setelah sepuluh tahun dilumasi uang minyak Arab, Manchester City. Betul kata Mourinho baru-baru ini, bahwa uang tidak bisa membeli kelas. Tapi, City dan Pep Guardiola menunjukkan bahwa uang bisa membeli dan menciptakan pemain berkelas, dan pada akhirnya sebuah tim dengan permainan berkelas. Dan kelas mereka jauh, terlalu jauh, dari para pesaingnya. Sembilan belas poin musim lalu. Entah berapa poin musim depan.
Dan City dan Pep juga bisa membeli stabilitas, hal yang sedang hilang dari United, masih terus dicari di Liverpool, dan tengah dibongkar di Chelsea dan Arsenal. Setelah membakar uang selama nyaris sedekade, musim ini City ‘hanya’ membeli Riyad Mahrez dari Leicester City, dan mulai mempromosikan pemain-pemain akademi macam Phil Fodden dan Brahim Diaz. Siapa pun yang diturunkan, mereka memainkan sepakbola yang sama—sepakbola Pep. Sementara pemain terbaik mereka musim lalu, Kevin De Bruyne, duduk di tribun dengan kruk di sisi kursinya, mereka mencetak delapan gol di dua pertandingan pertama. Dua gol di antaranya dicetak di Emirates, kala menghadapi Arsenal-nya Emery, Arsenal yang ditinggal Arsene-nya setelah dua puluh dua tahun.
Ditinggal Cristiano Ronaldo dan Zinedine Zidane, Real Madrid dan Florentino Perez sepertinya tak terlalu peduli lagi citra galactico-nya. Tentu saja mereka masih mendatangkan pemain-pemain kelas langit seperti Thibaut Courtois, atau menghamburkan uang untuk pemain usia belasan yang belum teruji benar macam Vinicius Junior, dan mungkin masih mengendap-endap untuk sewaktu-waktu menangkap bahu Neymar atau Eden Hazard dan meminta tanda tangan kontrak mereka. Tapi, jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Barcelona, aktivitas Madrid di bursa transfer seperti angin sepoi di antara badai. Penunjukkan Luis Lopetegui, seorang bekas kiper cadangan di Madrid dan Barcelona, mungkin menegaskan Madrid yang lebih membumi musim ini.
Barcelona, sementara itu, masih bersama Lionel Messi. Tapi entah dengan La Masia. Setelah ditinggal Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, bekas-bekasnya tentu saja masih bisa ditemukan pada diri Gerard Pique, Sergio Busquet, dan Sergi Roberto—itu kenapa mereka adalah para wakil kapten di timnya. Juga, di bangku cadangan ada Rafinha dan Munir El Haddadi—itu kalau tak dipinjamkan lagi. Tapi selebihnya tak ada. Pemain-pemain baru Barca, yang mungkin akan menjadi pemain-pemain penting di masa mendatang, dididik oleh akademi-akademi klub lain dan didatangkan dengan bayaran mahal.
Namun para pendukung Barcelona tak perlu khawatir. Mungkin aura tiki-taka semakin tipis di Camp Nou, dan kita akan melihat lebih banyak umpan silang, dan Messi menendang dari jarak lebih jauh dan dengan lebih keras ke arah gawang dibanding sebelum-sebelumnya. Tapi, dengan catatan Ernesto Valverde bisa menangani taktik Diego Simeone dan ambisi besar Atletico Madrid musim ini, mereka akan kembali menjuarai La Liga. Mungkin Copa juga.
Barca, bersama Juventus, City, PSG, dan Bayern München, sepertinya akan membuat liga-liga besar Eropa tak akan mendapat juara baru di musim ini. Di Liga Champions, akan memalukan bagi tim-tim itu jika Real Madrid, juara terbanyak dan terlama Eropa, masih dibiarkan mempertahankan gelarnya.