Terorisme saat ini telah menjadi fenomena kejahatan kemanusiaan yang benar-benar merusak peradaban. Betapa tidak, hampir banyak negara telah dikoyak dengan aksi pengeboman. Mulai dari negara yang lemah sistem pengamanannya, hingga negara yang dianggap paling kuat sekalipun seperti Jerman, Prancis, Inggris, Amerika, dan negara digdaya lainnya.
Banyak negara seolah berada di ujung tanduk terorisme yang setiap waktu bisa diserang oleh pelakunya, baik yang terdiri dari barisan kelompok maupun perorangan. Apalagi secara global terorisme sudah menjadi mode of production tersendiri yang salah satu penggeraknya adalah kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Melalui jargon keagamaan yang serba absolut, slogan takfiri yang serba refresif-ofensif, dan janji-janji kesyahidan bagi setiap orang yang bersedia menjadi mujahid dalam setiap pergerakan terorismenya, ISIS semakin aktif merancang berbagai modus penyerangan dan nyaris tak mampu dideteksi oleh aparat intelijen dunia.
Dalam tulisan ISIS, Ideologi Hari Kiamat, dan Kultus Al-Baghdadi di Geotimes (7/8/2016), Iqbal Khalidi kian mempertegas bagaimana posisi ISIS menggunakan eskatologi keagamaan sebagai justifikasi untuk memobilisasi para jihadis agar bergabung dengannya dan menjalankan setiap tugas yang diperintahkan.
Bela Negara
Di tengah ancaman terorisme yang kian nyata tentu kita tidak bisa diam begitu saja dan membiarkan negara kita berada di ujung tanduk keporak-porandaan. Negara harus dijaga sepenuh jiwa dan raga, agar aksi terorisme tak leluasa mengoyak relung perdamaian kehidupan berbangsa. Sebab, dampak sosial yang bisa ditimbulkan oleh terorisme yang berwujud radikal bebas ini akan merusak masa depan tatanan kewarganegaraan yang selama ini sudah dilingkupi oleh semangat persatuan dan kesatuan.
Sebagai wujud keterlibatan defensif dan preventif dari berbagai potensi terorisme yang sangat mengancam, ada baiknya program bela negara yang digagas pemerintah sejak beberapa waktu lalu perlu diapresiasi. Secara prinsipil program bela negara ini dapat menguatkan rasa kecintaan kita terhadap Indonesia yang sejatinya harus dilestarikan dengan berbagai ekspresi penjagaan dan perlindungan.
Namun, tentu tidak sepatutnya program bela negara hanya diarahkan pada satu model pergerakan yang bernuansa militeristik. Sebab, sebagaimana diungkap Presiden Joko Widodo, untuk mengatasi terorisme sudah tidak tepat lagi selalu dihadapi dengan cara militerisme yang bernuansa kekerasan. Justru pendekatan lain seperti agama perlu digunakan sebagai sarana pencegahan dari ancama terorisme.
Tentu saja agama di sini bukan hanya sebuah bangunan kepercayaan yang tertutup. Namun, merujuk pada pandangan Profesor Amien Abdullah, agama sebagai bangunan pengetahuan dan pengalaman yang terbuka menyinari pandangan setiap orang untuk mementingkan kemaslahatan bersama.
Dalam konteks ini, agama menjadi pandu amal kebajikan yang bisa menguatkan sendi kehidupan berbangsa dan berwarga negara yang baik dan damai. Dan, agama menjadi pijar keadaban bagi tegaknya prinsip kemanusiaan yang tak hanya dibatasi oleh ego keumatan secara eksklusif, melainkan terbuka dalam lingkup kewargaan yang inklusif.
Religius-humanis
Perspektif religius-humanis menjadi penting sebagai landasan bela negara. Sebab, gerakan terorisme yang dilakukan oleh para pelakunya selalu menggunakan agama sebagai payung aksinya. Bahkan, menurut pandangan Ansyaad Mbai dalam buku Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia dan Keterkaitannya dengan Gerakan Radikalisme Transnasional, berbagai orang yang tertarik bergabung dengan pelaku terorisme seperti ISIS banyak dilatari oleh motif keagamaan yang bernuansa fundamentalisme-radikalistik yang sangat digandrungi beberapa kalangan, terutama kaum muda yang masih labil.
Dalam pola religius-humanis, program bela negara mengabsorsi berbagai kajian dan bacaan keagamaan yang bernuansa kerahmatan dalam kurikulum pelatihannya. Setiap peserta program bela negara diajak berselancar ke dalam khazanah keagamaan yang berinterkoneksi dengan keilmuan lain agar memberikan wawasan yang luas, cara berfikir, dan cara pandang keagamaan yang moderat, toleran, dan inklusif.
Selain itu, setiap peserta juga distimulasi untuk merumuskan sebuah metode dan pendekatan baru yang komprehensif dalam memahami struktur pengetahuan keagamaan yang kontekstual. Hal ini perlu dilakukan agar peserta tidak terperangkap dalam kejumudan berfikir yang berpotensi sebagai tindakan yang otoriter, yang bisa jadi akan bermemorfosis pula sebagai embrio terorisme.
Untuk melakukan pola religius-humanis ini, tentu berbagai akademisi, peneliti, dan kaum cendekiawan yang memiliki pengetahuan keagamaan mumpuni dan bernalar kritis-progresif perlu diikut sertakan sebagai instruktur dan pendamping dalam program bela negara. Keberadaan mereka menjadi penting, agar kesadaran religius-humanis bisa dipahami oleh setiap peserta sebagai rancang bangun sistem kepercayaan dan keyakinan keagamaan yang dinamis dan terbuka.
Dengan demikian, berbagai landasan filosofis kebernegaraan yang dimanifestasi dalam lingkup kebhinekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 45 bisa disadari sebagai sunnatullah yang harus dilestarikan dalam kehidupannya. Masing-masing peserta akan terpanggil untuk menjadi penggerak cinta tanah air dan selalu berupaya meretas ekspresi keberagamaan yang banyak ditampilkan secara kaku oleh sekelompok umat beragama.
Di sinilah program bela negara perlu dijalankan, bila Indonesia tidak ingin terperangkap ke dalam spiral terorisme yang selama ini justru banyak menggunakan agama sebagai tebar pengaruhnya. Pandangan ini selaras dengan hasil pleno Majelis Ulama Indonesia (26 November 2015) yang merekomendasikan agama yang humanis sebagai landasan program bela negara yang patut dilaksanakan oleh kita.