Bayangkan ini: Mobil impian di garasimu, gawai canggih di genggamanmu, bahkan mungkin boneka lucu di kamar anakmu. Tahukah Anda, ada satu kesamaan mengejutkan di antara ketiganya? Mereka semua memulai perjalanan epiknya melintasi samudra, diangkut oleh raksasa-raksasa baja yang dikenal sebagai kapal kargo. Ya, urat nadi perdagangan global sesungguhnya berdenyut di lautan! Dari sirkuit elektronik rumit hingga jahitan pakaian yang halus, bahkan hingga baja kokoh kendaraan yang kita kemudikan sehari-hari, hampir semuanya—bayangkan, 9 dari 10 barang di seluruh dunia!—melintasi cakrawala dengan kapal. Dan tebak di mana sebagian besar armada perkasa ini dilahirkan? Tiongkok adalah “ibu” dari lautan kapal dagang dunia.
Namun, peta perdagangan maritim ini kini ingin diubah oleh Amerika Serikat. Sosok kontroversial, Donald Trump, kembali hadir dengan bidikan baru: kapal-kapal buatan Tiongkok. Mengikuti jejak ambisinya untuk merombak lanskap perdagangan dan industri manufaktur, Trump bertekad untuk mengembalikan kejayaan pembuatan kapal ke tanah Amerika.
Dengan nada penuh keyakinan, ia mendeklarasikan, “Kita akan mendirikan kantor pembuatan kapal yang baru di jantung Gedung Putih dan menggelontorkan insentif pajak istimewa untuk memulangkan industri vital ini ke pangkuan Amerika, tempat di mana seharusnya ia berada. Dahulu kala, kita adalah bangsa pembuat kapal yang hebat. Meskipun kini produksi kita merosot, percayalah, kita akan membangunnya kembali dengan kecepatan dan skala yang luar biasa! Dampaknya akan sangat besar.”
Lantas, bagaimana cara Trump mewujudkan visi ambisius ini? Jawabannya tak jauh berbeda dari taktiknya yang sudah dikenal: memberlakukan “palang pintu” berupa pajak yang lebih tinggi bagi kapal-kapal yang berlabel “Made in China”. Setiap kali lambung-lambung raksasa itu merapat ke perairan Amerika, mereka akan disambut dengan biaya yang tak main-main—yang disebut biaya pelabuhan—dan Trump berniat untuk menaikkan tarif ini secara signifikan. Langkah berani ini jelas bertujuan untuk mengguncang keseimbangan perdagangan global, dan tak ayal, gelombang penolakan pun mulai membentur tembok kebijakannya.
Bayangkan sebuah kejutan finansial besar yang mengguncang dunia maritim. Trump, dengan langkahnya yang khas, melemparkan bom waktu ke perdagangan global: sebuah biaya tetap yang mencekik, hingga $3,5 juta per kapal, setiap kali kapal-kapal Tiongkok berani menjejakkan kaki di pelabuhan Amerika—ya, $3,5 juta per kunjungan! Rencana ini, seperti gelombang tsunami, langsung memicu kepanikan di seluruh industri AS. Ketergantungan mereka pada kapal-kapal raksasa itu untuk mengangkut barang-barang mereka menjadi mimpi buruk. Kekhawatiran yang sama bergaung di mana-mana: inflasi yang meroket, harga-harga yang membubung tinggi bagi konsumen Amerika, dan beban berat yang harus dipikul oleh perusahaan pelayaran global.
Menghadapi badai protes, Washington akhirnya melunakkan pukulan. Rencana awal yang mengguncang itu diubah. Biaya sekarang akan dihitung berdasarkan berat kargo atau jumlah kontainer yang dibawa, bukan lagi biaya tetap yang mencekik. Dan, alih-alih setiap kunjungan, biaya hanya akan dikenakan hingga lima kali setahun. Namun, ada satu jalan keluar yang menggiurkan: pesanlah kapal dari galangan kapal Amerika, bukan Tiongkok, dan Anda akan mendapatkan pengecualian.
Tak pelak lagi, Tiongkok meradang. “Posisi kami sudah jelas dan kami ulangi lagi,” tegas seorang perwakilan Tiongkok. “Langkah-langkah seperti biaya pelabuhan dan tarif peralatan kargo adalah racun bagi kedua belah pihak. Mereka bukan hanya menaikkan biaya pengiriman global dan mengganggu rantai pasokan, tetapi juga memicu inflasi di Amerika, merugikan konsumen dan perusahaan Amerika, dan pada akhirnya, gagal menghidupkan kembali industri pembuatan kapal AS.”
Mungkin terlintas di benak Anda: mengapa ini menjadi masalah yang begitu besar? Bukankah para pemasok bisa dengan mudah mencari alternatif, menggunakan kapal dari negara lain untuk mengangkut barang ke Amerika? Sayangnya, jawabannya tidak sesederhana itu. Bayangkan sebuah kerajaan raksasa yang mencengkeram industri pembuatan kapal dunia—itulah Tiongkok. Ambil contoh bulan Februari saja: lebih dari seribu kapal berlabuh di pelabuhan-pelabuhan AS—tepatnya, sepuluh ribu kapal! Dari jumlah itu, hampir seperlima—190 kapal—berasal dari galangan kapal Tiongkok. Bahkan, lebih dari sepertiga armada kapal yang berlayar di seluruh lautan dunia adalah produk “Made in China”.
Dominasi mereka tidak berhenti di situ. Tiongkok juga memproduksi mayoritas kontainer pengiriman global, menguasai produksi derek pelabuhan, dan mengatur denyut nadi lalu lintas di banyak pelabuhan utama. Coba renungkan ini: tujuh dari sepuluh pelabuhan tersibuk di planet ini ternyata dimiliki oleh Tiongkok! Jadi, mengabaikan atau menghindari industri perkapalan Tiongkok sama saja dengan mencoba mengabaikan gravitasi—hampir mustahil. Mereka terlalu besar, dan terus berekspansi. Lebih dari separuh kapal yang sedang dalam tahap pembangunan saat ini berlokasi di galangan kapal Tiongkok, dan mereka terus memenangkan kontrak-kontrak baru.
Tentu saja, hegemoni ini tidak muncul dalam semalam. Di awal tahun 2000-an, Tiongkok hanyalah pemain kecil di kancah ini. Namun, setelah bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), mereka melesat bagai roket. Kebutuhan akan kapal untuk mengimpor energi dan mengekspor barang menjadi pemicunya. Maka, Beijing dengan sigap memberikan dukungan penuh kepada galangan kapalnya—mulai dari subsidi, pinjaman berbunga rendah, pasokan baja yang terjangkau, hingga dukungan tenaga kerja.
Antara tahun 2010 dan 2018 saja, Beijing menggelontorkan dana fantastis, $132 miliar, untuk memacu industri pembuatan kapal. Hasilnya? Galangan kapal Tiongkok saat ini sangat luas, efisien, dan menikmati keuntungan skala ekonomi yang sulit ditandingi oleh negara lain. Dalam hal harga, mereka hampir tak terkalahkan. Amerika Serikat berpendapat bahwa praktik ini telah menghancurkan persaingan yang sehat, membuat galangan kapal Amerika kesulitan untuk bertahan. Inilah mengapa Trump berupaya melawan dengan menargetkan kapal-kapal Tiongkok melalui pajak.
Namun, para ahli melihat tantangan besar di depan. Bahkan jika rencana Trump berhasil, prosesnya akan memakan waktu yang sangat lama. Dibutuhkan setidaknya enam hingga tujuh tahun bagi Amerika untuk meluncurkan kapal baru—lebih lama dari satu periode kepresidenan. Sementara itu, roda perdagangan global tidak akan berhenti berputar. Jadi, meskipun tujuan Trump untuk membangkitkan industri pembuatan kapal AS mungkin tepat, strateginya berpotensi membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuahkan hasil, dan pada saat itu, mungkin situasinya sudah jauh berubah dan peluangnya telah tertutup.