Indonesia sebagai negara demokrasi yang menganut sistem multipartai menciptakan suatu kebiasaan politik di kalangan partai politik (parpol) yaitu kebiasaan untuk berkoalisi.
Walaupun bukan keharusan, koalisi partai politik sebagai bentuk kerjasama antar partai politik telah menjadi kebiasaan yang dilakukan sejak reformasi. Umumnya koalisi dilakukan dalam rangka memenuhi ambang batas perolehan suara untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Koalisi tersebut pun akan bergantung dari kehendak masing-masing dalam merespon dinamika politik. Namun, pola koalisi partai politik yang dibangun hanya atas dasar sekedar memenuhi syarat presidential threshold tersebut dapat menjadi fenomena koalisi yang tidak permanen dan ideal.
Implikasinya adalah minimnya peran substansial partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta dapat memunculkan ketidakseimbangan peran dalam parlemen sehingga menciptakan ketimpangan antara partai pendukung pemerintah dan partai oposisi.
Misalnya yang terjadi dalam pemerintahan periode 2019-2024, terdapat ketidakseimbangan dimana hanya PKS yang menyatakan dengan tegas sebagai oposisi sedangan partai pendukung pemerintah dan partai yang tidak jelas kedudukannya terlalu banyak. Maka dari itu skema koalisi di Indonesia memerlukan pembaharuan yang tetap dan konstitusional.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menciptakan suata koalisi permanen. Karena dengan diterapkannya pola koalisi permanen maka partai yang berada pada barisan oposisi dapat mengimbangi koalisi pemerintah. Pola koalisi permanen ini dapat diibaratkan dengan kontestasi antara partai republik dan demokrat di Amerika serikat sehingga menciptakan keseimbangan dalam parlemen untuk menentukan arah dan jalan pemerintahan. Pola koalisi permanen seperti itu dapat juga disebut dengan pola koalisi dua kutub, dimana ada kutub koalisi pemerintahan dan kutup koalisi oposisi.
Sebenarnya wacana koalisi permanen di Indonesia telah memiliki sejarah panjang, sejak awal masa reformasi, wacana koalisi permanen telah digaungkan di DPR ketika mempersiapkan kemungkinan mundurnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2001 lalu. Selain itu pada putaran kedua Pemilihan Presiden 2004, koalisi pendukung Megawati dan Hasyim Muzadi menggaungkan koalisi PDIP, Golkar, PPP, dan PDS sebagai koalisi permanen. Ada lagi koalisi permanen yang cukup lama bertahan dengan nama setgab (sekertariat Gabungan) yang digagas oleh SBY pasac pilpres 2004. Kemudian pada 2014 lalu pun wacana koalisi permanen yang digaungkan partai pendukung paslon Prabowo-Hatta sempat digadang-gadang menjadi koalisi permanen dan konsisten.
Sayangnya, sampai saat ini koalisi permanen yang digaungkan dan digadang-gadang berhasil dan menjadi penyembang dan pencipta demokrasi yang sehat kebanyakan tidak berhasil. Masalahnya disebabkan kebanyakan dasar penciptaan koalisi di Indonesia adalah koalisi pencari suara atau vote seeking bukan Power seeking, oleh sebab itu koalisi yang diciptakan mudah bubar dan tidak permanen.
Padahal dengan diciptakannya koalisi permanen atas dasar power seeking akan menciptakan demokrasi yang sehat dan seimbang karena adanya dua kekuatan bertolakbelakang untuk menjamin berlangsungnya check and balance dalam pemerintahan. Dengan begitu nantinya partai politik di indoensia ini akan menunjukkan konsitensinya dalam berpolitik yang sehat di Indonesia.
Pola koalisi permanen ini dapat kita adopsi dari bentuk koalisi Barisan Nasional di Malaysia yang telah bertahan enam dekade sebagai koalisi pemerintahan dan akhirnya menjadi koalisi prooposisi pada 2018. Dengan koalisi permanen barisan nasional ini Malaysia telah menjalani pemerintahan yang baik dengan terciptanya keseimbangan dan berlangsungnya check and balance.
Pola koalisi permanen yang diselenggarakan secara nasional seperti di Malaysia, jika diterapkan di Indonesia akan mengurangi terjadinya politik transaksional dan praktik Korupsi, kolusi, nepotisme di Indonesia. Sebab segala keputusan akan ditetapkan secara bersama-sama dan secara nasional, sehingga transaksi politik pada pilkada misalnya akan hilang. Selain itu keputusan yang diambil pun akan berdasarkan berbagai pemikiran dari tiap-tiap partai yang berkoalisi dengan ideoliogi yang berbeda-beda.
Oleh karena itu pasca pemilu 2024 di Indonesia dapat dijadikan sebagai momentum terciptanya koalisi permenen penyeimbang demokrasi dengan diberikan nama seperti Barisan Rakyat Indonesia. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Jeffrie Geovani penciptaan Barisan Rakyat Indonesia ini perlu dipimpin dan dibina oleh seorang sosok yang dicintai dan dapat menjadi jembatan berbagai partai politik di Indonesia. Kebetulan figur kuat seperti itu saat ini ada pada sosok Joko Widodo, sehingga setelah nantinya muncul inisiasi dari partai politik untuk menciptkanan Barisan Rakyat Indonesia sebagai koalisi nasional yang permanen, Joko Widodo dapat menjadi pemimpin dan penyatu koalisi tersebut.