Jumat, Maret 29, 2024

Bodoh dan Kebodohan Era Post Truth

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah

Masyarakat kita cenderung senang memaki. Jika memaki, kata-kata yang paling sering muncul adalah kata bodoh, dungu, dan segala turunannya. Begitu mudahnya kata ini, yang hanya terdiri dari 5 hurup, b-o-d-o-h, maka sering meluncur dari mulut atau tulisan status dan komentar di media sosial.

Kata ini sebenarnya, kata yang netral dan bebas, merujuk pada kondisi seseorang atau objek yang dinilai. Dia tidak dimaksudkan untuk memaki, hanya sekedar untuk menunjukkan situasi dan kondisi objeknya.

Tetapi dalam penggunaannya, diksi “bodoh” dan sejenisnya digunakan untuk memaki, menyerang, menghina dan bahkan merendahkan orang lain. Padahal sejatinya, mereka yang mengatakan bodoh kepada orang lain, tidak lain tengah memperlihatkan keadaan bodoh pada diri sendiri. Jadi jangan bangga dulu ketika bisa memaki orang lain bodoh, karena itu tidak lain adalah bodoh yang melekat dengan given di dalam diri sendiri.

Mengapa demikian, bodoh dan kebodohan adalah kata berupa barang gratisan yang didapat “diemper jalan” dengan mudah. Dengan demikian, bodoh bisa menghinggapi siapa saja, dalam situasi dan kondisi tertentu yang dialami oleh seseorang.

Pengetahuan, Ilmu, dan Kebodohan

Pengetahuan berasal dari kata “tahu”. Dalam bukunya, Tahu dan Pengetahuan, Poerwadarminta menjelaskan, bahwa tahu adalah kondisi mental mengenai mengetahui. Pengetahuan mengandung arti sebagai segala sesuatu yang diketahui.

Untuk memiliki pengetahuan, kita tidak perlu mengikuti prosedur tertentu. Misalnya, Ani mengetahui bahwa sekolah SMPN 95 terletak di jalan Gorontalo. Ani mengetahui jalan menuju ke sana dengan jalan tertentu. Tetapi jika Ani menggunakan jalan yang lain juga bisa dan sampai di SMP kita itu. Itulah pengetahuan.

Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang khusus. Pengertian khusus mengandung arti dalam cara memperolehnya. Disebut ilmu, dalam kategori efistemologi keilmuan, karena ia memiliki metodologi keilmuan dan memperoleh ilmu hanya bisa dilakukan dengan cara tententu mengikuti alur kerangka kerja dan berpikir keilmuan.

Dengan demikian, sekali lagi ilmu adalah pengetahuan yang khusus, cara memperolehnya juga dengan cara yang khusus. Sedangkan pengetahuan adalah segala yang kita ketahui dan memperolehnya tidak terikat dengan cara tertentu.

Lalu bagaimana dengan kebodohan. Dalam filsafat ilmu, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, sambil mengutip para filsuf mengatakan bahwa, manusia dengan pengetahuannya dikelompokkan ke dalam empat kategori.

Pertama, manusia yang mengetahui bahwa ia mengetahui. Ini adalah manusia yang pintar. Ia mengetahui tentang sesuatu yang ia ketahui. Sehingga ia selalu berbicara tentang apa yang diketahuinya. Ia menghindari berbicara tentang apa yang tidak diketahuinya. Sederhana sekali yang disebut pintar itu.

Kedua, manusia yang mengetahui bahwa ia tidak mengetahui. Ini manusia bijaksana. Pengetahuannya bahwa ia tidak mengetahui menjadikan ia bijaksana dan berhati hati. Ia menjadi tidak sok tahu dan bahkan jauh dari sikap semacam itu.

Ketiga, manusia yang tidak mengetahui bahwa ia mengetahui. Inilah orang yang (maaf) bodoh. Dia sesungguhnya mengetahui, tetapi dia tidak mengetahui tentang apa yang diketahui. Maka pengetahuan yang dimilikinya tidak berfungsi karena tidak bisa dimanfaatkan olehnya.

Keempat, manusia yang tidak tahu bahwa ia tidak mengetahui. Inilah sesungguhnya manusia yang celaka. Ia tidak mengetahui tentang apa yang tidak ia ketahui, sehingga ia menjadi dan merasa mengetahui atau sok tahu. Manusia demikian biasanya hanya ditertawakan dalam kehidupan. Orang cenderung mengalah dan menghindarinya.

Maka, bisa disimpulkan bodoh dan kebodohan itu adalah kondisi mental tentang pengetahuan pada diri seseorang. Orang yang tidak memiliki pengetahuan belum tentu bodoh jika ia mengetahui bahwa ia tidak mengetahui. Mereka yang (merasa) pintar akan terlihat bodoh ketika menghakimi orang lain sebagai bodoh.

Kebodohan adalah penyakit individu dalam masyarakat. Dalam skala yang luas, jika masyarakat bisa menjadi bodoh, ketika masyarakat mengalami anomali dalam berpikir, maka kebodohan dapat berkembang pada masyarakat.

Kebodohan di Era Post Truth

Kita hidup di dunia super modern, ketika segala sesuatu menjadi sangat mudah dan berada dalam genggaman kita. Betapa tidak, sebuah benda ajaib yang bernama smart phone telah menjadikan dunia (seolah) berada dalam genggaman kita.

Dalam dunia semacam itu, orang bisa melakukan apa saja. Memesan tiket, makanan, “mengunjungi” tempat yg jauh, menonton pertujukkan, bahkan mengekspresikan diri dengan berselfie atau berkata kata.

Terutama berekspresi dengan kata kata, manusia telah memasuki dan melampuai batas batas yang luar biasa. Kebebasan dan kemampuan berkata kata yang tidak dibarengi dengan sikap berhati hati dan mawas diri, telah menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan (pergaulan) nya.

Setiap individu manusia, dengan mudah mengucapkan kata, melakukan share informasi, beropini dan sebagainya, tanpa dibarengi kemampuan yang memadai untuk mengunyahnya dan ini sering menimbulkan masalah bagi kehidupan. Inilah yang berlangsung hari hari belakangan ini.

Inilah era post truth atau era pasca kebenaran. Akibat kemajuan teknologi informasi orang dengan bebas dan mudah menyebarkan informasi dan berkata kata dalam dunia medsos. Era pasca kebenaran telah meruntuhkan standar kebenaran yang ada. Orang bisa ceramah agama karena mengambil status orang lain. Orang bisa bicara politik karena mengambil pembicaraan orang lain. Orang juga bisa bicara tentang apapun karena semua tinggal copy paste.

Dalam era pasca kebenaran semacam itu, kebenaran menjadi milik siapapun. Tanpa perlu mengetahui atau bahkan menyelidikinya. Para pakar tersingkir dalam debat di ruang publik dunia (tanpa luna) maya. Pakar atau ahli lebih memilih diam dan sembunyi, karena jagad realitas dibombardir oleh informasi yang nyaris tiada henti dan sangat hiruk pikuk. Mereka menyadari tiada guna berbicara dalam situasi yang demikian.

Masyarakat juga tidak butuh perspektif kebenaran yang bisa membuat kening mereka berkerut. Karena tuntutan kehidupan sudah membuat kening mereka berkerut sepanjang waktu. Maka dilontarkan segala sesuatu yang bersifat ketidakpuasan dan kemarahan dalam ruang publik jagad dunia maya.

Era pasca kebenaran, sesuatu menjadi cair, bergerak cepat dengan liar dan sulit dikendalikan. Karena massa sudah memasuki batas kebenaran dengan sedemikian masifnya. Kebenaran sudah diintervensi oleh massa dalam jumlah yang tidak terhingga. Situasi itu mirip pusaran lumpur hidup menghisap siapa saja yang ada di sekitarnya.

Ini kehidupan di era Post truth, kebenaran menjadi barang yang dianiaya dengan brutal. Setiap individu merobek robek diri kebenaran, maka kehidupan semakin sinis. Alih alih kebenaran yang diperoleh mereka menghancurkan kebenaran.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Hans George Gadamer dalam Truth and Method, bahwa kebanyakan manusia tidak pernah berjumpa dengan kebenaran. Jika hidupnya baik, jangan berbangga dulu, karena jangan jangan kebenaran yang sesungguhnya menemukan dirinya. Sungguh sangat beruntung manusia semacam itu. Karena kemurahan Allah Tuhan Yang Esa, telah dipertemukan oleh kebenaran.

Mengapa, karena kebenaran adalah barang mewah yang hanya didapat oleh orang orang yang berpikir berupaya mencari hikmah, sebagai dikatakan Allah dalam Al Baqarah ayat 269:

Allah akan menganugrahkan hikmah (kebenaran) kepada siapa saja yang dikehendakinya. Barang siapa yang diberikan hikmah, dia sesungguhnya telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang orang yang berakalah yang dapat mengambil pelajaran (hikmah).

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.