Setelah membaca bagian kedua, yang membahas konspirasi tiga pilar perusak negara, yakni antara penguasa-intelektual-pemodal, maka berikut ini akan diulas bentuk-bentuk kebijakan yang dijalankan Fir’aun bersama kroni-kroninya.
Ada tujuh kebijakan yang dibuat oleh Fir’aun —meskipun secara faktual lebih dari itu—, —yang menurut penulis paling berbahaya ketika diterapkan dalam sebuah negara. Jika kemusyrikan dan komunisme (anti Tuhan) dianggap sebagai bahaya atau keburukan, maka kebijakan yang dibuat Fir’aun lebih dari itu. Kebijakan yang dibuatnya merupakan core of core dari kezaliman yang di muka bumi.
Genosida
Genosida yang dimaksud adalah kebijakan membunuh semua bayi Bani Israil. Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa populasi Bani Israil yang melejit, menuntut Fir’aun mengambil sebuah keputusan, yakni tindakan rasis. Tujuannya jelas, yaitu untuk membatasi laju pertumbuhan Bani Israil. Dia menganggap ketika dominasi populasi Bani Israil ditekan, kesenjangan ekonomi juga hilang. Namun kenyataannya tidak demikian.
Di banyak negara penyelesaian kesenjangan ekonomi, sampai sekarang, masih menggunakan pola ini. Penindasan muslim di India, Palestina, Rohingya, Patani, dan mungkin di Uighur, tidak lain disebabkan karena meningkatnya populasi sebuah etnis dianggap sebuah ancaman. Hal ini tidak dapat dimungkiri pernah terjadi di Indonesia, seperti kasus Poso, Ambon, dan di daerah-daerah lainnya.
Gary Nort dalam bukunya Moses and Pharaoh: Dominion Religion Versus Power Religion, menjelaskan semenjak keputusan itu dibuat, laju pertumbuhan Bani Israil menjadi 0 persen. Dapat dikatakan Fir’aun berhasil dengan kebijakan tersebut. Namun, kebijakan tersebut menyisakan persoalan baru yang lebih parah, yakni Mesir kehilangan angka usia produktif.
Akhirnya para pekerja, hampir di semua sektor ekonomi diisi oleh orang-orang tua yang tidak produktif lagi. Industri, pertanian, dan perdagangan mengalami penurunan drastis. Inilah yang tidak disadari Fir’aun.
Kalau Fir’aun cerdas, mestinya peningkatan populasi tersebut diikuti dengan kebijakan peningkatan sektor industri. Mempersiapkan lapangan pekerjaan baru untuk generasi berikutnya, yang dapat diprediksikan jumlahnya. Tujuannya jelas agar tidak terjadi pengangguran. Sehingga bonus demografi dapat menjadi rahmat, bukan menjadi musibah, apalagi ancaman ekonomi.
Perbudakan (Slavery)
Untuk memenuhi tenaga kerja usia produktif, akhirnya harus mendatangkan tenaga kerja dari luar (atau tenaga kerja asing). Namun Fir’aun tidak mau membayar mahal untuk masalah ini, lantas yang ditempuh adalah perbudakan (slavery). Itulah yang menyebabkan Ramses II hingga Merneptah sering melakukan invasi ke daerah-daerah lemah.
Prinsip dari perbudakan adalah mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya, dan mencoba meraup untung sebesar-besarnya dari usaha orang lain. Jika prinsip perbudakan seperti itu, maka model ekonomi kapitalis adalah yang sangat mirip dengan kebijakan Fir’aun tersebut, meskipun dengan konteks yang berbeda.
Dalam sistem perbudakan, yang berkuasa penuh adalah pemimpin (penguasa). Dengan kekuasaannya dia dapat menyuruh rakyatnya bekerja dengan bayaran seminimal mungkin. Sementara dalam ekonomi kapitalis yang berkuasa penuh adalah modal, dan ini lebih berbahaya. Sebab dengan kekuatan modal, ekonomi kapitalis dapat mempekerjakan para penguasa tersebut. Para penguasa dapat dijadikan budak.
Itulah sebabnya para penguasa yang sedang diperbudak modal sangat takut jika investasi hilang dari negerinya. Bahkan mereka tidak segan menjual rakyatnya, bangsanya, dan apapun (aset negara) untuk menghamba kepada modal. Dia menganggap kekuasaannya akan abadi dengan modal, padahal yang dihasilkan hanyalah fatamorgana.
Pada akhirnya perbudakan tetap meninggalkan persoalan pelik, yakni kemiskinan, kelaparan, kelesuan ekonomi, kesenjangan sosial-ekonomi, yang kemudian berdampak pada kriminalitas.
Meningkatkan Pajak
Di era Ramses II dan Merneptah banyak sekali pembangunan mega proyek. Mulai dari piramid hingga menara-menara tinggi untuk mengintip Tuhan Musa as. Dalam Surah Al-Mukminun (40): 37, tertulis, “…dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. Kerugian yang dimaksud adalah kebangkrutan negara.
Ibnu Atsir dalam bukunya Al-Kaamilu fii at-Taarikh menjelaskan bahwa Haman membangun syarhun, menara yang menjulang tinggi sebagaimana ayat di atas, selama tujuh tahun. Dalam kitab Tarikh Makkah al-Musyrifah Wa al-Masjid al-Haram karya Ibnu Dhiya dijelaskan pula tinggi bangunan tersebut sekitar 5000 hasta —lebih tinggi dari piramid—, dan sebanyak 50.000 buah. Jadi ini adalah proyek gila yang sangat tidak masuk akal.
Coba bayangkan sejenak, berapa anggaran negara yang dikeluarkan untuk proyek tersebut? Berapa pekerja (budak) yang dibutuhkan untuk proyek tersebut? Dari sinilah dapat dipahami, sebab Karun bisa menjadi sangat kaya. Sehingga kunci gudang harta kekayaannya harus diangkat oleh delapan laki-laki dewasa, sampai membungkuk-bungkuk.
Data ini menunjukkan mega proyek sekaligus multi years yang bukan hanya tidak terencana secara efektif dan efisien, melainkan gila dan tidak masuk akal. Padahal pembangunan infrastruktur sebuah negara saja harus mempertimbangkan yang statis —seperti jalan raya, bandara, dan mungkin Ibu Kota— dan yang dinamis (sektor industri).
Jangan sampai sektor industri belum mapan bahkan tidak ada malah membangun infrastruktur yang statis. Apalagi pembangunan tersebut bersumber dari hutang. Bagaimana membayarnya? Apa manfaatnya? Bagaimana rakyat bisa makmur?
Pembangunan yang dilakukan Fir’aun benar-benar keblinger. Infrastruktur yang menunjang ekonomi negara tidak dipikirkan, apalagi kesejahteraan rakyatnya. Jadi, Fir’aun benar benar-benar gila, bahkan mungkin bodoh.
Celakanya lagi, biaya pembangunan tersebut dibebankan kepada rakyatnya dengan menaikkan pajak. Rakyatnya disuruh kerja paksa, ditambah beban pajak yang sangat tinggi. Sempurna penderitaan yang dirasakan bangsa Mesir pada waktu itu. Padahal pembangunan tersebut tidak ada manfaatnya bagi rakyatnya.
Mencabut Hak Politik
Melihat kondisi sebagaimana tergambar di atas, maka dapat dipastikan struktur masyarakat Mesir terbagi menjadi beberapa kasta, antara lain: kelas penguasa, kelas pribumi, dan ketiga adalah kelas pendatang. Kelompok pendatang tidak mendapatkan hak politik, yakni Bani Israil.
Kebijakan ini sangat picik, sebab Bani Israil yang telah lama tinggal di Mesir hingga ratusan tahun masih dianggap sebagai pendatang. Otak rasis seperti inilah yang ditiru oleh Hitler, dan pemimpin dunia lainnya yang melakukan kejahatan genosida.
Dapat dibandingkan bagaimana kisah Fir’aun zaman Yusuf as dengan Musa as. Fir’aun zaman Yusuf as tidak melakukan tindakan rasis seperti itu. Dia menggunakan sistem meritokrasi, yang memberikan kesempatan orang yang berkualitas (bukan berdasarkan suku atau golongan) untuk tampil memimpin. Hal ini diberikan kepada Yusuf as.
Dampaknya apa? Fir’aun zaman Yusuf as dapat membangun Mesir menjadi negara maju, makmur, dan sejahtera. Masyarakatnya merasakan kebahagiaan. Bahkan ketika ditimpa paceklik yang cukup lama, negara tersebut dapat bertahan dengan baik. Sebab yang diutamakan adalah rakyatnya, kesejahteraan penduduknya, bukan posisi atau kekuasaan penguasa.
Intinya di bawah kekuasaan Fir’aun era Yusuf as, negara dan kekuasaannya langgeng, sebab yang mempertahankan tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Sementara kekuasaan Fir’aun era Musa as, negaranya hancur, ekonomi rusak, ketakutan berada dimana-mana, akhirnya rakyat tidak mau mempertahankan kekuasaan rajanya. Prinsipnya, kalau kekuasaan mau langgeng, utamakan kesejahteraan rakyat, bukan mempertahankan pencitraan.
Intimidasi dan Kekerasan
Teror dan ancaman adalah dua pola yang digunakan Fir’aun untuk mengatur rakyatnya. Rakyat yang tidak mau menurut diancam. Bahkan, kalau tidak mau berubah culik, ciduk, kalau perlu dibunuh. Mengkritik pemerintah penjarakan. Keadilan hanya milik penguasa. Undang-undang diciptakan untuk mempertahankan rezim.
Dalam sebuah riwayat perjalanan Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad saw sempat melewati sebuah makam yang sangat wangi. Lalu kemudian beliau bertanya kepada Jibril: “Siapakah yang dikubur di situ, sehingga wanginya sampai menembus hidungku.”
Lalu Jibril menjawab: “Di situ telah dimakamkan seorang pelayan Fir’aun. Dahulu, ketika pelayan tersebut menyisir rambut salah seorang putri Fir’aun, sisirnya sempat terjatuh. Lalu dia tanpa sadar menyebut nama Tuhan Ibrahim as. Mendengar itu, putri Fir’aun melaporkan kepada ayahnya.
Lalu pelayan itu dipanggil dan diminta untuk meninggalkan keyakinannya. Namun pelayan tersebut tetap tidak mau meninggalkan keyakinannya. Kemudian Fir’aun mengancam akan membunuh semua keluarganya. Pelayan tersebut tetap kokoh pada pendiriannya.
Pertama-tama yang dilempar ke dalam api besar adalah suaminya yang shaleh. Disusul anaknya yang lain. Tinggal terakhir pelayan tersebut beserta bayinya yang masih kecil. Dalam keadaan tertekan dan terintimidasi seperti itu, pelayan tersebut tidak mau meninggalkan keyakinannya. Dia tetap yakin dengan Tuhan Ibrahim as.
Atas kuasa Tuhan, tiba-tiba bayi yang berada dalam dekapan pelayan tersebut bicara; “cobaan di dunia ini tidaklah ada apa-apanya, ketimbang cobaan di akhirat”. Pelayan tersebut akhirnya semakin mantap. Dan dia beserta bayinya kemudian dilempar ke dalam api tersebut.”
Hal serupa juga terjadi pada Musa as. Suatu ketika Musa as mendapati seorang dari Bani Israil sedang dianiaya oleh orang dari suku Qibti, yang tidak lain adalah sukunya Fir’aun. Melihat itu, Musa as marah lalu memukul orang tersebut. Rupanya, baru sekali pukul matilah orang tersebut (Al-Qashash (26): 14-28).
Meskipun yang salah adalah orang dari suku Qibti, namun pemerintah tidak mau tau. Justru yang disalahkan adalah Musa as karena telah membela orang dari Bani Israil. Sejak saat itulah Musa as dijadikan buronan. Untungnya, Musa as segera melarikan diri ke negeri Madyan, yang telah melakukan perjanjian damai dengan Mesir. Di negeri itulah Musa as mencari suaka politik, dan kembali ke Mesir 10 tahun kemudian.
Tujuan dari intimidasi dan kekerasan adalah untuk membungkam suara rakyat. Ketika Fir’aun mengaku sebagai Tuhan, maka semua ucapan dan tindakannya harus dianggap benar, meskipun salah. Maka protes adalah bentuk pembangkangan. Jadi pemimpin yang anti terhadap protes atau kritik tidak ubahnya seperti Fir’aun.
Padahal protes dan kritik dalam iklim demokrasi adalah sebuah bentuk kepedulian rakyat kepada pemimpin sekaligus negaranya. Kalau rakyat diam melihat kesalahan pemimpin, itu maknanya rakyat sudah bosan dengan pemimpinnya. Protes dan kritik merupakan mekanisme kontrol yang positif untuk menjaga visi negara. Agar negara tidak karam di tengah jalan.
Kebohongan Publik
Sampai kapanpun manusia tidak dapat menjadi Tuhan. Obsesi menjadi Tuhan akhirnya berdampak pada rusaknya negeri Mesir. Banyak sekali propaganda-propaganda hitam yang dikeluarkan Fir’aun untuk mempertahankan kekuasaannya.
Ketika Mesir diterpa musibah kekeringan yang sangat panjang, Fir’aun tetap tidak mengakui Tuhan Musa as. Malah ketika kekeringan itu telah berganti dengan hujan, dan tumbuhan hidup kembali, pertanian subur, Fir’aun malah mengklaim semua itu adalah hasil usahanya. Dialah yang memberikan kesuburan.
Ketika Mesir diserang berbagai wabah, mulai dari belalang, kodok, dan lainnya, justru yang dituduh adalah Musa as. Jika Musa as berada pada posisi yang benar, kemudian dia mendapatkan tuduhan sebagai penyebab petaka, itu berarti Fir’aun mencari kambing hitam.
Ini merupakan pola propaganda hitam yang dilancarkan Fir’aun. Propaganda hitam bertujuan untuk membungkam sebuah kebenaran dengan cara membangun kebohongan publik.
Kebohongan-kebohongan sengaja diproduksi secara sistematis oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Kelompok atau personal yang mencoba mengungkap, pasti akan akan diserang dan dihabisi. Kebenaran-kebenaran itu harus segera diisolasi dengan berbagai narasi kebohongan lainnya agar semakin lama melemah dan tidak berdaya. Itulah yang disebut dengan circle silence (spiral keheningan). Itulah yang dilakukan Fir’aun menyikapi kebenaran yang dibawa Musa as.
Mengaku Sebagai Tuhan
Dalam kitab suci apapun kebebasan beragama selalu dijaga, karena itu adalah hak setiap individu. Namun, yang terjadi di Mesir sungguh berbeda. Ada seorang manusia yang ingin menjadi Tuhan. Obsesi ingin menjadi Tuhan, lebih berbahaya ketimbang tidak mengakui adanya Tuhan, atau atheis.
Orang yang tidak percaya Tuhan, akan membagun narasi kehidupan dengan norma dan nilai yang dia pikirkan. Hasilnya adalah filsafat nilai atau etika. Di Barat nilai dan norma tersebut teraktualisasi dalam humanisme. Untuk membangun negara mereka menggunakan empirisme dan rasionalisme. Hasilnya adalah ilmu pengetahuan seperti dapat dilihat saat ini.
Di Timur, ada negeri Cina yang dalam dasar negaranya juga tidak mengenal Tuhan. Mereka memiliki etos dan nilai hidup bermasyarakat yang bersumber Konfusius. Untuk membangun negara, mereka berpegang dari dagang dan ilmu pengetahuan.
Artinya, di negara-negara yang tidak ber-Tuhan tersebut, hidup juga manusia-manusia yang beragama. Meskipun agama hanya dianggap sebagai produk budaya. Namun mereka masih menghargai agama-agama yang tumbuh dalam keyakinan pribadi penduduknya. Artinya, masalah percaya Tuhan atau tidak urusan pribadi. Relasi kemanusiaan masih dapat dijaga di sana.
Ketika ada manusia yang ingin menjadi Tuhan, ternyata dampaknya sangat buruk. Sebabnya apa? Karena keyakinan tersebut tidak dapat hidup berdampingan dengan manusia lainnya, baik yang beragama maupun tidak beragama, baik yang beriman (monoteis) ataupun yang musyrik (politeis).
Logikanya seperti ini. Orang ateis tidak percaya Tuhan, sementara Fir’aun mengaku sebagai tuhan. Berarti sama saja, orang ateis tersebut tidak mengakui Fir’aun. Begitu juga dengan orang yang beragama. Dia mengakui ada Tuhan, meskipun bukan Fir’aun. Sementara Fir’aun mengaku dirinya Tuhan, berarti orang beragama tadi membangkan terhadap ketuhanan Fir’aun.
Itulah sebabnya obsesi Fir’aun ini sangat berbahaya. Membahayakan semua manusia yang berada di sekitarnya, baik yang atheis ataupun yang beragama, bahkan yang musyrik sekaligus.
Adanya Tuhan menuntut ketiadaan Tuhan selainnya. Selain Tuhan adalah hamba. Seorang hamba, harus taat dan patuh kepada Tuhan. Itulah sebabnya perbudakan merajalela di zaman Fir’aun. Karena semua penduduk dianggap hamba, yang tidak lain adalah budak.
Di sinilah pangkal kerusakan rezim Fir’aun. Mungkin inilah yang menyebabkan namanya tercatat dalam sejarah dan kitab suci. Bahkan, pangkal rusaknya sistem perekonomian di Mesir adalah dari obsesi tersebut. Implikasi dari obsesi menjadi Tuhan ini sebenarnya mengarahkan pada isolasi ekonomi Mesir sendiri. Fir’aun akhirnya mengembargo dirinya sendiri.
Apakah ada negara dapat hidup sendiri? Sebuah negara membutuhkan perdagangan bilateral, ekspor impor, untuk mencukupi kebutuhan negaranya. Hal itu dapat terjadi jika semua negara dalam keadaan sehat. Jika hanya ada satu negara yang sehat, sementara negara-negara lainnya miskin, maka yang terjadi adalah perdagangan yang tidak sehat. Pasti akan terjadi krisis moneter.
Penulis tentu saja heran melihat sebuah negara yang ingin menjadi penguasa dunia layaknya Fir’aun. Dengan kekuatan militer dan modalnya mencoba memiskinkan negara-negara lain. Padahal negara-negara yang termiskinkan tersebut, tentu akan memengaruhi negaranya sendiri.
Obsesi ingin menjadi Tuhan, adalah kebijakan soliter, yang tidak tepat untuk planet bumi. Di era globalisasi seperti sekarang, yang tepat adalah belajar penduduk bumi yang baik. Selesai.
Terkait