Tak sedikit orang yang bingung — kenapa Kahar Muzakir diangkat sebagai pahlawan nasional? Bukankah ia pemberontak di Sulawesi Selatan yang ditumpas negara karena hendak mendirikan negara Islam?
Rupanya tak hanya orang awam yang keliru menyamakan Kahar Muzakir dengan Kahar Muzakar. Sejarawan Columbia University, AS, William R Roff (1929-2013) misalnya, keliru berat, menyamakan sang pejuang Abdul Kahar Muzakir dengan sang pembangkang Abdul Kahar Muzakar.
John D. Ledge dalam bukunya, Sukarno, A Political Biography, juga menyantumkan hanya satu indeks pada nama Kahar. Ini artinya, John D. Ledge, secara bibliografis, telah melakukan kesalahan fatal. Menyamakan Kahar dari dua person yang berbeda. Kahar Muzakir dan Kahar Muzakar.
Di sinilah sejarawan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif tertantang meluruskan kekeliruan tersebut. Melihat kebingungan sebagian masyarakat terhadap Kahar Muzakir dan Kahar Muzakar – Buya Syafii bertindak untuk menjernihkannya. Caranya unik: mengusulkan kepada pemerintah agar Abdul Kahar Muzakir — nama lengkap Kahar Muzakir — mendapat gelar pahlawan nasional.
Fatima Zahra — putri Abdul Kahar Muzakir — bercerita: Penganugerahan ayahnya menjadi pahlawan nasional adalah berkat usulan dan usaha keras Buya Syafii Maarif.
“Keluarga Abdul Kahar Muzakir sangat berterima kasih kepada Buya Syafii yang telah mengusulkan ayah kami kepada pemerintah Indonesia menjadi pahlawan nasional,” ungkap Fatima. Ia tahu, tak sedikit masyarakat yang memandang keliru kepada ayahnya. Menyamakannya dengan Abdul Kahar Muzakar. Padahal “Kahar Muzakir” berbeda 180 derajat dari “Kahar Muzakar”
Betul, Abdul Kahar Muzakar (24 Maret 1921 – 3 Februari 1965) yang nama aslinya La Domeng adalah pengagum Abdul Kahar Muzakir (16 April 1907 – 2 Desember 1973). La Domeng, salah satu murid Abdul Kahar Muzakir di sekolah Muhamadiyah, Solo. Saking kagumnya kepada sang guru, La Domeng, mengganti namanya menjadi Abdul Kahar Muzakar.
Ketika terjadi pemberontakan terhadap NKRI di Sulawesi Selatan, nama Abdul Kahar Muzakar “melambung”. Kahar Muzakar – sebutan akrabnya – memimpin sebuah gerakan yang berafiliasi dengan Darul Islam pimpinan Sekarmadji Kartosuwiryo.
Kahar Muzakar sangat ditakuti di Sulawesi, khususnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Ia memberontak terhadap NKRI cukup lama, 1950-1965. Nama Kahar Muzakar sempat menjadi legenda sebagai “pejuang Islam” yang tak terkalahkan. Tak sedikit rakyat Sulawesi yang bergabung dengannya karena gerakan Kahar Muzakar mengatas namakan negara Islam. Sampai akhirnya, Kahar Muzakar ditumpas TNI di bawah komando Jenderal M. Jusuf. Sang pembangkang mati tertembak dalam “Operasi Tumpas” 3 Februari 1965 di Lasolo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Nama Kahar Muzakar yang legendaris inilah yang kemudian membingungkan sebagian orang. Banyak yang keliru, menyamakan Kahar Muzakir dengan Kahar Muzakar. Padahal, kedua nama itu, berbeda orang dan berbeda haluan politiknya. Kahar Muzakir adalah pejuang berdirinya NKRI. Kahar Muzakar pemberontak, anti-NKRI.
Dalam Indonesia & Malay Students In Cairo in 1020’s, William R Roff menyamakan Kahar Muzakir dengan Kahar Muzakar. Ini kekeliruan yang fatal. Sebab Kahar Muzakir dan Kahar Mazakar adalah orang yang berbeda. Bahkan perbedaannya seperti langit dan bumi.
Sebetulnya, Roff benar belaka ketika menyusun sebuah buku Indonesia & Malay Studens in Cairo in 1920’s — mencantumkan nama Kahar Muzakir. Anak Kota Gede ini memang berangkat ke Mesir tahun 1925 saat usianya baru 16 tahun. Kahar Muzakir kuliah di Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo.
Di buku Indonesia & Malay Studens in Cairo, Roff mencatat Kahar Muzakir sama dengan Kahar Muzakar. Roff menganggap Kahar Muzakir dan Kahar Muzakar adalah orang yang sama. Roff tampaknya kurang “piknik” dan tidak tahu: Kahar Muzakir jauh lebih tua dari Kahar Muzakar. Abdul Kahar Muzakir, lahir di Yogya, 16 April 1907. Sedang La Domeng, alias Abdul Kahar Muzakar, lahir di Luwu, Sulsel, 24 Maret 1921. Selisih umur keduanya 14 tahun.
Gegara buku Roff inilah kebingungan tadi makin luas, sampai menyusup ke dunia akademis. Wah! Apalagi kemudian, Kahar Muzakar mengaku sebagai murid setia Kahar Muzakir dan sangat mengagumi pikiran gurunya di sekolah Muhamadiyah, Solo itu. Kebingungan pun tambah melebar ke mana-mana.
Untunglah ada sejarawan yang teliti dan mumpuni, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii tampaknya ingin menghentikan kebingungan itu. Buya atas nama Muhammadiyah mengusulkan agar Kahar Muzakir dianugerahi pahlawan nasional. Setelah dokumen-dokumen sejarah hidup dan perjuangan Kahar Muzakir diserahkan ke pemerintah, usulan itu pun diterima. November 2019, pemerintah resmi memberikan gelar pahlawan nasional kepada Abdul Kahar Muzakir.
Adul Kahar Muzakir merupakan tokoh Muhammadiyah, putra Haji Muzakir, saudagar di Kotagede. Ia cicit dari Kyai Hasan Busyairi, seorang guru agama dan pemimpin tarikat Satariyah. Kyai Hasan Busyairi, adalah salah seorang komandan laskar Pangeran Diponegoro ketika berperang melawan Belanda 1825-1830.
Abdul Kahar Muzakir menempuh pendidikan dasarnya di sekolah Muhamadiyah Kotagede. Hanya sampai kelas dua. Setelah itu, Abdul Kahar Muzakir melanjutkan ke pesantren Mambaul Ulum di Solo. Selanjutnya, dia meneruskan belajar ke Pesantren Jamseren di Solo dan Pesantren Tremas di Pacitan. Pada 1925, ketika ia berusia 16 tahun, sang ayah yang pengusaha kaya, mengirimnya ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya. Di Kairo, Abdul Kahar Muzakir masuk di Fakultas Darul Ulum, Universitas Kairo. Ia meraih gelar akademis di Cairo University, Mesir. Abdul Kahar Muzakir adalah seorang pembelajar yang tekun. Ia menguasai banyak bidang ilmu, seperti hukum Islam, pedagogi, bahasa Arab dan Ibrani.
Di Mesir, Abdul Kahar Muzakir mendirikam Persatuan Pemuda Muslim Sedunia. Organisasi pemuda muslim ini menerbitkan Jurnal Seruan Azhar. Pada tahun 1933, putra Kotagede itu, juga ikut mendirikan Perhimpunan Indonesia Raya. Kemudian ia terpilih sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia Raya tadi. Perhimpunan Indonesia Raya aktif memperkenalkan Indonesia ke dunia internasional, mengkampanyekan kemerdekaan Indonesia dan melobi negara-negara Islam untuk mendukung kemerdekaan Republik Indonesai. Melalui Kantor Berita Indonesia Raya, Kahar Muzakir menyiarkan tuntutan kemderdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda ke seluruh dunia.
Kembali dari Kairo, 1938, ia mengajar di Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 1953, Abdul Kahar Muzakir bergabung dalam struktur Pengurus Besar Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Ketika rejim kolonial Jepang – untuk mendapat dukungan kaum republikan dalam melawan Sekutu — membentuk Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai, 29 April 1945, Abdul Kahar Muzakir menjadi anggota dewan penasihat pusat. Putra Kotagede itu kemudian menjadi anggota BPUPKI mewakili kelompok Islam nasionalis. Ia masuk dalam “Panitia Sembilan” yang merumuskan konsep dasar negara Republik Indonesia. Panitia Sembilan terdiri atas Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso.
Selanjutnya, putra Muzakir itu, terus berjuang di BPUPKI, kemudian di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, atau Dokuritsu Junbi Inkai) sampai Indonesia merdeka. Tugas PPKI adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada bangsa Indonesia. Dan kita tahu, akhirnya, Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, mendeklaraskan Kemerdekaan Indonesia, pada hari Jumat 9 Ramadhan 1364 H atau tanggal 17 Agusus 1945.
Selesaikah perjuangan Abdul Kahar Muzakir? Tidak! Setelah merdeka, fokus perhatian Abdul Kahar Muzakir diarahkan untuk memajukan pendidikan Islam. Ia berperan besar dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kelak dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII).
STI resmi berdiri pada 8 Juli 1945 di Jakarta. Lalu pada 10 April 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta. Pada 1947, STI berubah menjadi UII (Universitas Islam Indonesia).
Prof KH Abdul Kahar Muzakir menjadi rektor pertama sejak STI berdiri. Ia menjabat sebagai rektor selama dua periode, 1945-1948 (pada masa STI) dan 1948-1960 (pada masa UII). Hal ini menjadikan Prof. KH Abdul Kahar Muzakir sebagai rektor terlama, 15 tahun, di perguruan tinggi Islam tertua di Indonesia.
Meski segudang jasa dan prestasi mengiringi perjalanan hidup Prof. KH Abdul Kahar Muzakir – tapi tak banyak publik yang tahu, siapa Kahar Muzakir! Malah banyak orang yang berpikir keliru — menyamakannya dengan Kahar Muzakar.
Di situlah peran Buya Syafii Maarif. Menjernihkan sejarah Indonesia. Dengan disulkannya Abdul Kahar Muzakir oleh Buya Syafii menjadi pahlawan nasional, rakyat Indonesia – termasuk sebagian kaum intelektualnya – tidak akan keliru lagi membicarakan sepak terjang Abdul Kahar Muzakir. Ia memang seorang pejuang tulen. Pejuang kemerdekaan dan pendidikan.
Kehidupan menang unik. Kekaguman Abdul Kahar Muzakar kepada Abdul Kahar Muzakir yang tumbuh sejak di Solo berujung indah setelah keduanya wafat. Hasan Kamal Said, putra Muzakar menikah dengan Fatima Zahra, putri Muzakir di Kotagede, Yogya, tahun 1974.
Perbedaan politik dua keluarga tokoh yang bersebrangan itu, tak menghalangi persemaian cinta antara putra putrinya. Itulah hidup. Lahir, jodoh, dan mati adalah garis kehidupan. Tuhan yang menentukan.