Rabu, April 24, 2024

Blunder Fatal Mahkamah Konstitusi

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Ketua Majelis Hakim Konsitusi Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (kiri) dan Patrialis Akbar (kanan) memimpin sidang pengujian aturan pembatasan calon tunggal Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/9). Sidang dengan mendengarkan keterangan Presiden, DPR dan pihak terkait yakni KPU tersebut meliputi tiga perkara yang memohonkan pengujian aturan jumlah minimal pasangan calon penyelenggaraan Pilkada. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pd/15.
Ketua Majelis Hakim Konsitusi Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (kiri) dan Patrialis Akbar (kanan) memimpin sidang pengujian aturan pembatasan calon tunggal Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/9). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

Mahkamah Konstitusi memutuskan, pemeriksaan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pertentangan tetap berlaku sepanjang frasa izin tertulis MKD, yang diatur dalam Pasal 245 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak dimaknai sebagai izin tertulis dari Presiden sebagai kepala negara.

Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi bernomor 76/PUU/XII/2014 adalah “pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan pejabat negara”. Sebagai informasi, pertimbangan tersebut mengutip dari putusannya sendiri bernomor 73/PUU/IX/2011. Rasa-rasanya, alasan menjaga status pejabat negara inilah yang membuat lembaga penjaga konstitusi menerbitkan vonis yang bersifat conditionally constitutional.

Alasan persamaan di muka hukum tampaknya tidak dianggap terlalu menyakinkan bagi para hakim konstitusi untuk membatalkan aturan hukum yang merestriksi anggota dewan dari jangkauan penegak hukum. Poinnya, anggota parlemen harus dilindungi. Akan tetapi, bagaimanakah sebenarnya konsep perlindungan bagi anggota parlemen?

Dalam hukum tata negara, ada beberapa pendekatan yang dapat dimanfaatkan untuk membaca tatanan hukum Indonesia. Satu di antaranya dengan metode perbandingan (comparation of law). Amerika Serikat, misalnya, melindungi anggota parlemennya (senator dan representatif) melalui Pasal 1 ayat (6) konstitusinya. “They shall in all cases…be privileged from arrest during their attendance at the session of their respective house…”

Anggota kongres tidak dapat ditahan ketika menjalankan tugas dan kewenangannya. Logikanya sederhana, karena anggota parlemen dipilih oleh rakyat, maka semua tindak tanduk anggota dewan dilakukan atas nama dari, oleh, dan untuk rakyat. Congressman tak bisa dikirim ke penjara karena suara mereka yang sangat lantang dalam mengusung kepentingan rakyat.

Koridornya jelas. Mewakili kepentingan rakyat (representing people). Artinya, jika anggota parlemen sedang tidak mewakili kepentingan rakyat, maka anggota parlemen menjadi bagian dari warga negara di mana negara mempunyai yurisdiksi untuk menegakkan hukum terhadap warga negara. Perlu dicatat, jangkauan negara dalam menegakkan hukum juga menjadi mandat dari kepentingan rakyat.

Konstitusi Amerika Serikat memasukkan frasa “except treason, felony, and breach of the peace” untuk mengimbangi frasa “They shall in all cases…be privileged from arrest during their attendance at the session of their respective house…” Kekebalan anggota parlemen tidak berlaku apabila dihadapkan pada tindakan pengkhianatan terhadap negara, pidana berat, dan mengancam perdamaian. Konsep ini lahir untuk menjaga keluhuran sebuah lembaga perwakilan.

Ada batasan rasional yang dibuat untuk menjaga kepentingan rakyat agar tidak disalahgunakan atau diselewengkan. Meski anggota dewan tidak dapat dihukum karena pernyataannya, ia dapat diperiksa untuk hal spesifik yang bukan bagian dari kerja representasi bagi rakyat. Sistem demikian sejatinya sebagai bentuk saling mengawasi (check) dan mengimbangi (balance) antar pemegang kekuasaan yang dititipkan oleh rakyat. Pada bagian ini, sepertinya semua negara bersepakat—kecuali negara diktatorisme.

Lalu bagaimana bunyi Pasal 245 UU No. 17 Tahun 2014? Pada ayat (1) disebutkan, “Pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.” Ketentuan aturan tersebut menyimpan dua pertentangan konsep menjaga keluhuran parlemen.

Pertama, tindak pidana (felony) seharusnya tak boleh dilakukan anggota parlemen. Untuk membersihkannya, aparat penegak hukum mesti diberikan akses yang mudah dan cepat untuk membersihkannya, bukan malah dipersulit. Semakin lama aksi penegakan hukum dieksekusi, semakin menderita juga posisi anggota parlemen. Sebab, ia akan memikul beban berat dugaan pidana yang menggerogoti reputasi terhormat sebagai anggota perwakilan. Karena itu, sangat wajar diajukan uji materi terhadap Pasal 245.

Kedua, Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 menggariskan, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.”

Hak imunitas yang dimaksud adalah parliamentary priviligiatum. Anggota dewan tidak dapat ditahan karena pernyataannya yang mewakili kepentingan rakyat, tetapi bukan untuk tindakan makar, pidana, atau mengancam perdamaian. Sebab, ketiga perbuatan tersebut tak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat.

Tatkala Mahkamah Konstitusi memutuskan mengganti frasa “Mahkamah Kehormatan Dewan” dengan frasa “Presiden” dan karenanya Pasal 245 UU No. 17 Tahun 1945 dianggap konstitusional (conditionally constitutional), maka Mahkamah Konstitusi sedang menjebak dirinya sendiri dalam kubangan semu penjagaan keluhuran martabat anggota parlemen. Pemikiran yang sangat tidak relevan dalam perkembangan sistem demokrasi.

Pendek kata, apakah Mahkamah Konstitusi—melalui putusannya No. 76/PUU/XII/2014—sedang melindungi harkat anggota parlemen berdasarkan konstitusi? Tidak! Ini adalah sebuah blunder fatal dari sisi pelaksanaan perintah mewujudkan kepentingan rakyat.

Di sudut yang lain, karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, Presiden yang memegang peran mengeluarkan izin pemeriksaan anggota dewan, tak boleh cuci tangan atas dosa legislasi. Bila nanti faktanya penegak hukum kesulitan mengajukan permohonan penyelidikan dan penyidikan, maka Presiden juga menyumbang masifnya imbas blunder kegagapan mewujudkan kepentingan rakyat.

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.