Waktu kita kecil, kita mendengar cerita tentang awal mula semesta. Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian diciptakan juga manusia. Adam diciptakan pertama, kemudian diciptakan juga perempuan pertama sebagai pasangannya. Dalam tradisi Islam, namanya adalah Hawa, serapan dari bahasa Ibrani, Chavvah, yang berarti ibu dari semua yang hidup. Dalam cerita yang kudengar ketika kecil, katanya Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, dan karena itulah asal muasal kenapa tulang rusuk laki-laki jumlahnya lebih sedikit sebatang dari perempuan, katanya begitu.
Cerita mengenai penciptaan Hawa juga diabadikan di Alkitab.
“Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuknya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.” (Kejadian 2:21-22)
“Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.’” (Kejadian 2:23)
Narasi mengenai penciptaan perempuan dari tulang rusuk Nabi Adam juga ditegaskan oleh Sabda Nabi SAW.
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Saling berwasiatlah kalian (dalam menjaga hubungan baik) terhadap para wanita. Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sementara yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya. Jika engkau hendak mencoba untuk meluruskannya, maka ia akan patah, namun bila engkau biarkan, maka ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, saling berwasiatlah kalian terhadap para wanita”. (HR. Bukhari no. 3084)
Meskipun ada riwayatnya, penafsiran modern biasa menafsirkannya secara simbolis. Jadi, bukan secara literal diciptakan dari tulang rusuk, tetapi sebagai simbol berpasangan dan simbol kerapuhan dan ketergantungan perempuan akan suami.
Akan tetapi, waktu aku kecil, aku percaya kisah itu secara literal, karena guruku mengemas ceritanya sebagai fakta sejarah. Waktu aku kecil, aku sungguhan percaya bahwa tulang rusuk laki-laki itu minus satu dibanding perempuan, dan perempuan yang diciptakan dari rusuknya adalah jodohnya.
Ketika sudah memasuki Sekolah Menengah Pertama, aku mendapati pengetahuan bahwa jumlah tulang rusuk laki-laki dan perempuan itu sama. Terjadilah disonansi kognitif, aku merasakan rasa tidak nyaman karena aku mendapati informasi faktual yang bertentangan dengan apa yang selama ini kupercaya sebagai fakta.
Masih berkaitan dengan narasi Adam sebagai manusia pertama, aku juga memiliki pengalaman disonansi kognitif ketika belajar antropologi waktu SMA. Saat itu, aku diajarkan tentang manusia-manusia purba. Kemudian, aku bertanya, “Apakah Nabi Adam adalah homo habilis?”. Beliau tertawa kecil dan bilang “Bukan, Nabi Adam adalah manusia modern”, katanya. Kutanya lagi, “Berarti, Nabi Adam itu bukan manusia pertama?”. Guruku jawab “Adam adalah manusia pertama, dan manusia-manusia adalah hewan, bukan manusia.”
Disonansi ini berlanjut ketiga aku belajar taksonomi hewan yang mempelajari tentang pengelompokkan hewan berdasarkan ciri dan hubungan evolusionernya dalam subjek Biologi. Ternyata manusia, yang sering dianggap sebagai makhluk berbeda dengan hewan, secara biologis diklasifikasikan sebagai hewan juga. Manusia dimasukkan dalam kingdom animalia. Manusia menyusui dan melahirkan sebagaimana hewan mamalia. Selain itu, secara DNA, kita punya kemiripan DNA yang besar banget sama famili kita dalam konteks taksonomi, yang mana kita satu famili sama Kera besar seperti gorila simpanse dan orangutan, dan kita berbagi kemiripan DNA hingga 98 persen.
Ilmu pengetahuan terkini menunjukkan bahwa manusia modern, Homo sapiens, berevolusi dari spesies hominid sebelumnya sekitar 200.000 tahun yang lalu di Afrika. Pengetahuan ini berdasarkan bukti fosil dan genetika. Adam, dalam konteks ilmiah, tidak bisa dianggap sebagai manusia pertama dalam sejarah evolusi. Temuan Ini bukan dalam rangka menyangkal nilai-nilai religi ya, tetapi hendak menunjukkan bahwa ada perbedaan antara cerita keagamaan dan fakta ilmiah.
Masalah selanjutnya adalah, Bagaimana dengan cerita Nabi Adam dan Hawa di surga yang dibuang ke bumi? Kok cerita ini tidak melengkapi wawasan yang didapet dari ilmu biologi dan antropologi? Di mana letak cerita itu dalam linimasa sejarah?
Cerita Adam dan Hawa dalam sejarah itu ahistoris, artinya cerita ini sering dilihat tanpa mempertimbangkan bukti sejarah atau ilmu pengetahuan yang ada. Dianggap benar dan berlaku untuk semua orang tanpa melihat perkembangan atau perbedaan budaya dan sejarah.
Untuk bisa mengacu pada kisah Adam dan Hawa sebagai kebenaran, kita harus mengabaikan, salah satunya, penemuan Ilmiah. Sudah terbukti bahwa manusia modern berevolusi selama ratusan ribu tahun dari nenek moyang yang lebih primitif, bukan dari satu pasangan manusia yang hidup beberapa ribu tahun lalu. Ternyata genus homo, atau spesies manusia pun sudah ada dari jutaan tahun lalu.
Selain itu, kisah ahistoris harus mengabaikan konteks budaya. Cerita Adam dan Hawa berasal dari tradisi Yahudi-Kristen dan memiliki banyak versi dan interpretasi yang berbeda dalam berbagai budaya dan agama, termasuk dalam Islam. Setiap versi dan interpretasi dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan keagamaan pada masa itu.
Biasanya, ilmuwan dan sejarawan melihat cerita ini lebih sebagai mitos daripada catatan sejarah literal. Mitologi memang sering digunakan untuk menjelaskan asal-usul manusia, moralitas, dan hubungan antara manusia dan Tuhan dengan cara yang tidak dimaksudkan untuk diambil secara harfiah, setidaknya untuk sekarang. Orang yang hidup ribuan tahun lalu, yang masih terbatas perkembangan ilmu pengetahuannya, menganggap mitos sebagai ilmu pengetahuan yang faktual. Bedanya dengan kita sekarang, kita bisa melihat mitos sebagai cara para pendahulu kita memahami dunia, dan mengecek fakta melalui observasi dan pengujian empiris.
Ditambah lagi, cerita semacam Adam Hawa ini telah ditafsirkan dan dimodifikasi oleh berbagai teolog, penyair, pendongeng dan termasuk filsuf atau pemikir di sepanjang sejarah. Tentunya penafsiran-penafsiran ini sering kali mencerminkan pandangan dan nilai-nilai dari periode waktu tertentu dari perspektif golongan tertentu.
Ketika kita melihat cerita seperti cerita Adam Hawa sebagai fakta sejarah literal, kita bisa kehilangan pemahaman tentang bagaimana cerita ini berkembang dan apa arti sebenarnya dalam sejarah dan budaya. Cerita-cerita semacam ini membelokkan pemahaman kita dari pembacaan realitas secara akurat.
Contoh lain, misalnya zodiak. Jaman dulu, orang mengandalkan astrologi buat ambil keputusan besar seperti waktu menanam, perang dan hal penting lainnya. Ramalan zodiak itu katanya bisa menentukan nasib kita berdasarkan posisi bintang dan planet. Ramalan zodiak ini adalah salah satu dari kepercayaan kuno.
Akan tetapi, ramalan zodiak katanya tidak jarang cukup akurat. Itu karena deskripsi ramalan zodiak dibuat berdasarkan deskripsi kepribadian yang umum, jadi bisa terasa akurat karena deskripsinya bisa berlaku ke banyak orang. Ini yang disebut efek forer atau disebut juga efek barnum, di mana ada fenomena psikologis yang menggambarkan kecenderungan orang untuk menemukan makna pribadi dalam penilaian kepribadian umum atau prediksi masa depannya.
Misalnya, jika disebutkan zodiak A itu rajin dan pekerja keras, bisa saja kita termasuk. kalaupun jika dideskripsikan zodiak A itu pemalas dan tidak mau ribet ya bisa masuk juga. Karena tiap manusia kan ada sisi rajinnya dan malasnya. Aku mungkin saja rajin buat konten tapi malas mencuci piring dan menyetrika pakaian
Orang jaman dulu juga suka mengaitkan fenomena alam dengan fenomena mistis. Misalnya, gerhana bulan dipercaya sebagai pertanda buruk. Padahal itu hanya fenomena astronomi biasa, tidak ada kaitannya dengan nasib manusia.
Sebelum manusia mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan modern kesehatan, tiap manusia sakit, manusia akan mengartikannya sebagai hukuman dewa, gangguan roh jahat, gangguan jin, ataupun sihir. Hal ini bisa dipahami, karena Germ Theory of Disease, teori ilmiah yang menyatakan bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus, jamur, atau protozo, baru dikembangkan, dibuktikan, dan dipopulerkan di Eropa pada kisaran tahun 1850-1920. Sebelumnya, sebelum manusia tau bahwa ada mikroorganisme tak kasat mata yang bisa menyebabkan kita sakit, masyarakat secara umum memang masih cenderung superstitious, cenderung percaya sama takhayul ketika menghadapi suatu penyakit. Saat itu, belum ada pengetahuan yang memadai untuk bisa menyimpulkan bahwa patogen menyebabkan penyakit, sehingga orang-orang jaman dulu, menyimpulkan ke hal yang mistis yang mereka percayai.
Karena saat ini kita sudah mengetahui bahwa penyakit disebabkan patogen, berdasarkan pengetahuan itu, kita menciptakan vaksin, antibiotik, dan perawatan medis lainnya yang memang bisa diuji efektifitasnya.
Terkadang, cerita memang bisa sangat membaur pada realita hingga kita sulit mengenali apakah pemahaman kita akan dunia ini dibangun atas cerita-cerita atau dibangun atas pemahaman berbasis fakta terhadap semesta.
Versi Video:
Referensi:
– Harari, Yuval Noah. Sapiens: A Brief History of Humankind. Harper, 2015.
– Armstrong, Karen. A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity, and Islam. Ballantine Books, 1993.
– Aslan, Reza. No God But God: The Origins, Evolution, and Future of Islam. Random House, 2005.
– National Center for Science Education (NCSE). “Creation/Evolution Continuum”. http://ncse.ngo/creation-evolution-continuum
– Smithsonian National Museum of Natural History. “What Does It Mean To Be Human?” http://humanorigins.si.edu/
– Stringer, Chris. “The Origin and Evolution of Homo sapiens.” *Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences*, vol. 371, no. 1698, 2016. https://royalsocietypublishing.org/doi/10.1098/rstb.2015.0237
– Tattersall, Ian. Becoming Human: Evolution and Human Uniqueness. Harcourt Brace, 1998. Tersedia di: https://www.jstor.org/stable/30190566
– Forer, Bertram R. “The Fallacy of Personal Validation: A Classroom Demonstration of Gullibility.” Journal of Abnormal and Social Psychology, vol. 44, no. 1, 1949, pp. 118–123. Tersedia di: https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/h0059240
– Barnum, Paul. “Barnum Effect and Astrology.” Journal of Personality Assessment, vol. 35, no. 3, 1971, pp. 286–293. Tersedia di: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00223891.1971.10119679
– Leeming, David. The Oxford Companion to World Mythology. Oxford University Press, 2005.
– Eliade, Mircea. Myths, Dreams, and Mysteries: The Encounter Between Contemporary Faiths and Archaic Realities. Harper & Row, 1961