Kamis, April 25, 2024

Bersikap Jujur tentang Tan Malaka dan Islam

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.

tanmalakaAktor Joind Bayuwinanda menampilkan satu adegan jelang pementasan monolog teater Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” di Aula IFI Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/3). ANTARA FOTO/Agus Bebeng.

Jika sejarah Bung Karno kerap dikerumuni mitos, maka sejarah Tan Malaka (selanjutnya “Tan”) berselimut stigma. Dua ornamen yang seharusnya absen dari sejarah.

Tan mungkin adalah founding father yang kerap ditempatkan bukan di mana ia memilih untuk berdiri. Terlebih ketika kita berbicara tentang Tan dan Islam. “Ia komunis dan karena itu ia anti-Islam dan ateis,” begitu stigma yang acap dilekatkan padanya.

Di zaman ketika Tan hidup dan berjuang, komunisme merupakan salah satu kekuatan utama dunia. Posisi komunis di dunia saat itu memang anti-agama, meski sebenarnya belum tentu Islam termasuk dalam kategori dibenci. Sebab, paradigma anti-agama ala komunis saat itu diposisikan di atas diktum “agama adalah candu”-nya Karl Marx.

Dan, seperti kita tahu, diktum itu muncul dari kekesalan Marx pada otoritas Gereja yang dianggap tak berpihak pada perjuangan kaum tertindas di zamannya. Adapun Islam, misalnya dalam tesis Ali Syariati, justru adalah kekuatan bagi kaum tertindas (musthad’afin) dengan inspirasi sahabat Nabi: Abu Dzar al-Ghifari. Dan, dalam konteks ini, Tan tampaknya satu irisan dengan Syariati.

Dalam Kongres Komunis Internasional ke-4, 12 November 1922, Tan berdiri di depan khalayak kongres, berpidato tentang “Komunisme dan Pan-Islamisme”. Sebuah pidato yang, entah kenapa, bisa terdengar sama-sama “sumbang” di telinga para anggota organisasi komunis dunia atau Komunisme Internasional sekaligus kalangan Muslim. Hingga, seperti dikatakan sejarawan Anhar Gonggong, karena pidato itu, ia dipecat dari Komunisme Internasional dan dibenci Muslim.

“… Ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk bekerjasama dengan kami,” itulah pernyataan Tan yang paling digarisbawahi dalam pidatonya itu.

Tan besar dalam lingkungan Muslim yang taat. “Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Ibu Bapak saya keduanya taat dan orang takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi,” katanya dalam Islam dalam Tinjauan Madilog (1948).

Ia memilih untuk bersikap jujur terhadap Islam. Ia tentu seorang komunis. Namun, ia tak anti-Islam. Ia bahkan pernah menaruh harapan pada Pan-Islamisme di belakang “gerbong” Sarekat Islam. Jalan komunis dan Islam tentu berbeda, tapi baginya cita-cita Republik Indonesia mempertemukan keduanya.

Keduanya juga sama-sama berbahan bakar kaum tertindas. “Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta Muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis,” katanya. Sebab, Indonesia merdeka sebagai “Republik” adalah inti gagasan Tan yang ditelurkannya sejak 1922 dalam Naar de Republiek. Dan Tan percaya bahwa yang menceraikan keduanya bukanlah lantaran jalan yang berbeda antar keduanya, tapi karena propaganda politik semata.

Maka, ketika berbicara tentang Tan dan Islam, kita harus jujur, juga jernih. Kita harus melepaskan benak dari stigma propagandis bentukan rezim politik mana pun. Politik selalu mengalami kesulitan untuk bersikap jujur terhadap sejarah. Hingga, konon, tak ada sejarah yang sebenarnya, yang ada adalah sejarah rezim ini dan rezim itu.

Bahwa nantinya kita memilih untuk bersikap benci atau suka, kritis atau apresiatif, dan seterusnya atas Tan dan semua tentangnya, itu benar-benar hak kita masing-masing. Selama ia muncul dari kejernihan dan kejujuran, itu harus dihargai, juga dihormati.

Begitulah memang nasib setiap orang, apalagi tokoh. Ketika ia menyampaikan gagasan atau telah mati, ia menjadi “milik” publik untuk dinilai sesuai perspektif masing-masing. Namun, yang jelas, bahwa Tan ikut berjuang–dengan gagasan maupun perlawanan, itu tak boleh dilupakan, apalagi dihapus dari sejarah bangsa ini.

Kita tentu tak ingin jadi pembaca atau penulis sejarah yang justru dikutuk oleh sejarah.

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.