Sejumlah orang memprakarsai pendirian Maarif Institute pada 2002, dengan kegiatan utama menjelajahi pemikiran keislaman yang toleran, kultural, ilmiah dan berwawasan ke depan, sejalan dengan corak pemikiran Buya Syafii Maarif. Di tahun itu ia masih menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005), dan dari perbarengan inilah bermula “kekacauan” keuangan keduanya.
Beberapa orang menyumbang Institute, tetapi kebanyakan sumbangan itu ia alirkan ke organ-organ afiliasi Muhammadiyah. Alasannya sederhana: orang-orang itu menyumbang karena ia Ketua Muhammadiyah, bukan karena ia ketua Yayasan Maarif. “Kalau saya cuma Ketua Maarif Institute, apa urusan orang-orang itu memberi sumbangan?” katanya.
Setelah ia tak lagi Ketua Muhammadiyah, urusan menjadi lebih simpel. Tidak lagi terjadi “conflict of interest” antara kedua lembaga. Tapi “konflik kepentingan” tetap terjadi, kali ini antara dirinya dan Institute.
Tak jarang orang menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa mereka memberi sumbangan untuk Buya Syafii pribadi, bukan untuk Institute. Kontribusi itu tidak perlu dipertanggungjawabkan karena sifatnya personal. Namun ia tetap saja melaporkan penggunaan dana-dana itu kepada pemberi sumbangan, disertai laporan lengkap bukti pengiriman uang atau tanda terima dari orang-orang yang dibantunya untuk segala keperluan — penulisan disertasi, bantuan kepada orangtua buat biaya sekolah anak-anak mereka, perbaikan bangunan milik Muhammadiyah di sana sini, dsb.
Jumlah penyaluran itu tepat sesuai sumbangan yang diterimanya. Rupanya ia tak berminat memetik serupiah pun dari sana. Mungkin alasannya kali ini bergeser: orang-orang itu bersedekah karena ia ketua Maarif Institute, bukan karena ia bernama Ahmad Syafii Maarif.
Berulangkali ia diingatkan oleh si pemberi bahwa dana itu untuk keperluan pribadinya, dan ia tidak perlu melaporkan penggunaannya karena uang itu telah menjadi miliknya. Buya Syafii tak pernah mau mendengarkan saran ini. Kuitansi, tanda terima, bukti-bukti transfer dana, tetap saja ia kirimkan kepada pemberi dana — lengkap dengan penjelasan ringkas tentang alasan ia memilih menyalurkan dana-dana itu kepada orang-orang tersebut (“anak ini pintar, jangan sampai dia gagal meraih gelar doktor”, dan semacam itu).
Saya kira itu pula yang terjadi dengan sumbangan Pak Taufiq Kiemas. Pada suatu makan siang, kami duduk bertiga, dan Buya Syafii berkata kepada saya sambil menunjuk Pak Taufiq: “Orang ini luar biasa. Sampai saat ini untuk Muallimin Jogja saja dia sudah memberi Rp 13 miliar!” Mengapa ia tahu jumlah persis sumbangan itu, yang pemberinya pun tak ingat?
Mungkin karena Pak Taufiq mengirimkannya kepada Buya Syafii pribadi, disertai “pesan terselubung” bahwa ia boleh mengatur penggunaannya sesuka hatinya, termasuk mengambil setidaknya sebagian dari jumlah itu. Pesan rahasia itu rupanya tak tertangkap, atau pura-pura tak dipahaminya, dan ia meneruskannya bulat-bulat kepada pengurus Muallimin, sekolah menengah guru yang tak pernah dilupakannya hingga akhir hayat.
Baru di masa pandemi kemarinlah ia seperti terpaksa mencomot sebagian pemberian seseorang yang dalam duapuluh tahun terakhir sering mengiriminya uang. Orang itu, di awal pandemi, memberinya dana cukup besar untuk keperluan pribadi Buya Syafii. Seperti biasa, ia melaporkan penggunaannya secara terinci. Tetapi jumlah penggunaan tidak sama dengan jumlah kiriman. Sebagian dana itu rupanya ia gunakan untuk kebutuhan pribadi — padahal seluruhnya memang dimaksudkan untuk itu.
“Mungkin karena sumber-sumber nafkahnya hampir tidak ada lagi,” kata si penyumbang kepada saya. “Pandemi membuatnya tidak bisa berceramah dan berseminar di mana-mana, padahal dari sanalah Buya mendapatkan penghasilan.” Uang pensiunnya sebagai gurubesar UNY tampaknya hanya cukup untuk hidup normal kurang dari dua minggu.
***
Buya Syafii seolah penubuhan nyata bahwa kisah-kisah kuno sebagai sarana pengajaran moral adalah faktual, bukan sekadar cerita fiksi. Ia menerjemahkan harfiah apa yang disebut “amanah” — ditambah dengan penghayatan total terhadap doktrin Kiai Ahmad Dahlan: “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.”
Sedikit pun ia tak menunjukkan gejala balas dendam terhadap kemiskinan berat yang membelitnya sampai usia awal 30an, yang antara lain membuat kelulusan sarjananya terlambat cukup jauh. Setelah ia menjadi tokoh bangsa, dan begitu banyak pejabat negara atau orang kaya yang sudah dan ingin memberinya sumbangan dengan berbagai alasan dan “judul”, ia tak memanfaatkannya bahkan dengan cara wajar dan legal yang akan dimaklumi oleh siapapun. Beragam peluang kemakmuran hidup tak membuatnya berubah gaya menjadi OKB dan kehilangan keseimbangan mental.
Ia mengingatkan orang pada sosok Ketua PP Muhammadiyah sebelumnya, Abdul Razak Fachruddin (1968-1990), alias “Pak A.R”.
Mendapatkan nafkah dari berjualan bensin eceran di depan rumahnya di Jalan Cik Di Tiro Jogja, Pak A.R mengupayakan income sampingan dengan menyewakan empat kamar kos di bagian belakang rumahnya — salah satunya pernah ditempati adik kelas saya, yang keterlambatan pembayaran rutinnya tak pernah ditegur oleh pemilik kamar.
Pak A.R, yang gemar bepergian keliling kota dengan sepeda tuanya, konon sering sekali ditawari bantuan dana oleh Presiden Soeharto, sampai pada titik ia tak mungkin lagi menolak. Ia akhirnya bersedia menerima pemberian sebuah sepeda motor — yang hampir tak pernah dikendarainya. Seseorang bercerita bahwa sepeda motor itu lebih sering dituntun daripada dinaikinya.
Jika tak menyaksikannya sendiri, orang sulit percaya bahwa cerita-cerita di seputar puritanisme Buya Syafii dan Pak A.R bukanlah dongeng, atau sekadar cerita untuk mengajarkan ahlak luhur dan kejujuran kepada anak kecil. Atau hanya terjadi pada orang-orang jujur di jaman yang sangat lampau, seperti dikisahkan oleh buku-buku pelajaran dasar agama.
Sementara semua orang tahu bahwa mereka adalah pemimpin tertinggi salah satu organisasi terbesar di dunia, yang memiliki aset ribuan triliun di seluruh pelosok tanah air dan luar negeri, yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, dan selalu ikut mengambil alih kewajiban negara untuk mendidik warganegara — dan karenanya pantas pula negara membalas budi dengan memberi aneka bentuk bantuan.
Tanpa Muhammadiyah, tak terbayangkan bagaimana negara sanggup mendirikan sekolah di lereng-lereng gunung dan tempat-tempat yang begitu terpencil, sekaligus menyediakan guru-gurunya. Anak-anak yang tinggal di daerah-daerah itu tentu akan hanya menyesali atau disesali bahwa mereka tidak pernah punya kesempatan menikmati pendidikan modern.
***
Buya Syafii adalah seorang anak yang diselamatkan oleh Muhammadiyah dari kemungkinan itu. Dalam ungkapannya sendiri: “untunglah Muhammadiyah tersesat sampai ke kampung saya”, sehingga ia bisa belajar baca-tulis-hitung di sekolahnya. Dusunnya di Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, begitu terpencil. Keterpencilan bahkan masih terasa pada tahun 2004, ketika kami — Rizal Sukma, Jeffrie Geovanie, Buya Syafii dan saya — mengunjunginya.
Di sepanjang jalan dari Bukittinggi ke kampung itu, berserakan tiang-tiang listrik yang siap ditegakkan. Rupanya kampung Buya Syafii akan segera mendapat berkah besar di awal abad 21: memperoleh aliran listrik. PLN baru tergerak untuk membuat Sumpur Kudus tak lagi gelap gulita di malam hari, setelah diminta oleh Ketua PP Muhammadiyah.
Dengan berbinar-binar ia menyatakan kampung kelahirannya sebentar lagi akan terang — tak seperti pengalamannya hidup di sana sampai 60 tahun sebelumnya, saat ia tiap hari berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk belajar di SD Muhammadiyah, melewati jalan-jalan setapak yang meliuk-liuk di puncak jurang yang sangat dalam. (Mobil kami berkelok-kelok di jalur yang sama pada malam hari; kengerian baru kami rasakan ketika dua hari kemudian kami melewati jalan itu di siang hari — rupanya dua malam sebelumnya mobil kami merayap di tubir jurang yang dasarnya hampir tak terlihat).
Menginap dua malam di rumah kelahiran yang didiami kerabatnya, ia sempat mengajak kami berjalan kaki dua menit, ke rumah tetangganya. Ia menunjukkan sesuatu yang bersejarah, yang terhubung langsung dengan eksistensi Republik Indonesia. Di sudut depan rumah itu, dikelilingi pagar bambu seadanya, terpancang monumen yang terlalu sederhana: tugu kecil peringatan bahwa di situlah para pemimpin bangsa seperti Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Teuku Mohammad Hasan pernah menjalankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI, 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949), atau “Kabinet Darurat”, ketika Republik yang belum berusia empat tahun mau dirampas kembali oleh Belanda.
***
Kami tercenung di depan tugu pendek yang melawan prinsip-prinsip dasar estetika itu, yang sangat jelas tak pernah dipedulikan oleh instansi negara yang mana pun; suatu cara negara menyatakan bahwa ia tak merasa perlu untuk menggubris salah satu penggalan penting sejarah bangsa.
Tetapi dari monumen itulah, dengan cat biru kusam dan di sana sini diselingi merah dan kuning, yang diakrabi Buya Syafii sejak ia remaja, kami rasanya bisa meraba dari mana ia mendapatkan sumber kecintaannya yang tak bertepi pada Indonesia dan keindonesiaan. ***