Banyak teori dan penelitian serta survey yang dilakukan di Negara maju tentang faktor penyebab seseorang bisa sukses atau faktor utama sebuah Negara menjadi adil makmur dan aman tenteram.
Ternyata kunci yang paling menentukan suksesnya seseorang dan kunci yang menjadikan adil makmur dan aman tenteramnya sebuah Negara adalah kejujuran. Bahkan Profesor Komarudin Hidayat secara khusus pernah menelaah tentang Negara Denmark yang makmur, aman tenteram dan paling nyaman ditinggali oleh warganya serta tingkat korupsi paling rendah se dunia.
Padahal Negara Denmark tersebut kecil, tidak banyak sumber daya alam, ditambah masalah iklim yang tidak menguntungkan karena dingin serta lamanya waktu malam lebih panjang dari pada siang. Ternyata faktor utama penyebabnya juga kejujuran. Artinya jika seseorang ingin sukses, atau sebuah Negara ingin maju, aman tenteram dan sejahtera maka bangunlah kejujuran atau budayakanlah kejujuran.
Sebenarnya kejujuran bukan saja sangat penting untuk kepribadian seseorang dan untuk membangun kehidupan bernegara atau bermasyarakat yang baik, tetapi juga sangat penting untuk kehidupan beragama. Karena hampir semuah ibadah dalam agama islam mengandung hikmah atau aspek kejujuran.
Seseorang yang batal sholatnya karena sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya yang tahu hanya dirinya sendiri dan malaikat serta Tuhan. Begitu juga dalam hal ibadah lainnya seperti kewajiban membayar zakat, seseorang menghitung sendiri jumlah zakatnya dan menghitung sendiri pencapaian syarat nisabnya.
Ibadah berpuasa dan membaca dua kalimat syahadat, juga butuh kejujuran kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena jika tidak jujur kepada diri sendiri dan kepada Tuhan maka bisa jadi membaca dua kalimat syahadatnya menjadi tidak sah, misalnya antara hati kecilnya tidak seperti apa yang diucapkannya.
Namun sayangnya kejujuran yang sangat berharga tersebut tidak laku atau seperti tidak berharga di negeri yang beridelogi Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Yang paling laku disini adalah harta dan tahta, karena dengan harta dan tahta banyak orang bisa hidup bermewah-mewah bagai surga dunia.
Makanya film dan acara televisi di negeri ini yang laku atau yang juga banyak penontonnya adalah acara-acara yang banyak mempamerkan kemewahan. Tidak banyak media yang menampilkan acara-acara yang sifatnya mendidik atau mecerdaskan bangsa, walaupun semua tag line hampir semua mencerdaskan bangsa.
Padahal kata pemimpin negeri ini, negeri ini sedang menuju menjadi negeri maju atau sedang dibangun untuk menjadi Negara maju, sejahtera dan aman tenteram. Tetapi faktor yang membuat sebuah Negara menjadi maju, makmur, aman dan sejahtera yaitu kejujuran seperti yang telah terbukti di Negara Denmark dan beberapa Negara lainnya tidak dibangun di negeri ini.
Kejujuran bukan saja tidak dibangun di negeri ini, bahkan cenderung dianak-tirikan, sehingga penulis memberanikan diri menulis artikel dengan judul Barang Berharga yang tidak laku, khususnya tidak laku dijual di negeri ini.
Pertanyaannya, Kenapa kejujuran tidak laku di negeri ini? Bagaimana kejujuran mau laku jika sebagian orang tua memberi makan anaknya atau membayar biaya pendidikan anaknya bukan dari uang hasil kejujuran. Orang tua yang ketika masuk kerja ke sebuah instansi dengan cara menyuap atau setelah bekerja mendapatkan penghasilan dari suatu kegiatan yang tidak jujur, seperti mendapat bonus dari hasil rekayasa prestasi dan sebagainya.
Dari sisi lain sebagian besar orang tua tidak pernah memberikan penghargaan atau apresiasi atas kejujuran anaknya, apresiasi hanya diberikan jika anaknya berprestasi atau mendapat nilai yang baik, tak peduli bagaimana caranya mendapatkan nilai yang baik tersebut.
Pada kebanyakan istansi atau institusi, hampir semua manajemen tidak peduli dengan kejujuran atau malah bisa jadi kejujuran dianggap oleh sebagian bos sebagai virus penyakit yang membahayakan. Kenapa demikian?
Atasan yang senang dengan penghargaan atau reward yang akan membuat namanya terkenal serta karirnya bisa melesat tinggi, biasanya tak peduli bagaimana caranya mendapatkan reward tersebut. Kalau perlu prestasi untuk mendapatkan reward tersebut direkayasa sedemikian rupa, sehingga kegagalan bisa saja disulap menjadi keberhasilan dengan cara menyembunyikan data atau kejadian yang sebenarnya.
Belum lagi atasan yang hobi barang mewah atau kehidupan mewah berlebihan, yang mungkin tidak akan mencukupi jika dibiayai dari gaji atau penghasilan sang atasan. Atau kalaupun penghasilannya cukup tetapi dia tidak mau membiayai kehidupan mewahnya dari penghasilannya, tentu satu-satunya cara adalah mengakali uang perusahaan.
Dan itu semua biasanya dilakukan oleh anak buahnya, karena kolusi dan korupsi tidak bisa dilakukan oleh satu orang saja, tetapi harus beberapa orang yang bekerja sama. Mekanisme akuntansi dan mekanisme control hanya bisa dijebol dengan kerjasama oknum-oknum, bukan satu orang oknum. Kalau sudah seperti ini maka karyawan yang jujur akan dianggap sebagai virus penyakit atau sebagai orang yang tidak loyal atau sebutan-sebutan lainnya yang akan membuat si jujur tersingkir.
Begitu juga dengan kehidupan politik bangsa ini, dengan politik pencitraan dan money politic semuanya berbiaya tinggi yang bahkan tidak sebanding dengan nilai yang akan mereka dapat setelah mereka terpilih. Sehingga di negeri ini mungkin yang terbanyak kepala daerah dan pejabat Negara serta anggota dewan yang tertangkap korupsi, dibandingkan Negara tetangga atau Negara berkembang lainnya.
Nah biaya yang sudah dikeluarkan tersebut tentu harus dikembalikan, bagaimanapun caranya, karena sering juga terjadi biaya tersebut adalah pinjman. Hal ini diperparah karena masyarakatnya juga tidak peduli dengan yang namanya kejujuran, bagi mereka pembagian kaos, sarung atau sembako dan sebagai lebih menarik dan penting dibandingkan nilai-nilai kepribadian calon pemimpin yang akan mereka pilih. Sehingga tidak mengherankan jika ada nara pidana korupsi yang sedang dipenjara masih bisa terpilih kembali, atau anak atau keluarga dekat dari seorang koruptor besar dipilih lagi oleh rakyatnya untuk menjadi pemimpin.
Itu baru tiga contoh nyata dalam kehidupan berbangsa ini yang memperlihatkan tidak lakunya kejujuran, atau tidak diperlukannya kejujuran karena sering dianggap sebagai penyakit atau perintang. Dan penulis yakin, pada sektor atau lapisan sendi kehidupan lain bangsa ini juga seperti itu.
Bagaimana memperbaikinya?
Tentu diperlukan kesadaran bersama rakyat bangsa ini, mulai dari diri sendiri dan hal-hal sederhana untuk selalu jujur dalam bersikap dan bertindak serta mengharagi kejujuran. Dan dari atasnya dibutuhkan pemimpin yang punya kemauan kuat untuk membangun kejujuran, menghargai kejujuran dan memunculkan orang-orang jujur di negeri ini.
Mencangkoknya orang-orang jujur keberbagai institusi sehingga menjadi teladan dan trigger untuk mulai membangun kejujuran di semua elemen bangsa ini. Artinya negeri ini tidak hanyak butuh pemimpin jujur, tetapi butuh pemimpin yang disamping jujur juga bertekad kuat membangun kejujuran dan menghargai kejujuran.