Minggu, Oktober 13, 2024

Reklamasi Teluk Jakarta: Belajar dari Reklamasi Kapuk

Fariz Panghegar
Fariz Panghegarhttps://farizpanghegar.wordpress.com
Peneliti Politik Lokal dan Studi Perkotaan. Kini bergiat di Lembaga Penelitian Cakra Wikara Indonesia

tolakreklamasiPara aktivis Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta berunjuk rasa di depan gedung DPRD Jakarta, Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (1/3). Mereka menolak rencana pengesahan Raperda RZWP3K dan RTR Kawasan Strategis Pantura oleh DPRD DKI untuk mereklamasi pantai di Teluk Jakarta. ANTARA FOTO/Teresia May

Sejak tahun 2014 Pemerintah DKI Jakarta telah menyampaikan rencana baru untuk wilayah pesisir Teluk Jakarta. Izin proyek reklamasi sudah diberikan kepada para pengembang swasta. 17 pulau akan dibangun berjejer di sepanjang Teluk Jakarta. Pasir dan tanah telah dituang di laut, pulau-pulau baru akan segera berdiri.

Reklamasi dalam artian menguruk wilayah perairan menjadi daratan bukan pengalaman baru bagi Jakarta. Sekitar awal tahun 1990-an reklamasi dilakukan di rawa mangrove tepi pantai di daerah Kapuk, Jakarta Barat (Rukmana, 2015). Belasan tahun kemudian rawa itu sudah selesai berganti rupa menjadi kawasan superblok bernama Pantai Indah Kapuk (PIK). Pengalaman reklamasi kawasan rawa mangrove di Kapuk dapat dijadikan refleksi terhadap rencana reklamasi di Teluk Jakarta.

Kapuk, dari Rawa Menjelma Superblok
Sebelumnya daerah Kapuk dikenal sebagai rawa luas (wet land) di tepi pantai (Gunawan, 2010). Rawa itu ditumbuhi mangrove. Beragam fauna hidup di sana, seperti ikan, burung bangau, dan monyet Angke yang ikonik (sering disebut juga monyet Ancol). Rawa di daerah Kapuk juga dimanfaatkan oleh warga untuk pertambakan ikan.

Seorang warga lokal menceritakan tempat tinggal masa kecilnya di daerah Kapuk. “Kapuk ditumbuhi pohon mangrove jauh lebih lebat ketimbang sekarang. Tempatnya teduh dan airnya bersih tidak terasa asin, berbeda sekali dengan daerah lain di wilayah utara Jakarta yang gersang dan air tanahnya terasa asin,” katanya.

Dokumen tahun 1977 (SK Menteri Pertanian) menetapkan kawasan Kapuk sebagai hutan lindung, cagar alam, hutan wisata, dan hutan pembibitan. Pada 1984 Kementerian Kehutanan menyerahkan lahan di Kapuk seluas 1.162,48 hektare kepada PT Mandara Permai untuk dikembangkan menjadi kawasan superblok (Kompas, September 1992).

Penyerahan lahan tersebut dilakukan dengan cara “tukar menukar” tanah. Sebagai gantinya, PT Mandara Permai menyerahkan lahan miliknya di Pulau Penjaliran Barat dan Timur di Kepulauan Seribu (39 ha), tiga bidang tanah di Desa Rumpin, Kampung Sawah, dan Cipinang Bogor (75 ha), Kecamatan Nagrak Sukabumi (350 ha), serta 10 bidang tanah di Kecamatan Sukanagara dan Campaka Cianjur (1190 ha). Rawa Kapuk direklamasi menjadi dataran solid. Lalu terbangunlah kawasan superblok, Pantai Indah Kapuk (PIK), yang terdiri dari perumahan, kawasan niaga dan wisata, termasuk wisata alam (ada tiga taman mangrove di kawasan PIK).

Setelah lahan seluas 1.162,48 ha diserahkan kepada PT Mandara Permai, rawa mangrove Kapuk berganti rupa menjadi kawasan superblok mewah bernama Pantai Indah Kapuk (PIK). PIK menjadi permukiman eksklusif yang dikelola secara tertutup (gated community). Dalam gated community di Indonesia, permukiman dikelola secara tertutup dan dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang lengkap (Leisch, 2002).

Permukiman dikelompokkan ke dalam cluster-cluster di PIK. Tiap cluster dipagari dan hanya ada satu pintu masuk-keluar yang dijaga oleh petugas keamanan. Fasilitas dasar seperti sekolah, rumah sakit, kawasan wisata dan kawasan niaga (pasar, restoran, pusat perbelanjaan) tersedia di kawasan permukiman.

Ketersediaan beragam fasilitas dasar memungkinkan berjalannya kehidupan gated community di PIK. Karenanya, penghuni tidak perlu keluar kawasan permukiman untuk mendapatkan beragam kebutuhan dasarnya.

Umumnya hanya kawasan permukiman yang tertutup dalam gated community di Indonesia. Kawasan wisata, niaga, dan fasilitas pendidikan dan kesehatan masih relatif terbuka aksesnya bagi orang luar. Selama mereka mampu membayar harga barang dan tarif jasa yang dijajakan. Harga tanah selangit dan harga barang dan tarif jasa yang mahal menjadi dinding penghambat bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah untuk menikmati fasilitas yang ada di sana.

Reklamasi Teluk Jakarta dikhawatirkan hanya akan memperluas kawasan gated community di utara Jakarta. Jatah 17 pulau telah diperoleh oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki kawasan ekslusif di daratan Jakarta. Nantinya pulau-pulau itu akan berada persis di depan daerah garapan mereka di daratan Jakarta. Seperti pulau reklamasi yang sedang dibuat di depan PIK.

Nantinya pulau reklamasi ini akan menjadi superblok baru sekaligus penghubung dengan kawasan PIK 2 yang sedang dibangun di sebelah barat kawasan PIK.

Sama seperti reklamasi di Rawa Kapuk, reklamasi Teluk Jakarta ini juga dibiayai oleh pengembang swasta. Sulit berharap lahan baru itu akan menjadi kawasan terbuka dilengkapi dengan rumah susun serta fasilitas dasar dengan harga dan tarif jasa yang terjangkau. Biaya reklamasi yang mahal akan mendorong pengembang membangun kawasan superblok mewah untuk mempercepat balik modal dan mendulang laba.

Masalah Ekologis Pasca Reklamasi
November 2015, warga PIK mengeluh kualitas air bersih. Warnanya keruh dan berbau seperti air comberan (Tempo 2015). Rupanya air laut Teluk Jakarta—yang tercemar berat—masuk ke dalam tanah (intrusi) dan mencemari air tanah di dalamnya. Masalah ini memaksa warga PIK membeli air minum kemasan untuk memenuhi kebutuhan air minum mereka.

Nirwono Yoga, ahli tata kota dari Universitas Trisakti, menjelaskan fenomena intrusi air laut terjadi karena rusaknya pohon mangrove yang berfungsi sebagai penyaring agar air laut tidak masuk mencemari air tanah. Kisah dari penduduk lokal sebelumnya telah memberi gambaran daerah Kapuk yang ditumbuhi pohon mangrove memiliki air tanah yang bersih dan tidak terasa asin.

Setelah rawa Kapuk direklamasi menjadi superblok PIK, lahan mangrove berkurang hanya menyisakan sekitar 100 ha di area taman wisata mangrove. Rupanya itu belum cukup untuk menghambat intrusi air laut ke dalam tanah. Masalah ini menjadi semakin buruk karena air laut Jakarta tercemar berat akibat sampah dan limbah dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Ini sekaligus menyingkap problem polusi air laut dan sungai Jakarta yang juga mengancam PIK area reklamasi rawa Kapuk.

Dari reklamasi Kapuk, kita bisa ambil pelajaran tentang dampak sosial dari reklamasi yang dibuat oleh pengembang swasta. Alam bebas dikapling menjadi superblok yang dikelola secara tertutup. Penduduk lama tersingkir digantikan oleh penghuni baru yang sanggup membeli lapak tanah di sana.

Begitu juga dengan reklamasi Teluk Jakarta yang berpotensi menutup ruang gerak nelayan di pesisir Jakarta. Jarak tempuh ke laut lepas menjadi lebih panjang karena terhalang pulau-pulau hasil reklamasi. Pengeluaran untuk bahan bakar kapal akan meningkat.

Selain itu, dari reklamasi Kapuk kita juga bisa belajar dampak ekologis reklamasi. Tercemarnya air tanah akibat intrusi air laut menyingkap potensi bencana ekologis yang menghantui daratan artifisial hasil reklamasi. Reklamasi mengubah ekosistem Kapuk, dari rawa mangrove menjadi permukiman dan perdagangan. Hilangnya sebagian besar lahan mangrove membuat daerah itu rentan dengan intrusi air laut.

Reklamasi Teluk Jakarta juga masih dibayangi oleh persoalan ekologis yang berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Pertama, persoalan perubahan ekosistem laut Teluk Jakarta. Muslim Muin, ahli hidrologi kelauan ITB, menyatakan pulau-pulau reklamasi akan memperpanjang aliran sungai ke laut. Aliran air sungai yang melambat berpotensi menyebabkan banjir di daratan Jakarta (BBC Indonesia, November 2015).

Muslim juga menjelaskan semakin panjangnya aliran air tawar dari sungai akan mendorong air laut menjauhi pesisir Jakarta. Akibatnya, mangrove bisa rusak karena kehilangan air laut yang dibutuhkan untuk hidup. Pengalaman di PIK telah menunjukkan kurangnya hutan mangrove memicu intrusi air laut yang mencemari air tanah permukiman.

Kedua, perubahan ekosistem laut dan pantai tempat asal pasir untuk kebutuhan reklamasi Teluk Jakarta. Untuk menguruk lautan menjadi pulau tentu membutuhkan pasir dalam jumlah besar. Sampai hari ini pemerintah dan pihak pengembang belum terbuka mengungkap dari mana pasir diambil dan bagaimana dampak lingkungan yang timbul di daerah itu.

Dari pengalaman reklamasi Kapuk, dapat dilihat reklamasi tidak menyelesaikan masalah ekologis Jakarta seperti pencemaran air dari hulu ke hilir dan krisis air tanah akibat berkurangnya daerah resapan air. Sebaliknya daerah hasil reklamasi malah rentan terkena bencana ekologis, salah satunya intrusi air laut yang mencemari air tanah.

Begitu juga dengan reklamasi Teluk Jakarta yang berpotensi menambah masalah ekologis baru di sana dan di daerah asal tempat pasir-pasir untuk reklamasi diambil.

Fariz Panghegar
Fariz Panghegarhttps://farizpanghegar.wordpress.com
Peneliti Politik Lokal dan Studi Perkotaan. Kini bergiat di Lembaga Penelitian Cakra Wikara Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.