Rabu, April 24, 2024

Brunei: Negeri Islam Terhindar Wabah Covid-19

Musa Maliki
Musa Maliki
Musa Maliki Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Doktor Charles Darwin University Australia; Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan; Karyanya (bersama Asrudin Aswar) "Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat" (2019)

Tulisan ini adalah rangkuman Konferensi online UPN Veteran Jakarta “Peran Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penangan Epidemi Covid-19 di Asia”. Acara ini diadakan pada 22 April dengan dihadiri pembicara dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan juga Indonesia. Tiap pembicara memberi paparannya masing-masing negaranya, di sini saya berkesempatan memaparkan bagaimana Pemerintah Brunei menghadapi Covid-19 tanpa adanya peran masyarakat sipil yang signifikan.

Dalam menghadapi Covid-19, tujuan utama negara Brunei adalah jangan sampai mengambil kebijakan lockdown. Lockdown bagi Brunei akan memberi dampak krisis yang lebih besar daripada karantina dan isolasi-diri. Orang-orang Brunei mempunyai tradisi sosial-budaya yang kental dengan suasana kekeluargaan dan perasaan komunal, jadi jika terjadi lockdown, mereka akan sangat menderita. Pilihan “jangan lockdown” adalah suatu keharusan.

Konteks Negeri Muslim Brunei

Brunei Darussalam adalah negeri pulau Borneo (sebutan Kalimantan di Indonesia) dengan jumlah penduduk sekitar 436, 720 orang dan luas wilayah sekitar sebesar Bali. Mari kita tidak usah mempermasalahkan istilah “Borneo”, apakah mempunyai muatan kolonial atau tidak. Istilah tersebut sudah dinormalisasikan sehingga tidak perlu anti asing. Soalnya, istilah “Indonesia” saja dari kolonial Inggris yang dinormalisasi. Jadi jika ingin mengganti istilah “Borneo” karena bernuansa penjajah, maka Indonesia pun perlu diganti juga dengan “Nusantara”.

Darussalam adalah bahasa Arab yang diartikan negeri damai (peace) atau aman (secure). Brunei Darussalam adalah negeri yang terletak di pulau Borneo yang damai dan aman. Nama adalah doa bagi umat Islam. Jadi sudah amat sangat wajar negeri yang mayoritas Islam ini bernama Brunei Darussalam dengan Ibu kota Bandar Seri Begawan.

Brunei menganut sistem kerajaan absolut (absolute monarchy) yang dipimpin oleh Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah ibni Al-Marhum Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien Sa’adul Khairi Waddien Sultan and Yang di-Pertuan of Brunei Darussalam. Nama pendeknya Hassanal Bolkiah yang sejak 1967 sudah menjadi raja. Brunei lepas dari penjajahan Inggris dan diakui Perserikatan bangsa-bangsa tahun 1984.

Pada tahun 2014, Brunei mengambil langkah berani untuk menganut sistem syariah Islam. Negeri bersyariat Islam ini mempunyai Kementrian Urusan Agama (Kementerian Hal Ehwal Ugama) yang mengatur semua urusan agama. Misalnya semua teks pidato sholat jumat harus seragam, harus menganut mazhab Syafii, dan sebagainya.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam sistem pemerintahan Brunei adalah konsepsi Max Weber tentang kepemimpinan “kharismatik”, “rasional”, “traditional”. Sultan Brunei justru memiliki ketiganya tanpa adanya kontradiksi satu dengan yang lain. Tidak ada kontradiksi dalam konteks pengambilan keputusan Covid-19 yang akan saya jelaskan di bawah ini.

Model Kepemimpinan Sultan Brunei

Dalam pengambilan keputusan penanggulangan Covid-19, Sultan Bolkiah sangat rasional sebab beliau secara dewasa dan elegan belajar dari kebijakan Singapura, yakni proses decision-making rasional yang sangat mempertimbangkan untung-rugi, khususnya mempertimbangkan bahaya loackdown dibandingkan tidak lockdown.

Beliau juga pemimpin yang kharismatik dalam konteks dicintai rakyatnya. Dalam hati rakyatnya, beliau dibanggakan, dipuja, dan dihormati rakyatnya. Beliau begitu dekat dengan rakyatnya.

Dalam pengalaman fenomenologis saya, ketika hari kebangsaan (bukan kemerdekaan), beliau memang mempunyai kharisma yang luar biasa. Di hari kebangsaan itu, beliau langsung turun dari mobilnya dengan gagah, lalu langsung menyambut rakyatnya satu persatu dengan senyum, salaman, dan foto bersama. Beliau berjalan keliling semacam stadium dan lapangan bola (semacam alun-alun) mengunjungi rakyatnya yang sedang menunggu stand pameran macam-macam.

Sultan tidak kenal lelah senyum, bersalaman, dan berfoto dengan rakyatnya. Demikian pula rakyat Beliau menyambutnya dengan hangat untuk ingin sekedar bersalaman atau berfoto dengan beliau. Di sini kharisma bukanlah aura menakutkan tetapi menyejukkan dan bernuansa perlindungan (protection).

Bahkan, ada banyak warga baik Brunei maupun asing (biasanya orang Indonesia) yang belum berkesempatan berfoto membuntutinya demi mendapat momen bersamanya. Aura bersahabat beliau terasa sebab saya juga mengikuti Beliau bersama kamera saya. Saya juga sempat wawancara informal dengan orang-orang biasa untuk sekedar bertanya tentang Sultan.

Selanjutnya, saat itu, Saya tidak mengikuti beliau dengan keliling alun alun. Saat itu, Sultan langsung berbicara dengan rakyatnya tanpa adanya acara seremoni atau pidato formal. Dalam acara kebangsaan, Sultan tanpa kenal waktu dan tenaga langsung menyambut rakyatnya dengan senyum dan kebahagiaan. Kira-kira begitulah ilustrasi saya tentang realitas kharisma. Saya membuahkan kesimpulan bahwa beliau memang sosok yang kharismatik yang mencintai rakyatnya dan sebaliknya.

Pemerintah tradisional adalah pemerintahan kerajaan absolut yang mengikuti tradisi kerajaan sejak dahulu kala. Negeri Brunei adalah milik raja dan keluarganya sedangkan warga lain di Brunei hanyalah numpang sementara, khususnya warna non-Melayu seperti Cina, India, dan Bangladesh. Dengan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap negari, Sultan mempunyai rasa tanggung jawab besar mengurusinya.

Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan lain yang orang-orangnya selalu berganti-ganti baik pemimpinnya maupun jajarannya. Pemerintah semacam ini membuat orang-orangnya kurang memiliki sense of belonging. Mereka justru mempunyai sense of exploitation atau aji mumpung berkuasa sehingga ketika diberi kesempatan berkuasa maka semuanya rasanya ingin dimiliknya sebelum masanya berakhir. Sistem ini justru membuat orang-orang membuat sistem oligarkhi dengan logika nilai guna untuk menopang sistem kapitalisme global. Dari sini, mental kerakusan pun terus dipenuhi sampai tiada akhir dengan unsur manusia “mumpung”.

Sebaliknya, bagi Sultan Brunei, karena semuanya sudah miliknya, maka semuanya harus dikelola oleh dirinya demi keberlangsungan miliknya, karena tak mungkin diri dan keluarganya menghabiskannya; jika dihabiskan olehnya atau keluarganya, maka habislah dirinya sendiri. Singkatnya, Sultan Brunei yang secara reproduksi dikonstruksi dengan akhlak mulia sejak kecil, Beliau berusaha menciptakan negeri Brunei yang aman dan damai sesuai dengan namanya.

Kebijakan Covid-19 Pemerintah Brunei

Pada tanggal 6 Maret 2020, Menteri Kesehatan Brunei sudah mulai memberi edukasi tentang Covid-19, khususnya peringatan tentang covid-19 untuk para pengunjun Brunei (traveler) di seluruh Brunei. Brunei sudah mengontrol perjalanan dari 4 negara berbahaya: Cina, Iran, Italia, dan Korea Selatan. Peringatan ini dimulai walaupun Brunei belum ada korban terkena Covid-19 saat itu.

Kementerian Kesehatan memberi edukasi untuk stay at home, pakai mask, jangan menyebarkan berita hoax, kebersihan perlu ditingkatkan, pentingnya jendela dalam rumah, dan selalu cek gejala-gejak Covid-19. Pemerintah juga melarang rakyatnya sembarangan pergi ke rumah sakit atau klinik. Mereka sudah menyediakan rumah sakit khusus Covid-19 bernama RIPAS (Gadong) yang berjarak 30 menit menuju pusat Karantina di Tutong. Mereka harus menghubungi line 2381380/2381383. Jika sudah sampai sesak nafas, hubungi 991/123.

Kementerian Kesehatan juga memberi kiat-kiat khusus agar tidak bosan dalam proses isolasi diri. Jika tidak mengikuti perintah pemerintah, seperti isolasi diri, bohong, atau menyebarkan hoax maka akan dikenai denda sebanyak 3000 dolar Brunei (Singapura) atau penjara 3 tahun; siapapun yang tidak melapor dan tertangkap tidak melapor, khususnya dari peserta Jamaah Tabligh, maka dikenai denda sebesar 10.000 dolar atau penjara 6 bulan atau keduanya.

Hal ini menunjukkan teori Max Weber dan Jean Bodin tentang konsep negara benar-benar dijalankan. Negara-bangsa (state) adalah “human community that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of violence within a given territory.” Negara adalah institusi tunggal yang legitimate dan memiliki hak memonopoli kekerasan atau menggunakan daya paksa. Jadi negara bukanlah institusi melakukan himbauan, tetapi institusi perintah/paksaan. Konteks ini efektif dalam pengendalian Covid-19.

Pertama kali Covid-19 ditemukan di Brunei bersumber dari acara Ijtima Jamaah Tabligh (JT) di masjid Sri Petaling, Malaysia (28 Februari-1 Maret 2020). Seorang Brunei (53) pulang ke Brunei melalui Miri (Malaysia) dengan tiga temannya pada 3 Maret. Setelah merasa gejalanya tanggal 7 Maret, Dia dibawa ke RIPAS lalu ke pusat Karantina (National Isolation Centre). Pada tanggal 9 Maret, Dia dinyatakan positif berdasarkan tes Laboratorium. Warga Brunei yang mengikuti acara tersebut sebanyak 90 peserta.

Pada tanggal 11 Maret, korban bertambah 5 dari acara Ijtima Jamaah Tabligh sampai sejumlah 75 orang. Temuan ini tentunya terbantu oleh aparat kepolisian yang terus melacak para jamaah tersebut dan juga kesadaran melapor warganya. Jadi kasus tanpa riwayat penerbangan saat itu hanya bersumber dari keluarga peserta Jamaah Tabligh saja.

Tanggal 14 Maret mulai membatasi secara ketat daerah perbatasan, khususnya Miri, Malaysia. Sejak awal korban pertama, pemerintah meliburkan semua sekolah, Shlat Jumat diperketat minggu itu, lalu minggu depannya diliburkan dengan terus diperpanjang liburnya. Demikian pula tempat hiburan dan olahraga diliburkan, restoran take away sedangkan toko bahan makanan sehari-hari masih dibuka dengan social distancing, cek suhu tubuh, dan sejenisnya. Saat itu, warga Brunei sudah tidak diperbolehkan keluar negeri.

Mulai tanggal 20 Maret, penerbangan ke Brunei, para penumpangnya langsung dimasukkan ke apartemen atau hotel untuk diisolasi selama 14 hari dengan dikenai harga 30-50 dolar perhari. Warga Brunei yang sekolah di luar negeri dipulangkan semuanya. Dari sinilah muncul kasus baru dari UK dan Malaysia yang dibawa mahasiswa, tetapi hal ini sudah diantisipasi dan dikendalikan.

Sumbangan dari dalam negeri dan luar negeri pun terus berdatangan dalam penanggulangan Covid-19. Misalnya donasi dari Cina (Mammoth Foundation Shenzhen sponsor utama Brunei genomics innovation) yang memberikan 20 alat deteksi (CE-IVD marking yang bisa mendeteksi 1000 org langsung) dan supermarket Hua Ho yang memberikan konsumsi bahan minuman serta dana-dana CSR dari berbagai macam perusahaan dalam negeri.

Selama tanggal 21 Maret sampai 20 April, pemerintah terus memantau dan melacak korban agar jangan sampai ada korban yang tidak terdeteksi riwayatnya. Dari kerja kerasnya, 20 April sampai sekarang, Brunei terbebas Covid-19. Sudah hampir 5 hari Brunei tidak menemui kasus baru.

Beberapa tempat yang terlihat menonjol penyebaran virusnya bersumber dari acara keagamaan (Malaysia dan Indonesia), mahasiswa yang dipulangkan dari UK dan Malaysia, dan pelancong dari Malaysia dan Indonesia. Kasus semua di Brunei mencapai 138 kasus, meninggal 1 orang, 116 orang telah sembuh. Semua kluster sejak awal sudah terus dilacak, dipantau, dan dikejar titik-titiknya sehingga semuanya dapat dikendalikan. Jadi semuanya yang terkena jelas riwayatnya.

Sampai di level zero, Brunei tidak sombong. Brunei tetap melakukan social distancing, restoran masih take away, jumatan masih libur, di masa ramadan, masjid masih dikunci, semua acara mass gathering dilarang, kantor masih work from home kecuali kerjaan yang vital, para buruh kerja paroh waktu, dan sejenisnya. Tidak ada yang perubahan aturan dari sebelumnya sampai nanti ada pengumuman benar-benar aman. Semua itu diawasi oleh polisi dan tes secara acak ribuan orang beberapa hari ini terus dijalankan.

Lesson Learned dari Brunei

Konteks penanganan Covid-19 yang tidak dimiliki di dunia dewasa ini adalah adanya pemimpin yang kuat dari Sultan Bolkiah: kharismatik, rasional, dan tradisional. Selain itu, Beliau juga tetap mau belajar dari cara Singapura menghadapi Covid-19. Model kepemimpinan ini memberikan kebijakan yang efektif, cepat tanggap dan sigap dalam menghapus Covid-19 di Brunei.

Sultan adalah pemimpin yang berakhlak mulia disertai dengan kepercayaan penuh dari rakyatnya dengan sistem pemerintahan birokrasi dan penegakkan hukum yang jelas, tegas, dan rasional dengan tujuan jelas: jangan sampai lockdown. Pada akhirnya Brunei mencapai targetnya: tidak melakukan lockdown dan terbebas dari Covid-19.

Selain usaha-usaha rasional dengan terinspirasi Singapura dan figur Sultan, kebijakan pemerintah Brunei juga didukung legitimasi syariat Islam yang tidak membingungkan umatnya dan tegas fikihnya. Pemerintah dan para ulamanya menerbitkan buku “Covid-19: Apa kata Mufti?” (2020) sebagai panduan rakyatnya.

Selain itu, secara religius, mereka selalu mengingatkan warga Brunei agar terus-menerus berdoa tolak wabah, sholat hajat, ‘baca’ surat Yasin tiap malam jumat melalui radio dan media lainnya. Semua itu sangat relevan dengan masyarakat Brunei yang secara relatif Islami. Jadi dengan pemimpin kharismatik, kebijakan rasional disertai istiqamah, tawadhu dan terus menerus berdoa kepada Allah, Brunei menjadi selamat dari ancaman Covid-19 sesuai dengan namanya (doanya), Brunei Darussalam.

Musa Maliki
Musa Maliki
Musa Maliki Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Doktor Charles Darwin University Australia; Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan; Karyanya (bersama Asrudin Aswar) "Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat" (2019)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.