Rabu, Oktober 9, 2024

Banyak Pancasilais, tapi di Mana Pancasila?

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
pancasila11
rumahbelajar.blogspot.co.id

Akhir-akhir ini Pancasila kembali ramai diangkat. Pelbagai pihak merasa risau. Bangsa ini dianggap perlu menyambangi lagi landasan bernegaranya dan memeriksa sejauh apa ia telah menyimpang dari khittahnya.

Tebak apa? Saya sepakat. Saya sepakat dengan pihak-pihak yang biasanya terdiri dari para romantis tersebut karena hal ini seharusnya berarti isu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” kembali diusung menjadi agenda mendesak. Dan pada kenyataannya, tak banyak waktu yang lebih tepat untuk mendesakkannya dibanding saat ini.

Kesenjangan Indonesia berada pada titik yang paling memprihatinkan. Kita bisa menunjuk berbagai fakta yang menampakkan dirinya telanjang belakangan. Namun, agar singkat saya biarkan saja satu fakta ini berbicara: Indeks Gini, yang menghitung kesenjangan pendapatan, tak berhenti naik pesat dalam enam belas tahun terakhir. Sepanjang beberapa tahun belakangan, indeks Gini Indonesia selalu melampaui indeks ini di tahun sebelumnya.

Pada saat kita mendengar gerutu sekaligus ketidakberdayaan menatap harga-harga yang semakin liar, karenanya, fakta ini bisa meyakinkan Anda, para ibu tidak bias. Sebagian yang pendapatannya ikut meningkat pesat bisa menjangkaunya. Tetapi sebagian yang lebih mayoritas, tidak.

Saya sepakat kita memerlukan revitalisasi Pancasila karena semestinya, dengan demikian, “kemanusiaan yang adil dan beradab” didudukkan kembali sebagai prioritas genting bersama. Sebagai catatan, menurut laporan Komnas HAM pada 2015, konflik lahan tak pernah lebih tinggi ketimbang saat ini. Dan dari aduan masyarakat yang ditanganinya, korporasi tak pernah ditindak oleh aparat. Masyarakat menjadi pihak yang paling rentan dalam kemelut semacam.

Pada saat kita mendengar kabar masyarakat, komunitas adat tergusur dari tempat tinggalnya, karenanya, satu hal yang tak dibutuhkan warga adalah cemooh yang sudah dipatenkan kelas menengah sinis yang mengetahui segalanya, bahkan sebelum mereka mencoba mencari tahu. Ia bukan drama yang dibuat-buat.

Saya seharusnya sepakat dengan para Pancasilais, karenanya. Kita seharusnya bisa berjalan bersama—boleh pula ditambah bergandengan tangan karena tak sering kawan satu visi saling menemukan.

Tetapi, dalam kenyataannya, saya tak bisa bersepakat.

Saya, sebaliknya, terganggu. Saya terganggu karena ketika para pembela Pancasila gigih berusaha menyita perhatian publik dengan pernyataan atau kegiatan yang disponsori konglomerasi yang memiliki catatan bermasalah, saya tak melihat perjuangan yang pantas mendapatkan simpati.

Saya hanya melihat perjuangan yang membuat saya mengernyit—apakah teks Pancasila yang saya baca selama ini ternyata pelepah pisang dan pantas saja berbeda dengan yang mereka baca?

Perjuangan mereka biasanya dimulai dengan spesimen retorika yang, kalau kita periksa sejarah, banyak mengawali pembersihan-pembersihan minoritas satu negara. Bangsa ini dalam bahaya, katanya. Kita harus menegaskan kembali kesetiaan kita terhadap bangsa dan siap berperang bila diperlukan—membela Pancasila.

Namun, bila beberapa tahun terakhir kekuatan asing yang tak jelas bentuknya menjadi sasaran sentimen mereka, para pembela Pancasila ini kali ini keterlaluan dalam memilih antagonis khayalinya. Mereka memilih para petani. Mereka membidik perjuangan-perjuangan mengadvokasi hak kelompok marjinal.

Anda masih ingat dengan pernyataan Mayjen Purnawirawan Kivlan Zein tempo hari? Ini adalah satu pucuk gunung esnya. Menurutnya, serikat tani saat ini menjadi gerakan yang berbahaya. Penguatan desa akan berujung pada perlawanan terhadap negara. Argumentasi untuk mengatakannya berbahaya, terka saja: Pancasila. Inilah komunisme gaya baru, ancaman terhadap paham dan keutuhan negara dan, untuk satu hal ini, ia harus dihancurkan.

Mungkin pandangan ini sebagian benar. Mungkin, benar, penggalangan solidaritas petani tengah berlangsung di mana-mana—yang berarti, Kivlan Zein tidak sekadar sedang mereka-reka. Kerja-kerja advokasi serta pengorganisasian warga desa boleh jadi memang sedang marak, dan bila berhasil mereka akan menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Tetapi, apa yang mengawali semua ini pertanyaannya?

Penjelasannya, seharusnya, sudah terlalu jelas. Sudah terlalu banyak masyarakat yang penghidupan serta pencahariannya direnggut dan mereka bahkan tak pernah digubris.

Hal paling baik yang dapat dilakukan orang-orang yang tak bisa membantu mereka secara langsung adalah tak mengganggu perjuangan mereka. Namun, dengan tudingan-tudingannya, Kivlan Zein dan kelompok pembela Pancasilanya melewati batas. Dan lebih keterlaluan lagi, tindakan-tindakan mereka menyiratkan dasar negara ini tak menghendaki warga memperjuangkan haknya.

Apakah warga seharusnya pasrah apabila lahan mereka mendadak divonis bukanlah milik mereka? Apakah mereka harus menjadi anak yang hanya menurut pada saat sumber-sumber penghidupan mereka luluh lantak tepat di depan mata mereka sendiri? Saya tentu bisa salah mengartikan kemauan para pembela Pancasila ini. Tetapi, hal lain apa yang bisa terjadi apabila ketaatan buta yang mereka tuntut benar-benar dituruti?

Tentu saja, sebagian dari para pembela Pancasila ini boleh jadi hanyalah insan-insan bersahaja. Boleh jadi, apa yang mereka inginkan tak lebih dari hidup yang lurus dan berkenan. Namun, keabaian mereka tetap tak termaafkan—dan tak akan pernah termaafkan—apabila Pancasila sampai langgeng menjadi pembenaran atas persekongkolan memeras kehidupan warga tersingkir. Yang artinya, Indonesia menjadi panggung di mana ketidakadilan boleh dipertunjukkan segegar-gegarnya, selantak-lantaknya.

Dan hal itu sebagian sudah terjadi. Penistaan terhadap tuntutan warga untuk haknya sebenarnya sudah meruap-ruap di bawah, dan bukan tidak mungkin para pembela Pancasila ini mempelajarinya dari sana. Di berbagai tempat, warga desa yang menentang klaim-klaim penyerobotan atau usaha-usaha merusak sumber penghidupan mereka lainnya sangat rentan menerima panggilan “komunis.” Dan sekali mereka menyandang satu panggilan fatal ini, mereka menjadi sasaran empuk pembungkaman aparat.

Alasan mereka berjuang tak akan relevan. Tidak—bahkan ketika alasannya adalah apa yang tertera terang di Pancasila itu sendiri, keadilan.

Untunglah, terakhir kali saya memeriksanya, sila kelima kita masih sama dengan ketika ia dicetuskan pertama kali tujuh dasawarsa silam. Ia masih utopia yang sama yang menyentuh kita dan para pendahulu di masa-masa awal Republik. Ini hal sederhana. Mirisnya, ini hal yang patut disyukuri pada hari-hari ini. Pada hari-hari di mana banyak yang mengaku Pancasilais tetapi kita tak melihat Pancasila. Dan banyak yang terpeleset membaca sila kelima “ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Selamat Hari Lahir Pancasila.

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.