Jumat, Maret 29, 2024

Calon Petahana Wajib Cuti Kampanye atau Mundur?

Miftakhul Huda
Miftakhul Huda
Pemerhati Hukum Tata Negara
ahoklagi-mk
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selaku pemohon berswafoto dengan calon Bupati Aceh Barat Fuad Hadi (kiri) sebelum mengikuti sidang uji materil di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (5/9). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf.

Dengan percaya diri Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menggugat kewajiban cuti kampanye di Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU 10/2016) menetapkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye, harus cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang berkaitan dengan jabatannya.

Pramono U Tanthowi dalam artikelnya “Ahok dan Ihwal Cuti Kampanye Petahana” di Geotimes.co.id, Senin (19/9/2016) tidak menyinggung peluang gugatan Ahok, tetapi membahas berbagai potensi pelanggaran oleh calon petahana selama masa kampanye.

Tulisan ini bermaksud menjawab peluang itu dengan mendiskusikan kembali soal cuti kampanye petahana dalam bangunan sistem yang dibangun MK terkait persyaratan pengisian jabatan-jabatan politik, apakah warga negara yang menduduki jabatan publik (termasuk calon kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana) diharuskan mundur permanen, mundur sementara (non-aktif), atau hanya cuti kampanye.

Syarat Pengisian Jabatan Politik

Menurut UU Pilkada, pejabat-pejabat publik diharuskan berhenti atau mengundurkan diri dari jabatannya untuk dapat memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pejabat-pejabat publik tersebut adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan pegawai negeri sipil (PNS), aparatur sipil negara (ASN), serta pegawai badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah (BUMN/BUMD).

Keharusan berhenti dari jabatannya juga mengikat bagi calon petahana yang mencalonkan kembali pada daerah berbeda (Pasal 7 ayat (2) huruf o, huruf p, huruf t, dan huruf u). Seluruh norma ini dianggap konstitusional oleh MK dalam menguji norma yang sama (Putusan Nomor 15/PUU-XI/2013 tanggal 9 April 2013; Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014 tanggal 8 Juli 2015)

Bahkan, keharusan mundur dari jabatannya juga berlaku bagi para anggota legislatif (Dewan Perwakil Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) (Pasal 7 ayat (2) huruf s). Kewajiban anggota legislatif ini sebagai implikasi putusan MK yang membatalkan aturan anggota legilatif yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah hanya melaporkan kepada pimpinan masing-masing (Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 tanggal 8 Juli 2015 dan Putusan Nomor 46/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015).

Alasan utama MK mewajibkan warga negara pejabat-pejabat publik tersebut untuk berhenti atau mundur dari jabatannya dikarenakan pilkada yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, jujur dan adil (luber dan jurdil) tidak akan terwujud jika salah satu peserta pilkada masih menjabat. Jabatan publik tersebut bersinggungan dengan kewenangan yang diemban, yang potensial disalahgunakan, sehingga mengurangi nilai fairness dalam kompetisi pilkada yang hendak diikuti, serta potensial pula mengganggu kinerja jabatannya jika yang bersangkutan tidak mengundurkan diri.

Kewajiban ini merupakan pembatasan hak asasi manusia yang dibenarkan MK sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahw HAM dapat dibatasi dengan undang-undang. Pada saat pejabat publik mencalonkan diri dalam jabatan politik, hak-haknya dapat dibatasi sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri berkompetisi dalam pilkada.

Dalam pertimbangan putusannya, MK membedakan antara jabatan-jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials) atau dikenal sebagai “jabatan politik” dengan jabatan-jabatan publik yang pengisiannya melalui pengangkatan (appointed officials). Untuk jabatan yang tergolong elected officials seperti kepala daerah, MK menetapkan syarat pengisiannya dengan mundur dari jabatannya. Sedangkan untuk jabatan-jabatan publik yang tergolong appointed officials semisal hakim MK, anggota Komisi Yudisial, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lain sebagainya, pengisiannya mensyaratkan berhenti sementara dari jabatannya atau non-aktif.

Kewajiban mundur (berhenti) dengan non-aktif memiliki implikasi yang berbeda. Dengan mundur atau berhenti, hak dan kewajiban yang melekat dalam jabatan sudah hilang. Sehingga ketika tidak terpilih dalam kompetisi pilkada, ia tidak dapat kembali kepada jabatan yang semula. Sedangkan akibat non-aktif bagi pejabat tersebut hanya tidak memiliki hak dan kewajiban jabatan untuk sementara waktu. Apabila tidak terpilih dalam pemilihan jabatan-jabatan yang diangkat, mereka dapat kembali dan status jabatannya dipulihkan.

Semua putusan di atas adalah perkembangan sikap MK setelah lima tahun sebelumnya membatalkan kewajiban calon petahana untuk mengundurkan diri sejak pendaftaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahaan Daerah (Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008). MK berpendapat calon petahana cukup mundur sementara sejak pendaftaran sampai ditetapkan sebagai pasangan calon.

Dibatalkannya aturan ini terkait apabila aturan ini diterapkan, maka masa jabatan kepala daerah dapat berbeda-beda sehubungan dengan transisi dari pilkada tidak langsung menjadi langsung (tidak serentak). Legislator kemudian menerjemahkan putusan MK dengan kembali ke aturan lama: kewajiban cuti kampanye bagi petahana.

Ketidakadilan – Perlakuan Berbeda

Keberadaan ketentuan UU Pilkada yang mengharuskan pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (sebagai jabatan politik) oleh calon petahana harus cuti kampanye, sementara bagi seseorang yang menduduki jabatan publik yang lain diharuskan mundur, UU Pilkada telah memberi keistimewaan (privilege) bagi calon petahana. Apakah keistimewaan ini tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlakuan yang sama berdasarkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”?

Keistimewaan calon petahana demikian perlu diuji berdasarkan ukuran ketidakadilan dan perlakuan berbeda (unequal treatment) apabila terjadi sebuah norma memberikan “perlakuan yang sama atas hal yang berbeda” atau sebaliknya memberikan “perlakuan yang berbeda atas hal yang sama”. Menurut saya, dari sisi potensi penyalahgunaan kekuasaan, antara calon petahana dengan anggota legislatif, PNS (ASN), anggota TNI, anggota Polri, dan pegawai BUMN/BUMD memiliki potensi yang sama untuk menyalahgunakan kekuasaannya seandainya mereka tidak melepas jabatan ketika berkompetisi dalam pilkada.

Bahkan, potensi penyalahgunaan kekuasaan jauh lebih besar dilakukan oleh calon kepala daerah yang masih memegang kekuasaan di daerahnya. Potensi lebih besar juga dilakukan calon petahana yang mencalonkan kembali di daerahnya dibandingkan mencalonkan kembali pada daerah yang lain, namun justru keharusan mundur hanya untuk kepala daerah yang maju di daerah lain.

Putusan-putusan MK mengenai sengketa pilkada membuktikan bahwa pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dilakukan petahana (di daerahnya) dengan melakukan politisasi anggaran, memobilisasi PNS, memanfaatkan fasilitas dan jabatan, melakukan politik uang, dan lain sebagainya.

UU Pilkada juga memberikan “perlakuan yang sama atas hal yang berbeda” di mana calon petahana harus cuti, sedangkan kepala daerah yang hanya mengikuti kampanye atau menjadi anggota tim kampanye pasangan calon tertentu yang notabene bukan peserta Pilkada harus melakukan hal yang sama. Padahal, antara peserta pilkada dengan hanya sebatas (ikut) kampanye tentu tidak dapat disetarakan. Semestinya kewajiban bagi calon petahana lebih berat, bukan sebaliknya. Dengan demikian, keharusan sama dengan kedudukan berbeda merupakan ketidakadilan dan perlakuan berbeda yang tidak dapat dibenarkan.

Harus dipertimbangkan juga kedudukan calon petahana sebagai kepala daerah merupakan pelaksana tugas rutin pemerintahan. Dibandingkan para anggota legislatif yang tugasnya bersifat kolektif-kolegial, MK menganggap kinerja mereka akan terganggu jika tidak melepas jabatannya. Maka, lebih sangat mengganggu lagi apabila calon petahana sebagai pemimpin eksekutif tunggal di daerah yang melaksanakan tugas rutin tidak mengundurkan diri.

Karenanya, keistimewaan tidak diharuskan mundur atau berhenti hanya layak diberikan kepada seorang presiden yang mencalonkan kembali dalam kompetisi pilpres. Hal ini mempertimbangkan kedudukan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara di mana keamanan negara sebagai hal yang sangat penting sehingga tidak boleh terjadi adanya kekosongan kekuasaan dalam negara. Meskipun demikian, pembatasan-pembatasan bagi presiden petahana untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan tetap diperlukan.

Akhirnya, apabila MK konsisten dan menjaga kesinambungan putusannya, lembaga peradilan tata negara ini diperkirakan akan memutuskan bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana diharuskan mengajukan pengunduran diri sejak ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum sebagaimana jabatan-jabatan publik lain, bukan sekadar cuti kampanye. Tetapi semuanya berpulang kepada MK sebagai pengambil keputusan. Wallahu a’lam.

Terkait

Ahok dan Ihwal Cuti Kampanye Petahana

Miftakhul Huda
Miftakhul Huda
Pemerhati Hukum Tata Negara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.