Barangsiapa yang pernah ke rumah Om Ben Anderson di di Desa Freeville, di dekat kota Ithaca, New York bagian atas, pasti akan menemukan begitu banyak jejak Indonesia di dalamnya. Dan, Indonesia yang ditemui bukanlah Indonesia Raya yang biasa diperkenalkan oleh pemerintah untuk menggenjot nafsu nasionalisme itu.
Indonesia yang jelas tampak adalah Indonesia sehari-hari. Atau, sebutlah dengan istilah yang sedikit romantik: Indonesia yang membikin orang Indonesia membayangkan dirinya sebagai orang Indonesia.
Masuklah ke dapur. Ini adalah pusat dunia, di rumah ini J.S. Furnivall pernah mengatakan, orang berbeda-beda suku, bahasa, agama, dan sebagainya, namun toh berjumpa di pasar.
Di Griya Andersonian ini, orang sibuk bermacam-macam bertemunya ya di dapur. Di sini terjadi banyak hal. Orang ketawa, makan, minum, ngerumpi, bicara politik, seks, musik, kebudayaan, dan sebagainya. Sesekali ada juga orang menangis sesenggukan mengadukan sesuatu, dan di sana ada Om Ben yang menjadi pendengar keluh kesah. Sepanjang ingatan saya, paling tidak ada tiga kali kejadian seperti itu.
Waktu saya datang, dapur ini baru saja direnovasi. Masih kinclong, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan suasana rumah ini. Di sudut, ada gambar Bung Karno muda (tidak ada gambar Soeharto di rumah itu). Kemudian ada beberapa lukisan. Salah satunya adalah yang paling nakal: lukisan wayang dari pensil yang menggambarkan adegan ‘kawin’ Arjuna yang menindih tubuh Drupadi. Kebetulan wayang itu adalah wayang Bali yang bentuk badannya belum dideformed seperti wayang Jawa.
Lukisan-lukisan Bali berserakan di rumah ini. Kebanyakan didapat pada tahun 1950-60an sewaktu Om Ben menyelesaikan penelitian (istilah dia) skripsinya. Ada lukisan kuda yang selalu dikomentari dengan tertawa oleh Om Ben, ‘Kayak kuda bantal!’ Memang kudanya berbadan kegendutan dengan kaki kekecilan.
Tapi yang paling menarik, ya Arjuna kawin itu. Om Ben pernah bercerita bahwa lukisan ini diberikan sendiri oleh pelukisnya. Malam-malam pelukis itu datang membawa gulungan kertas, dan sambil berbisik-bisik seperti pedagang menawarkan majalah porno, dia bilang, “Apakah tuan mau bawa lukisan ini. Ambil saja.” Lukisan itu diberikan begitu saja oleh pelukisnya yang eksentrik dan terkenal tidak pernah mau menjual lukisannya.
Selain beberapa patung dan lukisan Bali, ada juga lukisan diri Om Ben sendiri. Satu lukisan dirinya semasa anak-anak. Entah dibuat oleh siapa.
Lukisan lain yang selalu menyita perhatian pengunjung rumah itu adalah lukisan ‘Kolonel’ bintang empat(!) yang bernama B. Bajinguk. Wajahnya adalah wajah Om Ben ketika masih muda, dan tampaknya dia sangat menikmati sebutan kolonel ini. Hingga dalam korespondensi dia dengan sahabatnya yang pegawai negeri sipil Jerman, Pipit Rochijat, dia dengan senang hati mengambil alih sebutan kolonel itu. Sebagaimana Pipit dengan senang hati memeluk julukan ‘sersan’ untuk dirinya.
Ada banyak sekali ‘artefak’ Indonesia di rumah itu. Dan, satu lagi yang jadi favorit orang adalah yang melambai-lambai di atas gudang yang bercat merah. Di sana bertakhta Petruk yang bergerak kemana angin berhembus.
Ada sesuatu yang tidak terbantahkan dari rumah itu, yakni begitu kuatnya ikatan pemiliknya dengan Indonesia. Om Ben Anderson tidak saja mendekati Indonesia secara profesional sebagai intelektual dan akademisi, namun dia sungguh-sungguh hidup di dalamnya. Dia memungut Indonesia seperti seseorang memungut anak.
Namun yang dipungutnya bukanlah versi negara dari Indonesia. Dia memungut Indonesia dari versi rakyat biasa. Versi ini yang sangat dia kenal ketika dia menjelajahi Indonesia pada akhir tahun 1950an dan awal 1960an.
Sekaligus, versi ini adalah versi revolusioner dari Indonesia yang dibabat habis pada pada tahun 1965-1966. Sehingga tidak heran bahwa Ben Anderson memiliki hubungan yang sangat unik dengan Indonesia. Om Ben adalah pengkritik paling tajam dari rezim militer Soeharto.
Jarang sekali ada sarjana bule yang terjun begitu dalam ke persoalan politik dan sosial di Indonesia. Dan, sebagaimana kita tahu, dia membayar begitu mahal untuk kritiknya itu. Selama 27 tahun, dia dilarang masuk ke Indonesia.
Pelarangan itu sekaligus menjadi bukti kebrutalan dari Orde Barunya Soeharto. Dia sendiri menyimpulkan hubungan dengan Indonesia setelah pembantaian 1965 seperti orang yang ‘jatuh cinta dan kemudian mendapati yang dicintainya adalah seorang pembunuh.’
Telalu banyak yang sudah disumbangkan oleh Ben Anderson untuk studi ilmu-ilmu sosial dan studi tentang Indonesia. Sulit untuk mencari tandingan kekayaan pengetahuan, kreativitas, dan orisinalitasnya sebagai ilmuwan sosial. Namun tidak terlalu sulit bagi kita untuk meniru prinsip hidupnya.
Salah satu yang paling saya kenang adalah tulisannya tentang bagaimana ibunya mengasuh dia. Nasehat ibunya yang selalu jadi pegangannya adalah, “Jangan pukul yang lemah.” Untuk saya, itulah yang selalu terpancar dalam pribadi Om Ben.
***
Diambil dari: “Tulisan Kenangan untuk Ben Anderson” sebagai bagian dari acara Ben Anderson Memorial yang diselenggarakan di Jakarta, 22 Januari 2016.