Rabu, Oktober 9, 2024

Covid-19, Agama, dan Sains

Agama mempunyai peran yang cukup penting dalam menghadapi segala aspek kehidupan. Dalam situasi apapun, kegiatan keagamaan menjadi wujud dari eksistensi komunitasnya. Belum lama ini, misalnya, Jemaah Tabligh menggelar acara Ijtima Ulama Dunia Zona Asia (19-22 Maret 2020) di Pakatto (Kabupaten Gowa), Sulawesi Selatan. Pesertanya berasal dari 48 negara. Tak kurang dari 8.000 jemaah hadir di acara tersebut. Padahal saat ini Indonesia sedang berupaya mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) yang sudah menjadi pandemi ini.

Penting untuk diketahui bahwa jemaah yang mengikutinya merupakan kelompok yang tidak jauh berbeda dengan perkumpulan yang diadakan di Malaysia pada 2 pekan lalu. Mereka telah menginfeksi Covid-19 kepada lebih dari 500 orang, termasuk warga Brunei sebanyak puluhan orang dan Indonesia sebanyak 696 (700) orang. Bedanya, Malaysia dan Brunei berhasil mendeteksi warganya yang terinfeksi, sementara Indonesia sampai sekarang masih mencari ke mana 696 orang tersebut berkeliaran.

Belajar dari kasus di Malaysia, Pemerintah Kabupaten Gowa kemudian meminta penyelenggara menunda kegiatan tersebut sehubungan pencegahan pandemi virus corona. Kepolisian daerah Sulawesi Selatan juga tidak menerbitkan izin keramaian dalam acara tersebut. Namun ironisnya mereka tetap menolak untuk ditunda. Seorang Syekh bahkan mengungkapkan bahwa yang kita takutkan hanyalah Allah, bukan virus Corona. Allah yang mengendalikan virus. Jadi kita tidak usah panik. Kita berserah diri saja kepada Allah.

Secara keagamaan, cara pandang Syekh ini bisa jadi mengacu pada Hadis Sahih di dalam Bukhari dan Muslim yang berbunyi, “Tidak ada penularan”. Bagi yang meyakini hadis itu tentu akan mengatakan bahwa mempercayai virus sebagai contagion akan merusak akidah sebab bagi mereka tidak ada kuasa atau material lain yang bisa membuat seseorang sakit kecuali Allah. Jadi penyakit adalah kehendak Allah dan mereka yang mendapat sakit adalah ujian dari Allah (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).

Meski begitu, pemikiran keagamaan terhadap wabah itu bukanlah pemahaman tunggal. Dalam sejarah pemikiran Islam, kita juga mengenal nama Lisan-ad-Din Ibn al-Khatib (1313-1375)–seorang ilmuwan dan penasihat Sultan Muhammad ke-5 dimasa pemerintahan Islam di Granada, Andalusia pada abad ke-14.

Ibn al-Khatib merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan ‘teori contagion”. Dengan menggunakan kaedah sains alam, dan berdasarkan pengalaman dari pengamatan atas wabah Black Death yang menimpa Eropa, termasuk Andalusia di abad ke-14, al-Khatib menolak dengan keras pandangan ulama konservatif terkait kepasrahan kepada Allah dalam menyikapi wabah penyakit menular. Baginya, penyebab wabah mesti dibuktikan melalui data, kajian, renungan, dan penglihatan secara mendalam (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).

Hal inilah yang lalu memicu lahirnya dua corak pemikiran dalam Islam tentang penyikapan terhadap wabah. Melalui dua corak pemikiran yang berkontestasi itulah, sikap kita terhadap wabah penyakit global yang diakibatkan oleh virus Covid-19 ini menjadi sangat menentukan.

Dua Pemikiran

Dalam sejarah peradaban Islam terdapat dua corak pemikiran yang saling berseberangan. Pertama adalah corak pemikiran yang berlandaskan pada postulat agama dan menjelaskan segala hal dari sudut pandang teologi ataupun fikih. Kedua ialah corak pemikiran yang terbuka kepada kajian empirikal sehingga jawabannya mengalir dari bukti dan bukan atas dasar penerimaan secara dogmatic (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).

Meminjam istilah pemikir Maghribi, Mohammed Abed al-Jabri (1935-2010) di dalam karyanya Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, sebagaimana dikutip Mohamed Taib, mengatakan corak pemikiran pertama boleh disebut sebagai ‘al-bayan’ yang melahirkan tradisi ilmu keagamaan; sementara corak pemikiran kedua boleh disebut sebagai ‘al-burhan’ yang mengedepankan pendekatan sains alam (natural sciences) dalam memahami realitas.

Bagi corak pemikiran al-bayan, segala sesuatu dinilai sudah ada dan jelas di dalam ajaran Islam, maka kita hanya perlu mencari dalil-dalilnya atau mengaitkannya kepada makna mengapa sesuatu terjadi dan apa yang dapat kita pelajari darinya. Mohamed Taib memberikan contoh pada figur Ibn al-Lubb, Mufti Granada dan guru Ibn al-Khatib sendiri, sebagai representasi al-bayan yang menolak teori contagion.

Bagi al-Lubb, tidak ada sifat alami di dalam penyakit yang dapat mengakibatkan contagion. Sebab, menurutnya, hanya kuasa Allah yang bisa menentukan seseorang itu mendapat penyakit atau tidak. Mempercayai adanya causative agent di dalam penyakit yang mengakibatkan contagion, sama dengan mempercayai adanya kuasa selain Allah dan ini merupakan pandangan syirik.

Sementara itu, bagi corak pemikiran al-burhan, kita mesti mengawali dari persoalan yang belum ada jawabannya.  Dan banyak ayat al Quran yang menganjurkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Posisi wahyu justru memandu umat untuk mengkaji, menilai, menyaring, menginterpretasi dan memformulasikan jawaban berdasarkan bukti-bukti di lapangan secara detail.

Sikap Kita

Merujuk pada ulasan di atas, maka Ijtima Ulama Dunia Zona Asia yang diadakan oleh Jemaah Tabligh di tengah mewabahnya virus Covid-19 itu adalah bukti nyata dari corak pemikiran al-bayan. Juga, tak sedikit masjid di sekitar Jakarta dan Depok tempat kami tinggal memiliki corak pemikiran al-bayan.

Para penceramah umumnya mengajak jemaah masjid untuk tidak panik dan  pasrah menerima wabah tersebut sebagai ujian dari Allah. Doa, baginya, adalah senjatanya orang beriman sehingga kegiatan ritual doa menjadi satu-satunya solusi dalam memerangi virus Corona yang sudah menjadi pandemi ini.

Akibatnya jemaah menjadi pasif dan ignorance terhadap virus ini. Mereka dengan ketidakmengertiannya berkeliaran dimana-mana termasuk berkerumun tanpa pelindung apapun. Padahal virus Covid-19 ini tidak memandang ras dan agama. Siapapun yang terkena dan lemah imunitasnya, dimungkinkan mati.

Dalam kaitan itu, bukankah sejarahwan terkemuka Yuval Noah Harari dalam tulisannya yang berjudul “In the Battle Against Coronavirus, Humanity Lacks Leadership” (time.com, 2020), pernah mengingatkan kembali sejarah pahit Black Death yang melanda Eropa di abad ke-14.

Waktu itu, kata Harari, mereka yang mengorganisir doa-doa massal untuk berbagai dewa dan orang suci justru tidak membantu sama sekali. Orang-orang yang berkumpul bersama untuk sembahyang massal itu, malah memicu penularan massal.

Jadi, untuk menyikapi kebodohan itu, Harari – yang secara implisit telah mengonfirmasi pemikiran Ibn al-Khatib – mengatakan bahwa selama satu abad terakhir, para ilmuwan, dokter, dan perawat di seluruh dunia telah berhasil mengumpulkan informasi dan memahami mekanisme di balik epidemi dan bagaimana melawannya.

Teori evolusi, baginya, telah menjelaskan mengapa dan bagaimana penyakit baru muncul dan penyakit lama menjadi ganas. Genetika memungkinkan para ilmuwan menelusuri instruksi manual patogen itu sendiri. Masyarakat abad pertengahan tidak akan mungkin menemukan penyebab wabah Black Death.

Tetapi sekarang, hal itu dimungkinkan dan hanya butuh waktu dua minggu bagi para ilmuwan untuk mengidentifikasi virus corona baru, mengurutkan genomnya dan mengembangkan tes teruji untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi. Begitu para ilmuwan memahami apa yang menyebabkan wabah, maka menjadi lebih mudah untuk melawannya. Vaksinasi, antibiotik, peningkatan kebersihan, dan infrastruktur medis yang jauh lebih baik telah memungkinkan manusia menaklukan predator yang tidak terlihat (Harari).

Itu artinya sejarah menunjukkan bahwa corak pemikiran al-burhan jauh lebih akurat, ketimbang al-bayan, ketika memahami wabah penyakit menular. Dalam konteks itulah, sikap kita sebaiknya bertolak dari corak pemikiran al-burhan.

Syukurnya sebagian besar gerakan Islam dan para ulama yang mempunyai wawasan luas, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah, mengambil pendekatan al-burhan. Mereka mengimbau semua umat Islam untuk sholat di rumah. MUI melalui Komisi Fatwa juga mengimbau umat Muslim di wilayah yang terdapat kasus infeksi virus Covid-19 untuk tidak menunaikan shalat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid.

Dengan demikian, sementara kita berdoa di rumah masing-masing sebagai bagian dari cara untuk melakukan sosial distancing, lockdown, atau apa pun istilahnya, biarkanlah corak pemikiran al-burhan yang mengambil peran dalam memerangi virus yang sudah menjadi pandemi ini, karena Allah pun melalui wahyu telah memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya dalam mengatasi konteks zaman.

Penulis: Asrudin Azwar (Peneliti, Pendiri The Asrudian Center) dan Musa Maliki (Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Kandidat doctor Charles Darwin University, Australia)

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.