Rabu, April 24, 2024

Buya Syafii dan Bung Jokowi

David Krisna Alka
David Krisna Alka
Penyuka kopi susu gula aren. Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity

Tulisan ini adalah “bacaan sederhana” mengenai sedikit di antara sekian banyak pemikiran dan kisah sosok guru bangsa, Ahmad Syafii Maarif.

Begini, banyak kalangan menyapanya dengan panggilan “Buya”, bukan Pak Syafii atau Prof Syafii, tapi Buya Syafii. Buya Syafii lebih nyaman dipanggil “Bung”. Kenapa Buya lebih nyaman dipanggil “Bung”?

Kita tengok kolom Perspektif Syafii Maarif di Majalah Gatra (Nomor 36, 16 Juli 2009) –Dari Bung Karno Sampai Pak SBY– di awal paragraf tulisan itu, Buya Syafii menulis:

Di antara enam presiden yang dihasilkan Indonesia merdeka, yang biasa dipanggil dengan “Bung” hanyalah Bung Karno seorang. Lainnya biasa dipanggil Pak Harto, Pak Habibie, dan Pak SBY. Atau “Gus” untuk Gus Dur dan “Ibu” untuk Ibu Megawati. Panggilan “Bung” adalah refleksi kultur egalitarian semasa revolusi yang tidak hanya milik Bung Karno, melainkan juga milik Hatta, Sjahrir, dan banyak yang lain, seperti Bung Adam Malik.

Baca juga: Bung, Saudara Serevolusi

Lalu tiba-tiba timbul pertanyaan dalam benak saya ketika sedang mengerjakan tulisan ini, apakah Buya Syafii memanggil Presiden Joko Widodo dengan panggilan “Bung” atau “Pak”, atau mungkin cukup memanggil “Jokowi” saja? Semoga Buya dan Presiden Jokowi membaca tulisan ini, lalu  menjawabnya. Mari kita lanjutkan tulisan Buya Syafii tentang “Bung”:

Sampai detik ini, dalam pergaulan sehari-hari, panggilan “Bung” masih setia bersama kita. Saya biasa memanggil Bung Taufiq, Bung Rendra, Bung Gunawan, dan Bung Ajip. Semuanya teman-teman di Akademi Jakarta. Panggilan “Bung” terasa lebih akrab dibandingkan dengan sebutan “Pak”, kecuali barangkali untuk mereka yang sudah terlalu lansia. Tetapi, untuk seorang Rosihan Anwar yang telah berusia 87 tahun, panggilan “Pak” mungkin lebih tepat oleh mereka yang lebih muda, tetapi panggilan “Bung” juga tidak ada masalah jika disampaikan oleh mereka yang hampir sebaya.

Rentang usia saya dengan Buya Syafii hampir berjarak setengah abad. Sungguh tak pantas, jika generasi seusia saya –katanya sih, masih masuk kategori milenial– memanggil Buya Syafii dengan panggilan “Bung”. Tapi, diantara teman sejawat dan yang sedikit lebih tua dari saya, panggilan “Bung” sesekali masih terdengar, terutama dikalangan aktivis pergerakan.

Baca juga: Buya Syafii Dan Kintani

Selanjutnya dalam tulisan itu, Buya Syafii menjelaskan tidak tahu mengapa pasca-Bung Karno panggilan “Bung” menghilang dari kosakata kepresidenan kita. Apakah karena telah terjadi pergeseran dari kultur demokrasi ke kultur semi-feodal.

Presiden Soeharto, misalnya, akan merasa kurang sreg jika dipanggil Bung Harto. Presiden Habibie kemudian terbawa-bawa. Padahal, tambah Buya, sebagai seorang demokrat sejati, panggilan “Bung” tentu tidak ada masalah baginya. Panggilan “Gus” untuk Presiden Abdurrahman Wahid sebenarnya sedikit berbau santri-feodal, khas Jawa Timur.

Nah, Buya Syafii menegaskan bahwa panggilan “Bung” terasa lebih nyaman tinimbang “Buya”. Baginya, panggilan Buya mungkin untuk Buya Hamka sudah sepantasnya. Bahkan seorang Mohammad Natsir yang piawai itu biasa dipanggil Bung Natsir, di samping Pak Natsir.

Untuk Jenderal Prabowo Subianto, panggilan Bung Prabowo jauh lebih manis, sedangkan panggilan Pak Prabowo lebih baik dihindari, lagi-lagi demi pesan egalitarian. Begitu juga untuk Jenderal A.M. Hendropriyono, panggil saja Bung Hendro, pasti akan lebih efektif untuk menghilangkan sekat-sekat kultur dalam pergaulan harian.

Sudah hampir seabad kemerdekaan Republik ini, lagi, meminjam pertanyaan Buya Syafii; kultur semi-feodal, yang dulu akan dibersihkan oleh kekuatan pergerakan nasional yang sarat dengan gagasan demokrasi egalitarian dan kemudian dikukuhkan lagi dalam arus revolusi kemerdekaan, kenapa masih bertahan sampai sekarang?

Buya Syafii menjawab, jawabannya sederhana, terletak pada faktor sejarah. Jauh sebelum lahirnya Indonesia sebagai bangsa, tahun 1920-an. Nusantara ini adalah pusat feodalisme, sekalipun dengan gradasi yang berbeda.

Semakin merasuk ke pedalaman –dengan pengaruh Hindu yang pekat– kultur feodal itu sangat menjangkar. Sedangkan di kawasan pantai di lingkungan alam maritim, dengan kegiatan dagangnya yang dinamis dan terbuka, kultur egalitarian lebih dirasakan. Tentu tidak sepi dari feodalisme, tetapi lapisannya semakin menipis. Dalam feodalisme, kultur politik yang berkembang adalah ”daulat tuanku”. Dalam demokrasi: ”daulat rakyat”.

Baca juga: Buya Syafii, Pak Taufiq Kiemas, Dan Mas Hadjri

Pertanyaannya kemudian, sambung Buya Syafii, apakah Indonesia merdeka masih mau melestarikan kultur ”daulat tuanku” dengan mengorbankan ”daulat rakyat”? Jawabannya pasti tidak! Jika memang itu jawabannya, ke depan sebutan “Bung” dan “Bing” perlu lebih dipopulerkan. Maka, Bung Karno mesti disusul oleh “Bung” atau “Bing” yang lain: Bung SBY, Bung JK, Bung Wiranto, Bung Prabowo, Bung Boediono, dan Bing Megawati. Tentu, menyusul perlu dipopulerkan juga panggilan untuk Presiden Jokowi.

Jadi, biar tidak melestarikan kultur “daulat tuanku” Presiden Jokowi sebaiknya sering kita panggil Bung Joko atau Bung Jokowi. Pastinya bukan Gus Joko atau Gus Jokowi, dan tidak pula Buya Joko atau Buya Jokowi.

Selamat Ulang Tahun, Bung!

David Krisna Alka
David Krisna Alka
Penyuka kopi susu gula aren. Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.