Covid-19 tidak lahir dari luar diri manusia dan kebudayaan modernnya, tapi bersama atau dari dalam pola antroposentris (kebudayaan manusia modern yang berpusat pada akalnya).
Covid-19 adalah akibat perilaku manusia itu sendiri. Jadi, Covid-19 bukanlah sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit atau dari dimensi lain ataupun tiba-tiba muncul dari alam di luar intervensi kebudayaan manusia.
Faktanya, sejak awal industrialisasi dan kapitalisme di Eropa, manusia mulai mengintervensi alam secara serius sampai pada level pemahaman bahwa alam tidak lagi independen dan alamiah karena tingginya intervensi manusia.
Selama ini, manusia telah hidup bersama dengan berbagai macam virus. SARS-CoV-2 adalah virus baru yang mengguncang umat manusia hanya dengan abab (droplet). ‘Bulan madu’ hidup bersama dengan virus ini dinamai kenormalan baru (new normal).
Saya ingin menyoroti kenormalan baru di Indonesia yang prosesnya adalah normalisasi ketidaknormalan demi pemulihan ekonomi nasional. Pertama, Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang paling besar: wilayahnya, populasinya, keragaman rasnya dan seterusnya.
Oleh sebab itu, secara rasional pergerakannya lamban atau tidak lincah. Sebaliknya, negara tetangganya yaitu Brunei yang segala halnya kecil (wilayah, populasi, keragaman ras dan etnik) sudah lebih dari sebulan nol kasus Covid-19 dengan mencatatkan dua kematian terkait Covid-19.
Negara besar Indonesia ingin lari selincah negara ramping Brunei dengan sama-sama menerapkan kenormalan baru di awal bulan yang sama (Juni). Indonesia mengakui keberadaan Covid-19 belakangan daripada Brunei, tapi menginginkan memasuki masa kenormalan baru bersama-sama. Apakah pola kebijakan ini terlihat normal? Ini seperti pedagang yang menjadi masbuk shalat berjamaah lalu ingin menyelesaikan shalatnya bersama dengan yang sudah datang duluan tanpa ada tambahan rakaat lagi karena takut merugi dagangannya.
Keinginan ini menciptakan kontradiksi karena di tengah mulainya kelonggaran, penambahan per hari korban Covid-19 di awal Juni ini malah menciptakan rekor terbanyak. Dari sisi sains dan kedokteran, bisakah Indonesia menghindari malapetaka yang mungkin hasil penciptaannya sendiri dan sudah dapat terprediksi?
Kedua, orang-orang kaya Indonesia sama sekali kurang membantu dalam kondisi Covid-19 malah terus mencari celah strategis untuk meraup keuntungan. Asumsi ini berdasarkan pada teori ekonomi dalam sistem kapitalistik-materialistik dan discourse modernitas tentang “pertumbuhan”.
Dari jumlah orang kaya yang begitu banyak (khususnya 40 konglomerat versi Forbes dan 5 menteri dengan daftar kekayaan di atas trilyunan), para penguasa kapital ini ternyata kurang membantu meringankan beban rakyat ‘kecil’ Indonesia yang tertatih-tatih bertahan hidup di tengah pandemi.
Riset kecil-kecilan saya di jagat maya tidak menemukan bukti apapun bahwa orang-orang kaya Indonesia tersebut membantu sebagian besar rakyat Indonesia secara signifikan. Misalnya, menghidupi karyawannya di karantina sampai dengan kondisi membaik, mendanai riset agar Indonesia dapat membuat vaksin sendiri, memberi donasi pada tenaga medis, dan sejenisnya. Mungkin memang ada, tapi menurut spekulasi saya tidak signifikan terbatas pada corporate social responsibility (CSR) saja.
Di tengah pandemi, para oligarki justru diuntungkan dengan kebijakan RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, dan Pasal 27 ayat (1) Perppu No. 1 tahun 2020 (uji materi di MK) serta RUU Minerba. Hampir semua pengamat di berbagai media mempertanyakan urgensi semua kebijakan itu. Semua itu berindikasi kuat pada dukungan terhadap kekuatan oligarki dan sistem neoliberal. Mengapa satu persen orang kaya Indonesia masih saja menguasai hampir setengahnya kekayaan nasional Indonesia? Apakah ini bentuk kenormalan?
Pernyataan saya tentang oligarki tidak semena-mena, tapi sudah banyak research dan laporan yang mengulas oligarki (Robison & Hadiz, 2004; Harriss, Stokke, dan Tornquist 2005; Bunte and Ufen 2009; Hadiz 2010; Winters, 2011, Ananta, 2016; Noor 2020; laporan Republika, 18 Februari, 2020; laporan wartawan CNN Indonesia, Arif Hulwan Muzayyin, April 30 2020; Ismail, Indoprogress, 2020; Salamuddin Daeng, 12 Mei 2020; Wakil Ketua KPK, Marwata, 9 Juni 2020).
Saya berpikir: kaya sekali tidak normal, miskin sekali juga tidak normal. Di sini perlu ada titik temu kemerataan dimana negara seharusnya mempunyai managemen yang baik. Namun, apa saja yang “seharusnya” itu secara realistis mustahil. Fungsi sosial politik negara bertentangan dengan prinsip sistem kapitalisme global yang menguntungkan rezim oligarki. Begitu banyak research tentang neoliberal di Indonesia (Haque, 2008; Bunnell & Miller, 2011; Christian Castellanet and Jean‐Christophe Diepart, 2015; Acciaioli & Afiff, 2018), khususnya di tengah pandemi (Shofwan, 2020).
Ketiga, demi laju pertumbuhan ekonomi nasional, sebelum kebijakan kenormalan baru dijalankan, Presiden Jokowi ditemani dengan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, Walikota Bekasi Rahmat “Pepen” Effendi, Panglima TNI Marshekal Hadi Tjahjanto and Kapolri Jenderal Idham Azis mengunjungi Mall Summarecon (simbol-simbol ekonomi materialistik) di Bekasi. Selain itu awal kenormalan baru dimulai dengan pembukaan sembilan sektor ekonomi seperti pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan, logistik dan transportasi barang.
Siapa yang paling diuntungkan? Tentunya para pemilik modal. Kita tidak menafikan bahwa kalangan menengah ke bawah pun tetap memperoleh keuntungan tersebut, tapi bukan untuk memperoleh keuntungan lebih dan lebih lagi sesuai dengan discourse “pertumbuhan”.
Mereka bekerja kembali di kenormalan baru demi keberlangsungan hidup karena negara tak mampu menopang kebutuhan mendasar hidup mereka. Negara menyerah dan rakyat kelas pekerja lapangan terpaksa bekerja demi menghidupi diri mereka dan menghidupi para pemilik modal. Sistem ekonomi neoliberal memang memaksa setiap orang untuk memfungsikan dirinya masing-masing demi menopang sistem tersebut. Dalam hal ini, Covid-19 menjadi peluang bisnis bagi yang berpikir strategis -bisnis mencari laba tanpa akal kemanusiaan.
Keempat, kenormalan baru memberi gambaran jelas siapa yang maju di medan berbahaya secara langsung dan siapa yang tidak. Kenormalan baru ini akan membelah manusia Indonesia menjadi siapa yang kuat dan siapa yang lemah secara finansial.
Kesimpulannya, saya ingin menekankan kembali bahwa kenormalan baru melulu tentang ekonomi. Tulisan-tulisan tentang kenormalan baru sebelum masa Covid-19 selalu menggambarkan tema-tema berkisar ekonomi. Jadi kenormalan baru ini memang bertujuan untuk menghindarkan pertumbuhan ekonomi nasional dari keterpurukan.
Secara teoritis, kapasitas negara lemah (minim intervensi) dalam sistem oligarki dan neoliberal, khususnya dalam menopang rakyat miskin dan sektor informal sehingga mau tidak mau kenormalan baru (baca: penggairahan ekonomi) diimplementasikan. Logika ini menggiring kita pada ide bahwa pemerintah hanya pro terhadap rezim oligarki (pemilik modal dan para konglomerat) sebab sektor inilah yang memberi pemasukan (pajak) besar terhadap negara.
Kondisi ini adalah tragedi yang bukan dirasakan oleh para oligarki, melainkan setiap anak bangsa yang kesulitan memenuhi kehidupan sehari-hari. Bagi anak bangsa yang sulit memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup, kenormalan baru adalah ketidaknormalan hidup setiap harinya.
Ketika kita berkata: “wahai para oligarki, jangan biarkan ‘tetanggamu’ kelaparan; wahai oligarki, ngono yo ngono ning ojo ngono”. Toh para oligarki pun bisa menjawab: “Saya juga dipaksa sistem neoliberal; Saya juga sudah semaksimal mungkin berbuat; jika berbuat lebih saya akan bangkrut”. Saya kira perdebatan ini tak akan pernah selesai karena berujung pada relativisme dan discourse yang berbeda.