Sabtu, Oktober 5, 2024

‘Budaya’ Sebar Foto dan Screenshot, Wujud Kemarahan dan Kekecewaan Masyarakat Kita

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.

Public shaming baik di dunia offline maupun online sering dipilih masyarakat sebagai cara penghukuman terkait suatu kasus, tetapi hal ini sering diekori dengan sejumlah masalah baru.

Beberapa hari lalu waktu sedang scroll newsfeed medsos, saya menemukan artikel-artikel terkait shaming. Bukan hal yang baru pastinya, tapi saya jadi tergelitik mengullik soal itu.

Artikel pertama yang saya baca dirilis Coconuts.co, soal online harassment yang diterima Sabrina Chairunissa, fitness influencer yang juga tunangan Deddy Corbuzier. Di sana dikatakan, Sabrina menerima DM dari seorang remaja laki-laki bermuatan seksual, mengomentari tubuhnya.

Tak terima dengan aksi bocah tersebut, Sabrina pun menguak identitasnya di media sosial, termasuk video permintaan maaf dari pelaku di Youtube. Buat sebagian warganet, tindakan Sabrina dirasa berlebihan. Tapi buat perempuan ini, tujuan tindakannya adalah memberi efek jera dan mengajak para perempuan lain untuk berani bersuara melawan pelecehan seksual.

Jauh sebelum kasus Sabrina muncul, online shaming orang-orang yang disebut sebagai peleceh seksual sering saya temukan di media sosial. Sebut saja soal beberapa sopir Grab yang melecehkan secara verbal penumpangnya, soal penumpang laki-laki yang menggesekkan kelaminnya ke penumpang perempuan di KRL dan TransJakarta, atau soal pelaku pelecehan Agni. Kebanyakan informasi tersebut disebarkan oleh akun-akun aktivisme anti-pelecehan untuk meningkatkan kewaspadaan warganet perempuan. Ada yang cuma melampirkan foto pelaku, ada juga yang sampai terkuak nama jelasnya.

Sehari setelahnya dari situs yang sama, saya menemukan artikel yang bercerita soal poster pelakor di dekat halte Transjakarta Dukuh Atas. Foto seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai pelakor, pelacur, lengkap dengan nama dirinya dan suami si penyebar poster serta tindakan-tindakan mereka berdua terpampang jelas di situ.

Sama seperti shaming pelaku pelecehan, shaming selingkuhan juga bukan hal yang susah ditemukan di berbagai media. Ingat kasus Bu Dendy yang menyemprot sahabatnya sendiri karena merasa suaminya telah direbut? Atau berita Jennifer Dunn yang dilabrak Shafa Harris, yang bilang bahwa Jennifer Dunn adalah selingkuhan ayahnya?

Lalu yang paling anyar berhubungan dengan kasus perundungan AY oleh 12 siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat. Tak lama setelah kasus ini diberitakan oleh media, foto terduga pelaku menyebar di jagat virtual dan diekori macam-macam makian dari sebagian warganet.

 

Pro-Kontra Public Shaming

Bagus-jeleknya mendokumentasikan tindakan atau orang tertentu senantiasa jadi area abu-abu.

Mungkin banyak yang setuju kalau pelaku kriminal, termasuk pelecehan seksual, pantas disebarkan identitasnya di media sosial. Biar kapok, malu, susah dapat kepercayaan orang-orang di masa depan berkat tindakan merugikannya itu. Mungkin banyak juga yang sepakat kalau para selingkuhan dipermalukan saja, lewat media mana pun, dengan cara apa pun. “Susah-susah membangun rumah tangga, eh…ada yang menikung, enak aja!” Begitu mungkin pikir orang-orang yang menjadi korban dalam perselingkuhan.

Namun kemudian, buat isu pelakor, ada yang punya suara berbeda. Argumennya mulai dari problematisnya istilah pelakor—yang memviktimisasi perempuan saja—, sampai argumen bahwa mempermalukan orang di media sosial atau di muka publik masuk kategori perundungan. Dalam artikel terkait shaming pelaku pelecehan terhadap Sabrina juga disinggung, di satu sisi, pelecehan verbal tetaplah sebuah tindak kriminal, tetapi di sisi lain, public shaming juga bisa mengarah pada pencemaran nama baik atau fitnah yang juga dikategorikan kriminalitas.

Lalu ada lagi soal foto perempuan yang gelantungan di MRT, beberapa warga yang tak tertib dan menyampah di stasiun. Sebagian orang mencemooh orang-orang tak mereka kenal itu. Ada yang menyampaikan pendapatnya tentang bagaimana publik pengguna transportasi umum seharusnya berlaku.

Sementara, sebagian lainnya melihat dari perspektif berbeda menyangkut foto-foto viral orang-orang tak tertib tadi. Arif Utama misalnya, menulis di Voxpop.id  bahwa alih-alih menyebarkan foto-foto macam itu di medsos—entah demi like, meningkatkan engagement atau apa pun—, siapa saja yang melihat tindakan tak tertib dari sesama pengguna MRT lebih baik mengingatkan di tempat atau menjauhi aksi shaming.

Ada pula yang menilai, penyebaran foto macam itu tak etis karena menerobos privasi seseorang. Tidak sedikit foto dan identitas orang-orang yang viral di internet—dan diledek warganet—diambil tanpa izin yang bersangkutan. Kemudian, public shaming dalam kaitannya sebagai kriminalitas bisa pula dilihat sebagai bentuk perundungan yang tidak remeh efeknya bagi orang yang dipermalukan. Apa pun yang sudah diunggah di internet, sulit—kalau bukan tidak mungkin—untuk dihilangkan jejaknya.

Shaming tidak hanya berimbas kepada satu orang saja. Kerap kali, yang juga menerima efek perbuatan itu adalah lingkaran terdekat atau pihak-pihak yang menjadi afiliasi orang tersebut, demikian dinyatakan Sharyn Davies dalam penelitiannya yang menyinggung shaming di buku Sex and Sexualities in Contemporary Indonesia (2014). Mereka yang bisa ikut kecipratan cemooh bisa keluarga, teman, tetangga, orang sekampung, bahkan negara. Tindakan satu orang jadi dengan gampangnya dipandang serta merta mencitrakan satu organisasi atau orang lain.

 

Kontrol Sosial, Penyaluran Kemarahan dan Kekecewaan terhadap Sosok dan Sistem

Public shaming menjadi suatu kontrol sosial yang dalam kasus-kasus tertentu, bisa jadi kebablasan. Dalam masyarakat sudah ada seperangkat norma dan standar moralitas yang harapannya, dipatuhi oleh semua pihak. Ketika ada anggota masyarakat yang melanggar hal ini, secara kolektif anggota masyarakat lain berusaha menghakimi perbuatan dia sekaligus memberi peringatan buat anggota masyarakat lain, “Ini lho, akibatnya kalau kamu melanggar norma. Mau kamu dipermalukan begini?”.

Di balik kontroversi public shaming yang jamak di masyarakat kita, terlebih di ranah digital, saya melihat mudahnya orang mengekspresikan kemarahan atau kekecewaannya terhadap sesuatu. Dalam kasus shaming pelaku pelecehan seksual contohnya, sebagian warganet yang menyebarkan foto dan identitas pelaku (atau terduga pelaku) tidak hanya mengekspresikan kemarahan terhadap si pelaku. Pada saat bersamaan, saya menangkap adanya kekecewaan terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia sampai-sampai mereka mesti bertindak sendiri untuk menghukum pelaku.

Screenshot, foto, dan shaming adalah jalan yang dipilih sebagian orang buat mendapat keadilan. Di negara ini, tidak semudah membalik telapak tangan mengurus laporan kekerasan seksual. Diaku jadi korban dan tidak mendapat blaming saja sudah syukur. Kolektivitas dan solidaritas dipakai saat penegakan hukum oleh aparat diragukan. Warganet mau bergerak dengan caranya sendiri saat institusi belum menunjukkan kecekatan dan ketegasan dalam menyuguhkan keadilan buat mereka.

Atau, bisa juga warganet meyakini bahwa pencarian solusi lewat jalur hukum tidak cukup setimpal dengan perbuatan buruk pelaku. Pokoknya kami mau si pelaku kesusahan terus sepanjang hidupnya setelah merugikan orang lain, kami mau dia sulit cari kerja atau dipecat sekalian dari kantornya sekarang, susah cari pasangan, punya cap jelek di jidatnya sampai dia mati kalau bisa. Terlepas dia akhirnya ditangkap atau tidak, terlepas hukuman pidana sudah selesai dia jalankan atau belum, selamanya dia penjahat di mata kami, begitu pikir sebagian orang.

Marah dan kecewa sungguh wajar dirasakan siapa pun. Penyaluran kedua emosi ini juga sangat dianjurkan oleh ahli-ahli psikologi dibanding dipendam dan tumbuh jadi penyakit. Tapi perkaranya, cara seperti apa yang dipakai buat menyalurkan kemarahan dan kekecewaan itu? Meningkatkan kewaspadaan terhadap tindak kejahatan itu perlu, tapi stigmatisasi dan perolokan online dan offline apa berperan besar dalam menciptakan solusi atau membawa keadilan? Keadilan itu yang seperti apa? Buat satu orang, keadilan bisa berarti penjara, tapi bagi yang punya kesumat terhadap pelaku atau orang yang menyakiti hatinya, keadilan bisa berarti putusnya nyawa, hilangnya aneka kesempatan, atau matinya reputasi orang itu.

Buat saya, memberitakan perkara penting, membela korban juga sama, tapi mempertontonkan kemudian memperolok orang untuk meluapkan amarah itu yang membikin saya mengernyit. Bukan, saya bukan sok-sok mau jadi pacifist, saya pun akan marah terhadap pelaku dan mendukung pencarian keadilan buat korban.

Saya sepakat harus ada sanksi tegas, entah itu pemecatan, skorsing, atau vonis pidana bagi mereka yang tersangkut kasus kriminal. Tapi yang seyogyanya tak luput diingat adalah bagaimana pun orang mengekspresikan kemarahan, sanksi apa pun yang kelak dijatuhkan, tidak sepatutnya ia menciptakan problem baru macam perundungan, diskriminasi, atau bahkan menjadi wujud kriminalitas lain di kemudian hari.

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.