“Publik kan enggak terlibat saat proses pembuatannya, pakainya kami dong, bukan kita.”
Celotehan itu keluar dari mulut kawan saya, seorang pegawai negeri sipil (PNS), ketika rapat. Saat itu, saya membantunya mengkomunikasikan pengembangan sebuah kebijakan. Intinya lembaga pemerintah ini ingin mengajak publik terlibat dalam kebijakan yang sedang mereka kembangkan.
Kebijakan itu memang nantinya diketuk oleh lembaga pemerintahan tersebut. Relasinya sebelum kami mengetuk, kami ingin menerima masukan Anda (publik) sebagai pertimbangan. Maka poin teman saya benar. Bahwa “kami” lebih tepat sebagai kata ganti dalam kalimat tersebut. Tapi, dalam konteks tersebut saya tak setuju dengannya.
Saya lebih senang menggunakan kata “kita”. Alasan saya saat itu, publik akan merasa jadi bagian dari kebijakan ini. Plus, “kita” akan mendorong publik untuk lebih aktif memberi masukan, sesuai dengan tujuan utama komunikasi tersebut.
Saya kembali menemui keadaan seperti itu minggu lalu. Kali ini kasusnya “harus” vis a vis dengan “perlu”.
Cerita bermula dalam diskusi merencanakan sebuah kegiatan. Dalam kegiatan tersebut, subjek yang disasar harus ikut kegiatan itu. Subjek tidak bisa memilih untuk tidak ikut kegiatan tersebut, harus ikut. Hukumnya wajib.
Seorang peserta diskusi ngotot memakai kata “harus” untuk mengkomunikasikan pentingnya kegiatan itu untuk subjek sasaran. Pilihan kata peserta diskusi tersebut jelas benar, namun bagi saya tidak tepat.
Saya lebih senang dengan kata “perlu”. Alasannya karena lebih halus dan tidak otoritatif.
Mentor saya punya argumen lebih kuat menanggapi hal itu. Ia mengatakan, “Kalau ‘harus’ itu tidak memancing kita mikir. ‘Harus’ ya harus saja. Titik. Tapi coba bayangkan kalau ‘perlu’, nadanya persuasif. Kita tentu ingin pemerintah yang mengayomi. Tidak otoritatif, tapi persuasif,” jelasnya.
Pada dua contoh tersebut saya dengan sadar memilih “salah” dalam berbahasa. Tentu agar lebih sesuai dengan konteks dan tujuannya.
Saya percaya bahwa pikiran tercermin melalui bahasa. Berbahasa adalah berpikir. Tidak ada pikiran di luar bahasa. Maka bagi saya berbahasa adalah soal bermain pikiran, jauh melebihi benar dan salah.
Hari-hari ini saya kerap melihat beberapa teman berbagi konten mengenai bahasa. Mulai soal beda imbuhan dengan kata depan. Beberapa teman lebih tertarik dengan aturan penulisan kata yang benar, misalnya “sekadar” alih-alih “sekedar” dan seterusnya. Yang lainnya melangkah lebih jauh, menjadi layaknya polisi bahasa. Kalau kita salah sedikit pasti langsung disemprit.
Ketepatan menggunakan dan mengolah teks macam itu jelas penting. Tapi saya justru jadi takut, bahasa jadi begitu mengekang. Perspektifnya bukan berdiri pada konteks, tapi kebenaran teks.
Saya rasa konteks sering luput saat kita belajar bahasa. Misalnya ketika sekolah dulu. Saat belajar kalimat aktif dan pasif, guru kerap membuat penyederhanaan. Kalimat aktif berarti berimbuhan “me-“ sementara pasif berimbuhan “di-“. Fakta itu benar, tapi bukan itu yang paling penting menurut saya.
Aktif dan pasif akan lebih relevan jika berdiri pada konteks relasi subjek-objek dalam kalimat tersebut. Melalui konteks tersebut, maka kita akan tahu impresi apa yang muncul saat menggunakan kalimat aktif atau pasif. Manfaatnya kita jadi bisa memilih menggunakan kalimat aktif atau pasif sesuai tujuan.
Memahami konteks membuat kita memandang bahasa sebagai sebuah alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.
Mungkin saya keliru atau terlalu gegabah menyimpulkan, beragam konten mengenai bahasa hari-hari ini kadang menaruhnya bukan sebagai alat, tapi sebagai tujuan.
Semangat yang muncul kemudian, ini benar dan itu salah. Menurut saya yang lebih penting adalah ini kontekstual, sementara yang itu tidak. Seperti sejarah, dalam bahasa yang penting bukan hanya benar dan faktual, tapi juga kontekstual.
Saya ingat komentar Goenawan Mohamad (GM) ketika merespons bahasa alay. Menurutnya, bahasa adalah cermin masyarakat itu sendiri. “Masyarakat tidak bisa dibayangkan hanya sebagai sebuah konsensus, tetapi juga arena persaingan, bentrokan dan sisih menyisihkan. Bahasa mencerminkan itu semua,” ujarnya.
Sebagai sebuah cermin masyarakat, saya takut semangat model menertibkan bahasa juga berarti menertibkan pikiran kita. “Aparat penertib bahasa” jangan-jangan tak bedanya dengan penentu mana yang baik dan buruk.
Ajip Rosidi dalam esainya yang berjudul “Logika dalam Bahasa” menyentil soal tertib bahasa ini. Ia menulis, “Para pakar bahasa Indonesia mempunyai kecenderungan hendak menata, bahkan ‘menertibkan’ pemakaian bahasa Indonesia, antaranya membuat segalanya agar ‘logis’.”
Menarik ketika dalam pengantar buku Bus, Bis, Bas: Berbagai Masalah Bahasa Indonesia, Ajip juga menulis bahwa bahasa kita membanggakan karena bahasa Indonesia egaliter. Menurutnya, bahasa kita sangat cocok untuk masyarakat demokratis yang hendak kita bangun.
Membaca tulisan Ajip tersebut, saya jadi bertanya apakah semangat egaliter yang mendorong polisi bahasa menertibkan bahasa kita? Atau jangan-jangan sekadar ingin menarik garis batas intelektual antara “kami” dengan “kalian”?
Saya jadi ingat apa yang terjadi setelah rapat-rapat dengan teman-teman PNS. Dulu, perspektif teman-teman kebanyakan apa yang ingin negara lakukan, apa yang ingin pemerintah lakukan. Cara berbahasa mereka seperti cermin bagaimana negara begitu otoritatif tentang apa yang paling ideal.
Menyenangkan ketika melihat perspektifnya mulai berubah. Kini mulai muncul narasi apa yang relevan bagi publik. Perubahan itu terjadi bukan karena satu hal besar, tapi rentetan debat dalam rapat. Terjadi karena kita bernegosiasi tentang bahasa, tentang mana yang terbaik bagi kita, bukan mana yang benar bagi kami.