Berita pembunuhan atas seorang ibu hamil goes viral dalam waktu beberapa hari saja. Jika sempat mengetik kata “mutilasi” dalam mesin pencarian Google, kita akan menemukan 1.190.000 hasil (0,35 detik) dengan judul-judul berita mutilasi.
Beberapa orang akan mengatakan pembunuhan terjadi setiap harinya dan tak kalah mengerikannya. Tetapi untuk beberapa orang yang menaruh simpati dengan upayanya membagikan berita tersebut melalui media sosial, mereka memiliki argumennya sendiri.
Mutilasi adalah tindakan memotong-motong bagian tubuh manusia dan dalam artian sesungguhnya tak berarti selalu memotong-motong mayat. Dalam hukum Islam, mutilasi dapat diberlakukan kepada mereka yang mencuri dengan mengamputasi tangan kanan. Dan dalam kebudayaan lainnya, mutilasi kerap ditunjukkan sebagai bentuk hukuman dengan rasa sakit yang menyakitkan dan penghinaan di depan publik serta menunjukkan kerusakan fisik yang permanen.
Beberapa orang mengatakan berita mutilasi yang dilakukan Agus adalah sesuatu yang mengerikan (bukankah setiap pembunuhan adalah suatu tindakan yang mengerikan dan kejam?). Pertama, mengerikan dan kejam karena dilakukan dengan cara mutilasi.
Kedua, karena ia membunuh ibu yang tengah hamil besar. Bagi yang belum mengetahui berita tersebut, begini ceritanya: korban merupakan seorang janda yang tinggal bersama si pelaku, Agus, yang kemudian hamil. Sebagaimana kebanyakan kejadian kehamilan di luar nikah, korban meminta untuk dinikahkan. Dan seperti kebanyakan kejadian, si laki-laki akan menolak. Tahulah kita bahwa menikah tidak semudah itu dan terlebih lagi ada hal yang membuat menjadi banyak pertimbangan: malu.
Menurut keyakinan dan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat kita, hamil di luar nikah adalah sesuatu yang memalukan dan melanggar, terlebih lagi jika tidak ada yang menikahkan. Singkat cerita, Agus yang tak ingin menikahkan menyebabkan keributan yang berakhir dengan memiting korban hingga tewas. Dan sebagaimana ketakutan seorang pembunuh, mutilasi adalah salah satu cara untuk menghilangkan jejak.
Dalam analisa paling sederhana adalah kita dapat mengatakan bahwa Agus adalah seseorang yang memiliki kelainan jiwa. Tentu saja dengan “bumbu-bumbu” yang paling menarik adalah menambahkan kebiasaan, perilaku Agus sehari-hari dengan aksi pembunuhannya.
Untuk media-media besar pun tak masalah untuk menambahkan catatan bahwa Agus adalah seorang playboy. Dan masyarakat lainnya, tetangga, mantan kekasih, hingga bahkan netizen akan menambah serangkaian catatan-catatan berdasarkan analisa mentah. Kita, masyarakat, adalah ilmuwan intuitif untuk menjawab kasus-kasus seperti ini.
Bak detektif dalam serial pembunuhan, kita mulai menerka-nerka penyebab dan kemungkinan yang terjadi dalam kasus tersebut dengan menggunakan intuisi kita. Mempercayai intuisi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai yang kita pegang saat ini. Kita secara intuitif mempercayai memori dan nilai-nilai yang dimiliki saat ini melebihi kejadian yang sebenarnya. Kita kerap memprediksikan sesuatu berdasar intuisi yang belum pasti itu.
Ekor-Ekor yang Menciptakan Rasa Takut
Ada berbagai banyak cara agar membuat orang-orang patuh untuk menciptakan keteraturan sosial. Salah satunya dengan menciptakan peraturan-peraturan dalam pranata bentuk tertulis (undang-undang dasar, undang-undang yang berlaku, sanksi hukum resmi yang berlaku). Dari banyaknya aturan yang tertulis, kenyataannya tingkat kriminalitas tetap saja atau bahkan meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam perhitungan Badan Pusat Statistik, selama periode 2013, terjadi 242.084 kasus kejahatan dan dalam tiap 1 menit 32 detik terjadi satu tindakan kriminal di Indonesia. Jika tingkat kriminalitas meningkat hingga kasus pembunuhan yang dianggap paling keji benar-benar terjadi, maka kita di sana dapat melihat para ahli dari berbagai macam bidang hadir di layar televisi. Mulai dari pihak kepolisian, psikolog, hingga bahkan pemuka agama yang nantinya akan mengaitkan kepribadian pelaku dengan perilakunya dan juga dosa-dosa yang si pelaku.
Belum lagi ketika para netizen yang membagikan berita-berita tersebut dengan bermacam-macam komentar. Akan selalu ada “bumbu” yang ditambahkan media jurnalisme kita dan kita akan selalu membenarkan hal tersebut tanpa analisa dan verifikasi selanjutnya. Satu hal yang kita dapat kita lihat dari ramainya pemberitaan tersebut adalah konformitas masyarakat.
Konformitas yang tidak hanya sekadar bertindak sesuai tindakan yang dilakukan orang lain, tetapi juga “dipengaruhi” oleh bagaimana mereka bertindak. Konformitas masyarakat adalah tindakan atau pikiran yang bertentangan dengan apa yang diri sendiri yakini—lebih menyukai mengikuti pendapat populer.
Menurut psikolog Paul R. Nail, ada beberapa macam konformitas. Tiga di antaranya penyesuaian, kepatuhan, dan penerimaan. Ketika kita tetap melakukan hal yang kita tidak sukai agar dapat diterima, ini disebut pemenuhan atau penyesuaian.
Ketika kita mematuhi perintah yang tegas untuk mendapatkan pujian dan menghindari “hukuman”, kita menamakannya dengan patuh. Dan jika pada akhirnya kita memilih untuk melakukan dan mempercayai tindakan tersebut, kita melakukan penerimaan. Kita mungkin mempercayai sesuatu yang pada awalnya masih kita pertanyakan.
Kita memang lebih menyukai untuk mengekor agar dapat diterima dalam suatu masyarakat tanpa merasakan tekanan sosial. Psikolog Solomon Eliot Asch menjalankan eksperimen konformitas berdasarkan pengalaman masa kecilnya. Asch menghadiri Jewish Seder tradisional di Passover, di mana pamannya memberikan sugesti dengan mengatakan bahwa Nabi Ilyas mengunjungi tiap rumah orang Yahudi dan akan mencicipi sedikit anggur dari cangkir yang disediakan.
Asch memperhatikan cangkir anggur seperti yang dikatakan pamannya, lalu menyetujui perkataan pamannya bahwa benar sesuatu telah terjadi pada cangkir dan anggurnya memang berkurang sedikit.
Lalu, ketika seorang ahli mengatakan bahwa pembunuhan tersebut terjadi di luar kontrol institusi tersebut, maka sebagian besar dari kita akan menyetujui hal tersebut, seperti kita juga yang memilih untuk membagikan berita dengan komentar yang sama untuk menyeragamkan suara. Eksperimen Solomon Asch kemudian menjadi bahan acuan eksperimen kepatuhan oleh psikolog sosial Stanley Millgram.
Kriminalitas Bukan untuk Si Miskin
Ketika seseorang atau beberapa kelompok mengatakan bahwa hamil di luar nikah adalah suatu aib yang sangat memalukan—terlebih lagi jika tidak ada yang “menikahkan” si perempuan—maka tindakan tersebut mendorong orang-orang agar “aib” tersebut tidak naik ke permukaan. Tentu dalam keadaan psikologis tertekan seseorang mampu melakukan hal di luar kemampuan biasanya.
Karena citra adalah segalanya yang mempengaruhi psikologis seseorang dalam waktu jangka panjang, maka Agus merasa bahwa membunuh adalah satu-satunya jalan. Tentu ada banyak jalan, tapi dengan kemampuan yang dimiliki Agus saat itu tak mampu menemukan jalan lain.
Kasus Agus hanyalah satu kasus di antara kasus-kasus lainnya. Jika ada kasus kriminalitas, maka tak ada yang dapat disalahkan selain kepribadian individu tersebut. Kerap kali kita melupakan ada faktor eksternal seperti sosial-budaya, ekonomi, atau politik, dan individu tersebut tak tinggal seorang diri.
Dalam sudut pandang konflik kerap kali berdiri berlawanan dengan pandangan konsensus. Daripada berfungsi sebagai unit yang berintergrasi, masyarakat dilihat sebagai kumpulan berbagai jenis grup yang saling berkompetisi—pekerja profesional, buruh, pelajar, dan seterusnya.
Grup-grup ini memiliki konflik satu sama lain, kelas satu, dan lainnya, memberikan distribusi kekayaan tak rata dan kekuatan dari masyarakat itu sendiri, sebagian hidup dalam lingkar kemiskinan dan sengsara—sementara yang lainnya berlimpah dan penuh kuasa. Ketidakrataan ini dalam distribusi kekuatan ini menciptakan konflik yang berujung kekerasan. Dalam buku The New Criminology, Anda akan melihat sudut pandang konflik kriminalitas berdasarkan teori Marxist. Khususnya melihat sistem kapitalis yang menciptakan the-have-and-the-have-nots.
Angka kriminalitas akan selalu dikaitkan dengan angka kemiskinan dan bentuk kriminalitas dikaitkan dengan “mereka yang miskin”. Sistem yang bekerja adalah: kelas menengah ke bawah melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, merampok, dan membunuh; tipikal kelas menengah melakukan “kejahatan putih” seperti korupsi, tax evasion. Sementara kelas menengah atas yang berkuasa melakukan tindakan kriminal seperti eksploitasi, kerusakan lingkungan—yang mana tindakan-tindakan tersebut tak terhitung status kriminal.
Pada akhirnya kita akan selalu mengaitkan kriminalitas dengan penghasilan atau status sosial si pelaku. Dan untuk menghakimi pelaku, kita lebih memilih untuk menilai berdasarkan analisa mentah seperti menilai sekilas kepribadian pelaku, budaya yang sudah tak begitu lagi relevan dalam hidup keseharian, dan budaya populer.
Dari sekian banyak kasus kriminalitas, Anda sudah berkontribusi di bagian mana?