Sabtu, Oktober 12, 2024

Belajar dari Horor Brebes Exit (Bagian I)

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.
Brebes-ok
Kemacetan panjang arus mudik Lebaran 2016 di pintu tol Brebes, Jawa Tengah (Foto: Getty Images via Daily Mail)

Perjalanan mudik Lebaran 2016 ini ditandai dengan tragedi kematian 12 orang di Tol Brebes Timur atau yang populer disebut Brexit pada arus lalu lintas macet selama berjam-jam pada 3-5 Juli 2016. Apa pun alasannya, fakta yang tidak dapat dibantah adalah ada sedikitnya 12 orang meninggal dunia di jalur tersebut saat mereka akan mudik Lebaran. Ini menodai penyelenggaraan mudik Lebaran 2016 ini.

Tragedi nyawa melayang di jalan itu sesungguhnya terjadi setiap hari akibat kecelakaan lalu lintas. Rata-rata 73-85 jiwa orang melayang setiap hari di jalan, namun tidak menimbulkan kehebohan, bahkan dianggap biasa. Nah, kematian 12 orang saat macet di Brexit itu menyedot perhatian semua pihak karena fokus media massa saat itu tertuju ke ruas tol Cipali – Brexit. Karenanya apa yag terjadi di sana tidak dapat terhindar dari pantauan media.

Kebetulan pula peristiwa macet berdampak pada kematian itu baru terjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah mudik Lebaran. Ini di luar logika transportasi. Dalam logika lalu lintas yang normal, saat macet justru jarang terjadi kecelakaan, dan andaikan ada kecelakaan tingkat fatalitasnya rendah.

Tingkat fatalitas dalam kecelakaan lalu lintas berkorelasi positif dengan tingkat kecepatan kendaraan. Namun horor di Brexit ini adalah kematian justru terjadi saat kondisi lalu lintas macet total. Ini sungguh anomali.

Mari kita berhenti berdebat soal penyebab kematian 12 orang di Brexit itu. Kita cukup melihat fakta bahwa kematian itu ada, riil, bukan fantasi, dan tidak dapat dinisbikan. Dengan melihat fakta-fakta di lapangan akan menumbuhkan empati dan simpati terhadap korban maupun keluarga korban. Dengan begitu, pernyataan-pernyataan yang menambah sedih keluarga korban maupun hilangnya simpati mereka terhadap pejabat negara bisa dihindari.

Semua pihak yang bertanggung jawab atas penyelengggaraan angkutan mudik Lebaran perlu mencari solusi agar kondisi buruk sejenis tidak terulang lagi di masa mendatang. Menisbikan keberadaan korban dengan berbagai alasan dan penjelasan justru bisa mendelegitimasi kehadiran negara. Sebab, orang dapat menjadi sumir dengan mengatakan, untuk apa ada negara kalau tidak merasa bertanggung jawab atas kematian warganya?

Karena itu, setiap pejabat yang menjadi representasi kehadiran negara di hadapan warga perlu hati-hati membuat pernyataan agar tidak menimbulkan antipati, sebaliknya justru dapat menumbuhkan empati dan simpati publik.

Kurang Perencanaan
Saya bersyukur diajak oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Angkutan Darat dan Perkeretaapian Balitbang Perhubungan untuk turut memantau arus mudik (1-2 Juli). Karenanya bisa turut merasakan sendiri bagaimana menderitanya saat terjebak kemacetan. Pada Jumat, 1 Juli itu, kami memantau arus mudik dari arah Cawang hingga Brexit dengan berhenti di setiap rest area untuk melihat kondisi yang ada.

Ketika memasuki KM 254 menjelang Brexit, lalu lintas mulai macet. Saya langsung melihat jam di HP saya menunjukkan angka 20.00, dan ketika mobil kami keluar Brexit, jam menunjukkan pukul 01.20 menit.  Artinya, kami terjebak macet selama 5.20 jam.

Tapi karena tujuan perjalanan kami adalah memantau arus mudik, kemacetan itu tidak terlalu mengganggu pikiran kami. Kami justru mencatat sebagai temuan lapangan untuk masukan. Berbeda dengan para calon pemudik, kemacetan panjang dan lama tersebut tentu menimbulkan problem psikologis berupa rasa lelah.

Pada saat terjebak kemacetan, banyak calon pemudik (tidak peduli laki maupun perempuan) turun mobil untuk buang air kecil di sembarang tepi jalan tol. Semua maklum dan tidak dapat dipersalahkan karena kondisinya memang darurat. Tapi itu malam, orang dapat lebih leluasa membuang air kecil di sembarang tempat.

Tak dapat dibayangkan bila terjebak kemacetan pada siang hari; tidak mungkin mereka bisa buang air kecil di sembarang tempat (terlebih yang perempuan). Mereka lebih baik menahan, meski terasa sakit sekali. Akhirnya bagi yang kondisi tubuhnya lemah, kematian itu tidak terelakkan.

Pemandangan kontras terlihat di jalur Pantura. Lalu-lintas di Pantura pada 2 Juli itu terlihat lancar, lebih banyak didominasi oleh sepeda motor dan bus, sehingga kecepatan bus dapat mencapai 60-70 km/jam. Jalur Simpang Jomin hingga Pamanukan, yang sampai mudik Lebaran 2014 masih menjadi titik krusial kemacetan, hari itu lancar, bahkan lengang. Ini menunjukkan kurangnya perencanaan untuk membagi beban jalan agar merata dan tidak bertumpu di jalan tol saja.

Selama bertahun-tahun memantau arus mudik Lebaran, selalu ada skenario-skenario tertentu yang diterapkan untuk membagi beban jalan agar (saat itu) tidak terpaku di jalur Pantura saja, tapi juga mengarahkannya melalui jalur tengah (Pamanukan – Subang – Majalengka – Kuningan – Ketagunggungan, lalu belok ke kanan melalui Bumi Ayu terus ke Purwokerto), serta jalur selatan (Cikampek – Purwakarta – Bandung – Tasikmalaya – Ciamis – Banjar – Kebumen).

Di sinilah dulu simpang Nagrek selalu menjadi titik krusial untuk jalur selatan. Skenario-skenario seperti itu kurang terlihat dalam persiapan angkutan mudik Lebaran 2015-2016 sejak tol Cipali hingga Brexit beroperasi. Wajar apabila perhatian calon pemudik tertuju pada jalur tol Cipali – Brexit saja, dan mereka tak dapat dipersalahkan mengapa tidak memilih jalur alternatif (Pantura, jalur tengah, dan selatan).

Pengalaman mudik 2015 semestinya bisa menjadi bahan pembelajaran bersama. Saat itu tol Cipali untuk pertama kalinya dioperasikan dan ternyata bukan lancar, tapi menimbulkan kemacetan. Kemacetan panjang saat itu terjadi di pintu tol Pejagan, arus kendaraan terkunci di persimpangan sebidang rel kereta api setelah keluar dari pintu tol dan ekornya sampai ke ruas tol Pejagan – Palimanan.

Pengalaman buruk mudik 2015 itu semestinya menjadi dasar bagi penyelenggara (regulator) maupun pengelola (operator) jalan tol untuk membuat perencanaan yang lebih baik agar kemacetan parah yang terjadi di Pejagan tidak bergeser ke Brexit.

Penyelenggara dan pengelola jalan tol seharusnya sudah membuat langkah antisipatif dan solutif. Misalnya dengan membuat median jalan tol dalam jarak tertentu didesain dapat dipakai untuk putar balik bagi mereka yang akan membatalkan perjalanan atau mencari jalan alternatif dalam kondisi darurat. Sayang, tak ada langkah ke sana.

Mereka juga tidak melakukan kebijakan buka-tutup di pintu masuk tol sejak awal tatkala kemacetan sudah lebih dari lima kilometer. Juga tidak memberikan pengumuman dengan menggunakan mobil berjalan ke arah Jakarta agar yang belum telanjur terjebak macet dapat menghindarinya dengan mencari jalan alternatif. Namun, pencarian jalan alternatif atau membatalkan perjalanan itu hanya dapat dilakukan apabila tersedia median jalan tol yang dapat untuk putar balik, seperti di Bangkok menuju ke arah Ayutaya.

Inilah kelalaian mendasar dari penyelenggara dan pengelola jalan tol yang tidak dilihat publik. Publik justru melihat Kementerian Perhubungan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekacauan di Brexit. Ironisnya, kritik yang salah alamat itu juga dilontarkan oleh anggota DPR RI dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mereka tidak paham tugas dan fungsi masing-masing kementerian teknis.

Terkait

Jokowi dan Ilusi Jalan Tol

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.