Jumat, April 26, 2024

Belajar dari Kasus Pelecehan Seksual oleh Oknum Polisi

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

pelecehan seksualPeristiwa memalukan ini terjadi di Kota Wisata Batu, sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Timur. Alih-alih memberikan perlindungan dan pengayoman kepada warga, dua orang oknum polisi justru melakukan pelecehan seksual kepada pengendara kendaraan bermotor yang ditilang. Meski pelecehan seksual yang dilakukan baru dalam bentuk verbal, yakni mengacam akan mengajak korban berhubungan intim jika tak membayar tilang, perilaku oknum polisi di Batu ini benar-benar keterlaluan.

DS (17 tahun), siswi SMK swasta di Malang, sebagai korban melaporkan kejadian yang dialaminya ke atasan dan instansi pelaku dengan didampingi Ketua Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur, Agustinus Tedja Bawana. Korban lainnya, DP (17 tahun), juga melaporkan peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Kedua korban mengalami pelecehan seksual di Pos Polisi Alun-Alun Batu dengan pelaku yang berbeda.

Saat ini kedua oknum polisi pelaku pelecehan seksual sudah diperiksa dan diproses menurut hukum yang berlaku. Kapolda Jawa Timur berang atas kelakuan nista anak buahnya itu, dan berjanji akan menindak anggotanya sesuai ketentuan yang berlaku.

Korban dan masyarakat umum tentu berharap oknum polisi yang bersangkutan memperoleh hukuman yang setimpal agar kelakuan mereka tidak diulangi oleh aparat kepolisian lain, yang tugasnya adalah memberikan pengayoman kepada seluruh warga masyarakat.

Sebagai sebuah masalah sosial, pelecehan seksual hingga kini masih kontroversional. Di masyarakat kita, setiap terjadi kasus kekerasan seksual—diakui atau tidak—sering masih dijumpai pendapat yang beragam, terutama terkait dengan apakah tindakan itu termasuk tindakan kekerasan seksual atau bukan dan lebih beragam lagi jika ditanya latar belakang tindakan tersebut terjadi.

Pelecehan seksual sesungguhnya bukan sekadar bentuk pelanggaran hukum terhadap hak orang lain yang tergolong tindak kriminal. Tetapi, lebih dari itu “ia” adalah peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena dilatarbelakangi oleh nilai sosial-budaya di masyarakat yang sedikit-banyak bias gender.

Pelecehan seksual tidak selalu berupa tindak perkosaan atau kekerasan seksual. Bentuk pelecehan seksual dapat bermacam-macam: mulai dari sekadar menyiulkan perempuan yang sedang berjalan, memandang dengan mata seolah sedang menyelidiki tiap-tiap lekuk tubuh, meraba-raba ke bagian tubuh yang sensitif, memperlihatkan gambar porno, dan sebagainya. Termasuk mengeluarkan ajakan sepihak kepada perempuan untuk berhubungan intim seperti yang dilakukan oknum polisi di Batu itu.

Berbeda dengan tindak pemerkosaan yang jelas-jelas merupakan tindak kekerasan seksual, pelecehan seksual adalah sebuah bentuk pemberian perhatian seksual, baik secara lisan, tulisan, maupun fisik terhadap diri perempuan (Adrina, 1995). Sementara itu, menurut Michael Rubenstein (1992), yang dimaksud pelecehan seksual adalah sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung si penerima.

Persamaan dari pelecehan dan perkosaan adalah keduanya sebetulnya sama-sama tidak diiinginkan oleh perempuan yang menjadi korban. Namun acap kali kaum perempuan tak bisa berbuat apa-apa karena di sana terdapat dan sedang berlaku nilai atau kontruksi sosial masyarakat yang seolah-olah membenarkan peristiwa di atas atau minimal menuntut korban untuk selalu bersikap pasrah (Rohan Collier, 1998).

Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dicetuskan di Nairobi tahun 1985 menyebutkan yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah: “… setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”.

Dengan demikian, pelecehan seksual tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup banyak perilaku lainnya—misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan. Karena itu, berbicara masalah pelecehan seksual harus mempertimbangkan bagaimana dampaknya pada korban.

Kalau pelecehan seksual hanya diartikan sempit sebagai perilaku pemerkosaan, jangan heran apabila banyak kejadian pelecehan seksual yang lepas dari tuntutan pengadilan. Tersangka kasus peleehan seksual bukan tidak mungkin banyak yang lolos dari tuntutan hanya karena korban dituduh sebagai pihak yang ikut menikmati peristiwa laknat yang menimpanya itu atau korban dari hasil visum diketahui tidak terluka secara fisik.

Dalam bukunya Studies in the Psychology of Sex, Havelock Ellis menyatakan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya memberlakukan kembali masa percumbuan hewan yang primitif: desakan laki-laki adalah desakan yang “menaklukkan” dan desakan perempuan adalah desakan untuk “ditaklukkan”.

Ellis lebih lanjut menyatakan, ketika terjadi peristiwa pelecehan seksual, dan sebagai korban perempuan bereaksi menolak, maka penolakan itu sebenarnya tidaklah sungguh-sungguh keluar dari hatinya, karena itu semua sesungguhnya adalah bagian dari permainan yang dirancang untuk meningkatkan bangkitnya nafsu seksual laki-laki.

Pendapat senada juga dikemukakan Margareth Sanger. Menurut Sanger, sifat dan tradisi telah menggariskan bahwa laki-laki harus menjadi perayu, pengejar dan pemburu. Laki-laki adalah agresor. Dalam konteks peristiwa pelecehan seksual di Kota Batu, dalam pandangan pelaku, apa yang mereka lakukan tak lain tak bukan adalah sekadar menjalankan peran mereka sebagai laki-laki yang ditakdirkan menjadi agresor.

Ucapan atau perkataan oknum pelaku yang memancing reaksi korban adalah bagian dari taktik laki-laki, bahwa siapa pun perempuan sebetulnya dalam hati senang jika diberi perhatian seksual. Benarkah demikian?

Untuk memahami dengan adil dan objektif peristiwa pelecehan seksual oleh oknum polisi di Kota Batu, masalah ini harus ditempatkan pada konteks lebih luas. Persisnya ketika posisi kaum perempuan dan perilakunya secara sosial cenderung telah didefinisikan dan dikontrol menurut versi para penganut ideologi patriarki. Artinya, tindak pelecehan seksual bisa terjadi sesungguhnya tidak cukup hanya dikatakan sebagai ekspresi dari napsu atau kebodohan oknum polisi yang terbiasa berpikir porno, melainkan karena di sana polisi yang laki-laki itu merasa lebih kuat dan berkuasa tehadap pihak lainnya, yakni kaum perempuan.

Tanpa sadar oknum polisi laki-laki yang sejak kecil kemungkinan telah terbiasa disosialisasi lingkungan sosialnya untuk membangun konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang cenderung dan perlu diperlakukan sebagai objek. Yang terjadi di Kota Batu pada hakikatnya adalah peristiwa budaya yang mengakar dalam hubungan kekuasaan yang berbasis gender, seksualitas, identitas diri serta dipengaruhi oleh pranata-pranata sosial yang berkembang di komunitas itu, yang tanpa sadar membenarkan agresivitas laki-laki.

Jadi, memproses secara hukum oknum polisi yang menjadi pelaku pelecehan seksual memang sudah seharusnya dilakukan. Tetapi, untuk memastikan agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi, yang dibutuhkan lebih dari sekadar tindakan legal-punitif. Kita perlu juga merekonstruksi cara pandang para laki-laki yang telanjur keliru menempatkan posisi dan peran perempuan.

Terkait

Kebiri, Hukuman Mati, dan Subkultur Pemerkosa

Sanksi Tambahan bagi Pemerkosa

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.