Dalam tulisannya di Tempo (November 2013), Todung Mulya Lubis mengulas criminalized state, merujuk pada pendapat Robert Legvod tentang negara kriminal (criminal state) di Rusia. Dalam criminal state, negara melakukan tindakan kriminal sebagai kebijakan untuk menjarah uang.
Todung memperluas tafsir criminal state ini dengan tesis criminalized state dalam kasus Indonesia. Criminalized state merujuk pada kondisi saat negara dibajak oleh sekelompok orang yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri melalui berbagai tindakan, seperti membuat kebijakan, regulasi, peraturan daerah, dan putusan pengadilan. Tesis ini valid dan otentik.
Siapa bisa membantah jika selama 32 tahun di bawah rezim Orde Baru yang korup, Indonesia adalah criminalized state, seperti disebut Todung?
Criminalized state ala Orde Baru masih berlanjut kini. Orde Baru telah runtuh, meski tak sepenuhnya punah, jika merujuk pada sistem politik kekinian yang mewarisi mental Orde Baru. Persisnya, praktik penyalahgunaan kekuasaan yang kerap dilakukan penyelenggara negara dan penegak hukum.
Skenario pelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah contohnya. Ketika hukum tak berjalan di atas nalar kemanusiaan, maka tirani hukum atas nama keadilan terjadi. Satu per satu pimpinan KPK, penyidik, dan pegawai, juga Denny Indrayana (UGM), dan Yunus Husein (PPATK) dilaporkan ke kepolisian. Mereka dianggap mengganggu “kepentingan negara”. Inilah masa di mana negara melakukan kriminal (criminalized state) karena menghukum warga negara yang (sesungguhnya) sedang membela kepentingan negara.
Ini kejahatan dengan negara sebagai pelaku. Legitimasi kuasa negara yang diperoleh dari mandat demokrasi melalui pemilu langsung berubah men jadi tirani kuasa berselubung doktrin “penegakan hukum”. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Nilbaskara, law is a tool of crime. Perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya adalah kejahatan sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi hukum dan berada di dalam hukum (Nilbaskara, 2000).
Tirani hukum terjadi dalam beberapa kasus. Pertama, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan praperadilan Budi Gunawan melawan KPK. Putusan ini mengacaukan nalar hukum positif yang dianut. Putusan hakim Sarpin yang masuk pada pokok perkara dengan mengatakan BG bukan penegak hukum dan penyelenggara negara –sehingga KPK tak berwenang mengusut– menjadi bahan olok-olok dosen dan mahasiswa hukum semester pertama.
Putusan itu juga kental beraroma politis. Penyelidikan Komisi Yudisial menemukan fakta ternyata Sarpin bukan hakim yang ditunjuk untuk menangani gugatan praperadilan BG. Sarpin termasuk hakim bermasalah. Anehnya, Sarpin yang ditunjuk menjadi hakim praperadilan dan akibatnya fatal. Tafsir ngelantur Sarpin dalam putusan itu melabrak semua teori dan asas hukum pidana yang dianut. Anehnya lagi, negara seolah melindungi putusan itu. Mahkamah Agung menolak kasasi KPK dan tak mendorong pemeriksaan terhadap hakim Sarpin.
Kedua, kriminalisasi pimpinan, penyidik, dan pegawai KPK. Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dikriminalisasi saat sedang mengusut kasus korupsi. Adnan Pandu Praja, Zulkarnaen, dan Johan Budi juga terancam dikriminalisasi.
Novel Baswedan dijadikan tersangka atas kasus yang terjadi pada 2006. Dan 21 penyidik KPK yang sedang mengusut kasus korupsi juga terancam dikriminalisasi. Seakan belum lengkap, komisioner Komnas HAM juga terancam pidana saat disomasi oleh Bareskrim Polri terkait penyelidikan kasus penangkapan BW yang dianggap melanggar HAM.
Bukan memberikan solusi, Presiden Joko Widodo malah menambah masalah dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan mengirim dua Plt Pimpinan KPK yang dianggap membawa hidden agenda. Rekomendasi Tim 9 bentukan Presiden juga tidak dijalankan.
Pegiat antikorupsi Denny Indrayana juga dilapor kan pidana atas sangkaan korupsi dalam kebijakan payment gateaway program Sistem Pelayanan Paspor Terpadu online di Kementerian Hukum dan HAM saat menjabat sebagai wakil menteri.
Aneh, kebijakan yang tujuannya baik, menghapuskan pungutan liar dalam pengurusan paspor, pejabatnya justru dipidana. Tapi negara malah mempidanakannya.
Maka, sulit menyangkal tuduhan jika negara, melalui institusi penegak hukum, partai, dan lembaga kepresidenan, sedang berkonspirasi melemahkan agenda pemberantasan korupsi.