Terhenyak dengan judul ini? Apa yang kalian pikirkan tentang artikel ini? Artikel ini adalah sebuah jembatan. Jembatan untuk Awkarin dan Alvin Faiz, jembatan kepada anak untuk memahami pikiran orangtua, jembatan untuk orangtua untuk menerima keputusan anak, jembatan bagi netizen agar lebih sibuk refleksi diri dibandingkan mengukur moral orang lain.
Sebelumnya saya mau menjelaskan mengapa saya memasukkan Awkarin yang populer lebih dulu dan Alvin Faiz yang terkenal belakangan karena menikah di usia 17 tahun pada Sabtu pekan lalu (6 Agustus). Tapi apa kesamaan dari mereka berdua? Mereka berdua berusia sangat muda. Mereka sama-sama seleb askfm.
Awkarin 19 tahun dan Alvin berusia 17. Tapi mereka telah membuat keputusan-keputusan besar dalam hidupnya dan mengguncang dunia maya. Mencuri perhatian kita, memberikan banyak klik terhadap situs gosip yang menayangkan beritanya. Saya berusaha mengajak Anda untuk melihat kedua anak muda itu sebagai seorang individu, yang telah mampu membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya.
Jadi, saya minta, tolong lepaskan dulu kehendak ingin menilai baik-buruk. Mari kita bersama belajar berempati
Mengenal Awkarin dan Alvin Faiz
Saya sendiri baru mendengar tentang Awkarin melalui meme-meme yang bertebaran di LINE. Saya tidak begitu mengenal dara satu ini, tetapi teman-teman saya banyak membicarakannya.
Yang saya maksud dari teman-teman saya adalah dosen, mentor saya menulis, dan beberapa orang dewasa di atas 30 tahun yang membicarakannya betapa fenomenalnya orang ini karena berani memamerkan kehidupannya yang seperti orang “Timur yang terbaratkan”.
Sedangkan peer-group saya (saya berusia 22 tahun dan peergroup saya berusia 23-19 tahun) tidak ada yang membicarakan hal ini. Ketika saya tanya mereka apa yang mereka ketahui tentang nama ini, mereka menjawab, “Seleb askfm, instagram dan vloggers juga kebetulan lagi heboh karena dia baru putus dari pacarnya.”
Mereka menjawab kurang-lebih seperti itu. Sekenanya. Tidak ada judgement moralis di sini. Kami berempati. Selain karena usia kami dekat dan ucapan ketika ditanya dalam wawancara sewaktu ia mendapatkan nilai UN tertinggi di Tanjung Pinang apakah dia senang, “Ya, kalau keluargaku senang, aku juga ikut senang.”
Kami tahu rasanya dipaksa menjadi apa yang kami tidak suka tetapi keluarga suka. Kami dipaksa masuk jurusan kuliah yang tidak begitu kami sukai; cita-cita dan kami direnggut dengan alasan pekerjaan ke depannya tidak menjanjikan; memakai pakaian yang sebenarnya tidak pernah kami kehendaki, dan sebagainya. Mimpi kami layu dalam harapan ingin berkembang.
Berbeda dengan Alvin Faiz. Saya mendengar berita tentang dia menikahi perempuan Tionghoa bernama Larissa Chou justru dari peergroup saya melalui LINE. Saya terhenyak bahwa anak ustaz kondang yang tampan ini ternyata memutuskan menikah di usia sangat muda, 17 tahun.
Dan komentar teman-teman ternyata beragam. Mulai dari “apakah pernikahan tersebut legal? Bukankan batas menikah untuk laki-laki 18 tahun dan perempuan 16 tahun?” Sampai “bahaya, nih, kalau jadi role model pernikahan muda nanti angka pernikahan meningkat seiring dengan angka perceraian”.
Kami tidak mengkhawatirkan pendidikan keduanya karena Alvin sudah lulus SMA dan Larissa kami pikir juga begitu dan dalam perkuliahan dan mengenyam pendidikan menikah tidak menjadi hambatan. Berbeda halnya yang terjadi 88 tahun silam, yang diperjuangkan para ibu dan istri di Kongres Perempuan pertama pada 22 Desember yang menolak perkawinan muda. Ketika itu banyak anak perempuan yang menangis, dipaksa berhenti sekolah karena hendak dikawinkan.
Saya harap apa yang diperjuangkan wanita-wanita di masa lalu tidak terjadi lagi sekarang. Eh, apa masih ada ya? Sebab, menurut Jurnal Perempuan, angka pernikahan anak di Indonesia terbesar kedua se-Asia Tenggara.
Melihat Anak Muda sebagai Individu
Dua tahun lalu, saat itu usia saya 19 tahun, saya memutuskan untuk melepas jilbab. Ibu saya sangat sedih dan marah; keluarga besar saya menuduh saya pindah agama karena saya menolak memakai jilbab lagi. Mereka tak mau mendengar alasan saya. Mereka pikir dalam usia semuda itu pasti saya dipengaruhi misionaris entah dari mana yang meracuni pikiran saya.
Teman saya, seorang lesbian, dan coming out kepada kedua orangtuanya. Orangtuanya tidak menerima keadaannya, dia dianggap menyimpang dan disuruh untuk terapi berkali-kali. Mulai dari konsultasi ke psikolog hingga diruqyah. Ada pula teman saya ketika menyatakan kepada orangtua dan teman-teman sekitarnya bahwa dia gay, dia langsung dikucilkan sampai nyaris bunuh diri.
Sepupu saya ingin masuk jurusan sejarah tapi dilarang oleh orangtuanya dan harus masuk jurusan kedokteran karena dianggap jurusan sejarah tak jelas masa depannya. Begitu pula teman saya yang memutuskan untuk menjadi pemain drum dalam band. Orangtuanya marah karena ia terlihat tidak bekerja, tidak menggunakan pakaian resmi dan pergi ke kantor.
Adolesence (remaja akhir dan dewasa muda) selalu dipandang rendah dan dianggap bukan makhluk yang rasional. Mungkin ini adalah ideologi warisan masa Orde Baru yang mencitrakan negara adalah sebuah keluarga dengan Bapak Presiden, Ibu Negara, dan rakyat sebagai anak yang harus diatur dan dikendalikan hidupnya.
Citra negara adalah keluarga yang direfleksikan dalam pamflet dalam program Keluarga Berencana misalnya. Digambarkan keluarga adalah seorang ayah, ibu, dan dua anak yang masih kecil. Tidak ada remaja atau dewasa muda di sana. Untuk itu, apabila anak remaja dengan kecenderungannya untuk memberontak dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
Sayangnya, orangtua kami lahir dan besar di bawah pendidikan Orde Baru dan mereka masih mewariskan citra ideal sebuah keluarga tanpa anak yang memberontak.
Adolesence dilihat sebagai individu yang belum sempurna. Terjebak dalam tubuh nyaris dewasa dan pikiran yang dianggap masih anak-anak. Pilihan-pilihannya dianggap selalu salah, kecuali dia mau menuruti kehendak orangtuanya. Orangtua yang tidak berusaha memahami generasi anaknya akan berkutat dalam konflik yang tidak memberikan penyelesaian pada kedua belah pihak.
Anak dianggap tinggal pada masa mereka dulu di mana tidak ada internet yang mampu memberikan informasi apa saja dan menyambungkan mereka dengan siapa saja. Karenanya orangtua harus menyuapi anaknya dengan informasi satu arah. Kini, di era informasi yang deras seharusnya orangtua sadar bahwa informasi bisa didapat dari mana saja dan pola pengasuhan seperti itu tidak cocok lagi.
Anak tidak dilihat sebagai seorang individu yang mampu membuat keputusan dan setiap keputusannya harus dihargai. Bantu anak dengan menyodorkan pilihan-pilihan serta konsekuensi di balik pilihan yang ia ambil adalah cara yang lebih baik untuk menghadapi adolesence di masa ini, bukan melarang ini-itu.
Semakin kami dilarang, akan semakin besar keinginan kami untuk melanggar. Dengan diblokirnya situs-situs porno melalui internet sehat, kami justru punya seribu satu cara untuk mengakali program internet sehat tersebut.
Beruntung bagi Awkarin dan Alvin karena orangtuanya mau menghargai pilihan-pilihan mereka. Biarlah netizen berkata apa. Kami, saya dan teman-teman, hanya berharap kepada orangtua yang mendukung pilihan kami dan menjelaskan segala risiko dari pilihan kami. Dengan demikian, kami berani untuk berbuat dan bertanggung jawab. Bukan dengan ditakut-takuti dengan neraka dan surga.
Percayalah, diomeli oleh orangtua setiap hari membuat rumah sudah serasa seperti neraka.