Di Perang Dunia II, London dihujani 10 ribu tembakan oleh bom-bom Jerman. Di pekan ke-17, kemarin, klub London Arsenal dihujani tiga gol dari para penyerang Southampton, klub yang sedang karam dan baru dua pekan dipegang seorang pelatih baru yang datang dari Jerman. Lucunya, tiga gol itu dicetak oleh dua striker yang sangat khas Inggris. Dan, dilakukan dengan cara yang selama ini dianggap sangat Inggris: sundulan kepala.
Ralph Hasenhuttl, pelatih itu, yang orang Austria, meninggalkan RB Leipzig akhir musim lalu. Dua musim di sana, ia membuat Leipzig, klub jadi-jadian itu, menjadi yang paling tidak disukai sekaligus paling menyita perhatian di persepakbolaan Jerman. Untuk klub yang baru berusia sewindu, mereka terlalu mencolok bagusnya, menyelinap di antara dominasi Munchen dan Dortmund di papan atas Bundesliga, dan kemudian mewakili Jerman di Liga Champions. Sudah begitu, mereka melahirkan pemain-pemain muda yang membuat para pemandu bakat dari klub-besar Eropa berduyun-duyun berkerumun: Timo Werner, Yussuf Poulsen, Emile Forsberg, dan (yang mulai jadi pujaan para penulis sepakbola Inggris di paruh awal musim ini) Naby Keita. Sebelum itu, mereka menelurkan seorang bek sayap yang digadang menjadi Philiph Lahm berikutnya, Joshua Kimmich.
Hasenhuttl datang 5 Desember lalu ke Southampton, setelah The Saint memecat Mark Hughes, pelatih terakhir di sepakbola Inggris yang pernah mencecap pengasuhan Sir Alex Ferguson; ini adalah kali keempat Hughes dipecat, setelah Man City, QPR, dan Stoke. Hasenhuttl sendiri adalah orang pertama dari Austria yang jadi pelatih di Premier League, tapi jelas sekali ia adalah impor Liga Inggris berikutnya dari Bundesliga, setelah sebelumnya mereka kedatangan Pep, Klopp, dan Wagner.
Hasenhuttl, seorang mantan penyerang (sebagaimana Hughes), dengan delapan cap di timnas Austria, menamatkan karier sepakbolanya di Jerman, dan mulai merintis karier kepelatihannya di sana. Seperti kebanyakan pelatih-pelatih beraroma Jerman yang belakangan ini jadi komoditas ekspor yang laris di sepakbola Eropa, ia disukai karena sepakbola menekannya dan kesenangannya pada bakat-bakat muda—dua hal yang terdengar sangat sesuai dengan asosiasi yang selama ini melekat pada Soton. Satu kelas kursus kepelatihan dengan Jurgen Kloop, Hasenhuttl mulai mengoperasikan gegenpressing-nya sendiri dari klub divisi tiga Jerman, VfR Aalen pada 2011. Kesuksesan mengangkat FC Ingolstadt dari pupuk bawang Divisi 2 ke Bundesliga membawanya menjadi pelatih klub ingusan tapi ambisius, RB Leipzig. Ia dijuluki sebagai “Klopp dari Pegunungan Alpen”.
Ia kalah pada pertandingan pertamanya bersama Southampton, dari Cardiff, sesama pejuang degradasi. Tapi tidak untuk pertandingan kedua, justru ketika mereka berhadapan dengan tim pemburu empat besar. Tak tanggung dan tak canggung, setelah hanya menang sekali sejak awal musim, Soton menghajar klub yang tak terkalahkan selama 21 pertandingan, Arsenal.
Masih sulit menemukan gegenpressing ala Aalen ini di pertandingan kedua Hasenhuttl bersama Southampton. Apalagi mereka musti menghadapi tim yang memainkan penguasaan bola macam Arsenal. Dan jelas, mereka kalah dominan. Dan alih-alih menjadi ke-Jerman-jerman-an, Soton justru memenangkan pertandingan keduanya musim ini dengan cara Inggris, lewat dua penyerangnya yang sangat Inggris: Danny Ings dan Charlie Austin.
Ings, yang mengalami tiga musim yang buruk di Liverpool, dengan dua kali cedera di dua lututnya dan rerata sebiji gol untuk setiap musimnya, mencetak dua gol yang membuat seisi Stadion St. Marry melonjak-lonjak. Dua umpan lob dari sayap, dua hunjaman indah dengan kepala; saya bayangkan, Alan Shearer pasti akan senang melihatnya.
Dua gol Mikhitariyan, salah satunya juga dengan sundulan, menyamakan kedudukan untuk Arsenal. Tapi, striker (yang sangat tipikal) Inggris lain, Charlie Austin, seorang penyerang yang mondar-mandir di klub-klub gurem macam Swindon Town, QPR, dan Burnley, mencetak gol ketiga. Dengan sundulan juga. Dan Soton pun memperoleh kemenangannya kembali, sejak terakhir mendapatkannya awal September lalu.
Tapi, Hasenhuttl tampaknya tak terlalu peduli dengan cara gol-gol itu dicetak. Ia merayakan kemenangan pertamanya di Liga Inggris dengan cara yang sangat Jerman. Begitu peluit akhir ditiup, ia berlari ke dalam lapangan, memburu para pemainnya, memeluknya—para pemuja Klopp di The Kop pasti familiar dengan gestur ini.
“Bir gratis untuk semua penonton pemegang tiket terusan!” katanya.
***
Tapi, di Anfield, bom Jerman yang lebih dahsyat berdentuman menghantami gawang yang dijaga David De Gea. Dan sebuah klub dari Manchester, tentu bukan yang berstatus juara bertahan, keluar dari kota Liverpool dalam kondisi hancur. Dan seorang pelatih, yang jelas sekali tak lagi spesial, dalam jumpa persnya, hanya bisa bicara tentang cedera, cedera, dan cedera. Dan bersamaan dengan kalimat ini ditulis, seseorang kehilangan pekerjaannya.
Sehari sebelum pertandingan melawan Liverpool, Mourinho menyebut-nyebut tentang (kekuatan) “nuklir” yang dimiliki Liverpool yang mesti diredamnya. Kata itu dirujukkannya kepada Mo Salah, pemain yang dibelinya untuk Chelsea dari klub Swiss, Basel, dan gagal dibuatnya bersinar. “Salah adalah nuklir dalam kekuatan timnya,” kata Mou waktu itu. “Tentu saja kami memikirkannya, dan memikirkan cara terbaik untuk mengatasinya.”
Mo Salah gagal meledak dalam pertandingan Minggu malam itu; ia tak mencetak gol, meskipun sedang ada di masa subur; dan ia pemain depan dengan nilai rerata terendah. Boleh jadi karena para pemain bertahan Mou berhasil meredamnya—sebagaimana yang berhasil ia lakukan dalam pertandingan-pertandingan MU melawan Liverpool sebelum-sebelumnya. Tapi, siapa sangka, yang kemudian menghancur-leburkan MU adalah bekas pemain Basel yang lain, Xherdan Shaqiri.
Shaqiri masuk ke lapangan menit ke-69. Dan, lewat dua gol bola pental, ia meratakan pertahanan United sebelas menit kemudian.
Dengan hasil tersebut, Liverpool mempertahankan puncak klasemen dari Manchester City. Tapi, bukan itu yang kemudian jadi berita. Di mana sekarang Manchester United berada, betapa jauhnya jarak poin MU dari Liverpool, dan betapa buruknya tim ini, itulah yang lebih banyak menjadi tajuk koran keesokan harinya. Dan, tentu saja, betapa jauhnya atribut “The Special One” telah pergi meninggalkan Mou.
“Secara fisikal, kami tak sanggup menandingi Liverpool,” kata Mou, usai pertandingan. “Aku bahkan ikut lelah hanya dengan melihat Andy Robertson (berlari).”
Tapi bukan Mou kalau tak punya alasan untuk diajukan: “Kami punya banyak pemain yang rentan cedera, sebab beberapa pemain sering cedera, dan itu terjadi sejak sebelum aku datang.”
Shaqiri, yang didatangkan dari klub terdegradasi, Stoke, menjadi pujaan baru penggemar Liverpool; menjajarkan harganya secara murah meriah dengan harga Rumelu Lukaku yang mewah menjadi meme-meme yang laris dan disukai para pembenci MU. Sementara itu, Fabinho, pemain terbaik di pertandingan itu, mengobati kerisauan dan kerinduan seorang gelandang bertahan setipe Xabi Alonso. Tapi, seisi Anfield memilih cara Jerman untuk menikmati malam itu: schadenfreude.
Mereka bergembira karena memenangkan pertandingan melawan musuh bebuyutan sekaligus mampu mempertahankan puncak klasemen. Namun, mereka jauh lebih menikmati kekalahan yang diderita United. Mereka menari di atas luka para pendukung MU.
“Jangan pecat Mourinho! Jangan pecat Mourinho!” dendang para Kopites. Tentu saja dengan nada mengejek dan mulut mengulum tawa.
Dan kita telah tahu, tak sampai dua kali 24 jam, di Manchester, dewan direksi MU melakukan sebaliknya.