Selasa, April 23, 2024

“Bisnis Pengungsi” Angela Merkel

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
merkel2
Presiden Prancis Francois Hollande (kiri) dan Kanselir Jerman Angela Merkel menjelang KTT Uni Eropa di Istana Elysee, Paris, Prancis, Kamis (15/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Philippe Wojazer/djo/16

Perang saudara di Suriah, yang dimulai sejak tahun 2011, sepertinya tidak menunjukkan tanda akan berhenti. Keterlibatan negara adikuasa seperti Amerika Serikat (yang mendukung oposisi) dan Rusia (yang mendukung rezim Presiden Bashir al-Assad) membuat kompleksitas perang saudara tersebut menjadi tak mudah diselesaikan. Berbagai macam upaya negosiasi, seperti yang pernah dilakukan di Jenewa, tidak menunjukkan titik terang sama sekali.

Ketidakjelasan akhir perang menyebabkan jumlah pengungsi yang memasuki Eropa, melalui Turki, bertambah sangat signifikan. Di tengah sengitnya perang saudara, situasi diperparah dengan lahirnya sebuah proto-state di Suriah dan Irak yang tidak hanya mengancam Timur Tengah, tapi juga dunia.

Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) akhirnya secara de facto menjadi sebuah kelompok teroris yang bertransformasi menjadi proto-state yang beribukota di Raqqa, Suriah. Aksi teror ISIS sudah menglobal. Terbukti dengan keberhasilan mereka melakukan aksi teror bersenjata beberapa kali di Prancis.

Kelihaian ISIS untuk “membonceng” arus pengungsi ke Eropa menyebabkan banyak negara Eropa menutup perbatasannya terhadap mereka atas nama keamanan. Akan tetapi, Jerman mengambil kebijakan yang sangat berbeda terhadap pengungsi. Kanselir Jerman Angela Merkel melakukan kebijakan “pintu terbuka” terhadap pengungsi Suriah, Irak, dan Afghanistan.

Merkel bersikeras bahwa menerima pengungsi tersebut adalah amanat dari Konvensi Jenewa 1951 yang sudah mengatur hak dan kewajiban pengungsi. Kebijakan Merkel menyebabkan oposisi pemerintah Jerman “gerah”. Partai Alternative fuer Deutschland (AFD) yang berhalauan populis kanan sangat mengkritisi kebijakan Merkel karena berpotensi meningkatkan ancaman keamanan. AFD bahkan meminta supaya perbatasan ditutup, seperti yang dilakukan tetangga Jerman, yaitu Swiss.

Berbeda dengan negara lain, mengapa Angela Merkel sangat bersikeras menerima pengungsi tersebut? Apakah Merkel tidak mempertimbangkan bahwa salah satu alasan Britania Raya meninggalkan Uni Eropa adalah karena potensi ancaman keamanan dari krisis pengungsi?

Berdasarkan informasi yang ada, pertimbangan Merkel menerima pengungsi tersebut sangat pragmatis, yaitu untuk mengisi tenaga kerja Jerman. Merkel justru menginginkan agar pengungsi tersebut diintegrasikan secepat mungkin kepada angkatan kerja Jerman. Sejumlah perusahaan seperti SAP, Deutsche Post, Siemens, Mercedes, Continental, dan Deutsche Telekom sudah mengambil kebijakan asertif untuk merekrut pengungsi sebagai pegawai tetap maupun kontrak.

Tanggapan cepat korporasi raksasa tersebut memang sangat diharapkan Merkel. Memang, Jerman sendiri, seperti negara maju lainnya (Jepang), mengalami krisis kependudukan. Jumlah penduduk yang menua semakin banyak, sementara angkatan kerja produktif yang lebih muda mulai berkurang.

Keengganan warga Jerman memiliki banyak anak, walau diberikan berbagai insentif oleh negara, disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab krisis kependudukan tersebut. Sebenarnya kebijakan naturalisasi pengungsi ini sama sekali bukan sesuatu yang baru di Jerman.

Sewaktu Jerman kalah perang pada tahun 1945, banyak angkatan kerja mereka yang tewas di berbagai palagan front timur maupun barat. Baik Jerman Barat, yang merupakan proksi Amerika Serikat, maupun Jerman Timur yang proksi Uni Soviet, kewalahan membangun negara mereka karena memang angkatan kerjanya tidak tersedia. Kedua negara baru tersebut harus mendatangkan tenaga kerja dari negara lain.

Akhirnya, pada era 1960-an, Jerman Barat memilih mendatangkan imigran dari Turki, dan Jerman Timur memilih mendatangkan dari Vietnam. Saat itu baik Turki dan Vietnam masih menjadi negara miskin, sehingga warga mereka banyak yang beremigrasi ke Jerman untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Kontrak dengan pemerintah Turki dan Vietnam menyatakan bahwa pencari kerja tersebut harus kembali ke negara asal setelah proyek selesai. Kenyataannya, mereka menetap di sana dan banyak sekali yang akhirnya memutuskan menjadi warga negara Jerman. Banyak imigran Turki dan Vietnam yang sukses di Jerman dan mereka sudah terintegrasi dengan sangat baik. Hanya saja, menjadi pertanyaan besar, apakah benar sasaran Angela Merkel hanya semata optimasi angkatan kerja Jerman? Atau ada agenda lain?

Sebelum analisis lebih jauh, kita perlu menengok sebentar ke sejarah negara kita. Ternyata, politik pengungsi ala Merkel bukan sesuatu yang baru ataupun sesuatu kebijakan yang unik. Pada era 1970-an, Malaysia pernah banyak menerima imigran dari Indonesia, dan banyak dari mereka dinaturalisasi menjadi warga negara Malaysia.

Alasan penerimaan imigran tersebut sangat pragmatis. Karena jika sudah menjadi warga negara Malaysia, mereka akan “digiring” untuk memilih United Malay National Organization (UMNO) maupun koalisi mereka di Barisan Nasional (BN). Kontribusi suara para pemilih baru tersebut yang menyebabkan UMNO tetap bisa berkuasa di negeri jiran, sampai sekarang.

Angela Merkel sebenarnya sangat tertarik mengembangkan model integrasi kependudukan yang sekarang sedang berjalan. Model integrasi tersebut, yang melingkupi kombinasi akan pelatihan bahasa dan budaya Jerman, sudah menghasilkan pemangku kebijakan penting di negara tersebut. Beberapa contoh bisa dijabarkan.

Aygul Ozkan, seorang imigran Turki, pernah menjabat menjadi menteri sosial di negara bagian Niedersachsen. Satu hal yang menarik, Ozkan berasal dari partai Kristen Demokrat (CDU) yang dipimpin Merkel. Di sana terlihat bahwa tak ada masalah bagi partai konservatif berbasis Kristen untuk mengakomodasi yang beragama Islam.

Contoh lain adalah Cem Ozdemir yang pernah menjadi anggota parlemen Jerman (Bundestag) dari Partai Hijau, dan juga Philipp Roessler, imigran Vietnam yang pernah menjadi Wakil Kanselir Jerman. Di sini terlihat bahwa asas “resiprokal” yang saling menguntungkan digunakan oleh pemerintah dan negara Jerman. Selama dukungan terhadap pemerintah terjaga, maka benefit akan diberikan kepada imigran. Tentu saja politik moderasi Merkel ini tidak membuat semua pihak berkenan.

Kelompok ultrakonservatif dan populis kanan seperti AFD merasa sangat tidak nyaman dengan politik moderasi. Mereka selalu beralasan bahwa pengungsi dapat saja diinfiltrasi ISIS, namun alasan ini sangat lemah. AFD dan kroninya justru terlalu meremehkan aparat negara Jerman.

merkel1
Kanselir Jerman dan Ketua Christian Democratic Union (CDU) Angela Merkel dan calon teratas untuk pemilihan kota Berlin Frank Henkel berfoto di Berlin, Jerman, Senin (19/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Fabrizio Bensch/cfo/16

Intelijen Jerman terkenal sangat teliti dan sangat disiplin. Siapa pun yang pernah tinggal di Jerman pasti pernah merasakan dirazia oleh aparat sewaktu memasuki stasiun atau bandara. Aparat memang melakukan profiling terhadap orang asing yang diduga membawa ancaman keamanan (sicherheit begruendung). Di beberapa negara bagian, memperpanjang visa tinggal di Jerman harus melalui serangkaian wawancara yang melelahkan, dan tentu semua harus dilakukan dengan bahasa Jerman. Permintaan wawancara dengan bahasa lain akan ditolak dengan tegas.

Hal ini bisa dimaklumi karena pihak imigrasi memang ingin mengobservasi, apakah sang imigran sudah terintegrasi dengan baik dengan masyarakat atau belum. Ketidakmampuan berbahasa Jerman, atau jika tidak bisa berbahasa Jerman, tidak mampu membawa teman orang Jerman untuk menjadi penerjemah sudah menjadi alasan kuat bagi mereka untuk meningkatkan kecurigaan dan kewaspadaan.

Tingginya penapisan keamanan negara Jerman sangat sulit untuk ditiru oleh negara lain, bahkan oleh sesama negara maju sekalipun. Birokrasi Jerman memang terkenal sangat rapi, dan ini disokong penuh oleh intelijen mereka, yaitu Bundesnachrichtendienst (BND).

Jerman modern sudah sangat terbiasa menangani masalah terorisme. Sewaktu kelompok Baader-Meinhof yang disponsori Jerman Timur dan Soviet melakukan aksi teror, dan bahkan membunuh pejabat Barat, intelijen mereka mampu meringkus dan membungkam mereka. Padahal, STASI (intelijen Jerman Timur) dan KGB (intelijen Soviet) adalah rival yang sangat berat bagi BND. CIA, intelijen Amerika Serikat, bahkan seringkali juga sangat kewalahan menghadapi intelijen blok Timur.

Kelompok Baader-Meinhof yang mendapat pelatihan bersenjata di Palestina dan sokongan dari blok Timur bisa mereka bungkam. Bahkan pasukan kontra teroris mereka, yaitu GSG-9, sewaktu dipimpin Ulrich Wegener, bisa melumpuhkan teroris yang membajak pesawat terbang Lufthansa ke Somalia. Pelecehan pihak AFD yang menyatakan ISIS bisa dengan mudah menginfiltrasi Jerman adalah pelecehan terhadap portofolio panjang aparat Jerman dalam melumpuhkan gerakan radikal dan terorisme itu sendiri.

Dengan menggunakan ISIS sebagai alasan, sebenarnya AFD, kelompok populis kanan, maupun kelompok lainnya yang berafiliasi dengan Neo-Nazi, sudah kehabisan “bahan bakar” untuk menghadapi manuver politik Merkel. Moderasi pengungsi akan menghasilkan pendukung kebijakan pemerintah, yang tentu akan memilih CDU dan partai koalisinya, dan ini penting bagi kelangsungan pemerintahan Merkel pada pemilu yang mendatang.

Sambutan meriah warga Jerman terhadap pengungsi yang datang ke stasiun dan bandara membuktikan bahwa moderasi Merkel masih mendapat dukungan oleh umumnya warga Jerman. Cerita manis kebesaran hati warga Jerman memberikan bantuan makanan dan minuman kepada pengungsi Suriah sudah menjadi viral. Tidak hanya warga Jerman, dunia Islam juga menyambut baik politik moderasi tersebut.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, terlepas dari berbagai perbedaan yang ada terkait masalah pengungsi, tetap memutuskan untuk meneruskan bekerja sama dengan Uni Eropa dan Jerman untuk menangani krisis pengungsi. Walaupun Jerman juga mengalami serangan teroris, seperti terjadi di Ansbach, Munich, dan sebuah kereta api di Bavaria, eskalasi serangan tersebut tidak seburuk dan sebrutal di negara lain.

Justru politik pengungsi Merkel akan membuat Jerman di masa depan berpotensi lebih aman terhadap serangan teroris. Sebab, pesan Angela Merkel di sini sangat jelas, bahwa Jerman tidak ingin berperang dengan Islam. Jerman ingin bekerja sama dengan kaum muslimin untuk menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan yang ada, termasuk masalah pengungsi.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.