Minggu, November 24, 2024

Bang Ben dan Cita-cita Museum Betawi

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
- Advertisement -

Pagi itu, saat saya berada di luar rumah, Enyak saya memanggil dengan keras, “Yud, kemari!!!” Dengan berlari, saya lalu menghampirinya. Enyak saya menunjukkan sebuah berita di TVRI bahwasanya Benyamin Suaeb meninggal karena serangan jantung pada 5 September 1995.

Saya lihat raut wajahnya yang sepuh terlihat sedih atas meninggalnya aktor kawakan Betawi tersebut. Ya, bagi Enyak, Benyamin bukan sekadar aktor dan penyanyi, melainkan juga ingatan yang mengisi ruang pikirannya sehari-hari untuk mengatasi penyakitnya, stroke, setelah sebelumnya diisi dengan berdagang dan mengaji.

Di wilayah pinggiran Jakarta, tepatnya Cakung Barat, terletak kurang lebih 4,1 kilometer dari terminal Pulogadung, Jakarta Timur, saya tinggal di rumah Engkong dan Enyak (Kakek-Nenek) saya dan dirawat oleh Encing (tante) saya. Kehidupan kakek-nenek saya lumayan berkecukupan; rumah tingkat, mobil dan tentu saja televisi bersama dengan video player hvs, yang saya lupa mereknya.

Seminggu tiga kali kami sering menonton video di tengah kehadiran beberapa rental video hvs saat itu. Yang paling sering ditonton film kesukaannya hanya dua; film India yang dibintangi oleh Sridevi saat ia berubah menjadi ular dan film-film yang dibintangi oleh Benyamin Suaeb. Dua jenis film ini disatukan oleh satu hal besar yang membuat Enyak saya suka; nyanyian.

Memori saya otomatis dan  mau tidak mau diisi oleh film-film ini. Khusus film-film Benyamin, sampai sekarang saya masih hapal alur ceritanya, khususnya Tarzan Kota (1974), Buaya Gile (1975), Benyamin Tukang Ngibul (1975), Benyamin Koboi Ngungsi (1975), Benyamin Raja Lenong (1975), Tarzan Pensiunan (1976) Raja Copet (1977) Betty Bencong Slebor (1978).

Kesukaan Enyak saya terhadap figur Benyamin atau Bang Ben memang tak bisa merepresentasikan selera kebanyakan masyarakat Betawi. Setidaknya ini bisa menjadi gambaran kecil betapa peran Bang Ben dalam sejumlah film dengan praktik kebudayaan Betawi yang ditampilkannya memiliki irisan dengan kehidupan sehari-hari kebanyakan orang Betawi.

Ketika itu umumnya warga Betawi tengah berhadapan dengan arus modernitas Jakarta dengan pembangunan yang masif. Sikap itu antara lain seperti adanya kekaguman sekaligus bentuk kegagapan yang kemudian disikapinya dengan nyinyir sekaligus keluguan atas kemiskinan orang-orang Betawi.

Ambiguisitas terhadap modernitas dan sekaligus kondisi kelas ini sebenarnya sedikit banyak ada dari total 98 lagu yang diyanyikan Babe, sebagaimana Si Doel biasa memanggilnya, dalam karirnya. Baik sebelum atau sesudah dia terjun menjadi aktor bersamaan dengan karir musiknya. Lagu Nonton Bioskop yang terkenal, misalnya, menunjukkan hal tersebut.

Malem minggu aye pergi ke bioskop
Bergandengan ame pacar nonton koboi
Beli karcis tau tau keabisan
Jage gengsi kepakse beli catutan

Aduh emak enaknye nonton dua-duaan
Kaye nyonye dan tuan di gedongan
Mau beli minuman kantong kosong glondangan
Malu ame tunangan kebingungan

- Advertisement -

Film abis aye kepakse nganterin
Masuk kampung jalan kaki kegelapan
Sepatu baru, baru aje dibeliin
Dasar sial pulang-pulang injek gituan

Lebih jauh, menarasikan kemiskinan dengan candaan semakin terlihat dalam lagu Kompor Mleduk, khususnya mengenai posisi dari kelas bawah. Saat Jakarta kebanjiran, kelas ini yang pertama kali mengalami penderitaaan; kedinginan, gemetaran dan mengakibatkan got mampet. Kondisi ini diperparah dengan hidup mereka yang berhimpitan di tengah ruang yang sempit antara dapur dan ruang lainnya yang memungkinkan kompor yang berada di dapur bisa mleduk.

Tentu saja inspirasi pengalaman kelas bawah ini tak bisa ditemukan apabila Bang Ben sendiri berasal dari kelas elite Jakarta. Inspirasi film-film yang dibikin dan lagu-lagu yang diciptakan justru berasal dari pengalamannya sendiri yang berasal dari kelas bawah dan berjuang untuk menghidupi diri dan keluarganya serta mengalami proses jatuh bangun, baik sebagai figur seorang suami, ayah, pemain musik sekaligus aktor.

Sejak kecil, berusia dua tahun, Benyamin sudah ditinggalkan oleh ayahnya (Sueb), dirawat oleh sang kakek Haji Rofiun alias Jiung, yang kemudian mewariskan darah berkeseniannya. Sementara ibunya bekerja sebagai penjahit kecil. Bakat seni ini ia kembangkan terus hingga dewasa dan membuatnya sempat membikin grup musik Melody Boys yang kemudian menjadi Melodi Ria pada awal 1960-an.

Namun, menjadi musisi saja tidak cukup saat itu dan membuatnya kemudian bekerja juga di kantoran bagian Peralatan dan Amunisi Angkatan Darat Kodam V Jakarta. Ia juga pernah bekerja di Perusahaan Negara Kriya Yasa, PN Asbes Semen, dan mendapatkan promosi sebagai kepala bagian dan meneruskan pendidikan ke Universitas Sawerigading, Jurusaan Manajemen.

Perusahaan juga memberinya rumah di Gang Bugis, Kemayoran. Namun, perusahaan ini mengalami kebangkrutan pada 1968 yang membuat Bang Ben berjuang keras lagi mencari uang. Kerja keras ini mempertemukannya dengan teman sekolahnya di SMP Taman Madya, pelawak Ateng, yang lalu mengenalkankannya dengan Bing Slamet. Perkenalan ini menjadi titik balik kehidupannya dan menjadi naik kelas (Tobing dan Sihotang, 2018).

Gaya nyablak sekaligus sifat kekampungan yang ditunjukkan dalam film-filmnya memang bisa mengundang sejumlah tawa penonton. Namun, bagi orang Betawi itu merepresentasikan kebiasaannya yang semacam itu dalam bergaul. Dengan kata lain, film-film Benyamin sekaligus musik-musiknya sebenarnya menawarkan semacam kosmopolitan anak Betawi; terbuka, senang bergaul, suka banyol. Di sisi lain, ia tidak perlu malu menghilangkan kekampungannya, bicara nyablak, bergaya sesukanya, tapi tidak kehilangan sisi kejujurannya.

Kondisi ini membuat seniman Putu Wijaya menyamakannya dengan orang Afro-Amerika, golongan yang punya gaya tersendiri dalam berfesyen, bertutur, hingga berjalan tanpa meninggalkan ciri khas gegap-gempita budaya Amerika (Cahyana, 2018).

Kini 24 tahun sudah si Babe meninggalkan kita dan membawa ingatan saya kepada Enyak saya juga. Babeh sudah menjadi legenda dengan menciptakan semacam semesta budaya pop Betawi. Karena itu, namanya juga dijadikan sebagai salah satu nama jalan di wilayah Kemayoran dan mendapatkan penghargaan dari presiden. Namun, di tengah prestasi tersebut, ada satu cita-cita Babe yang belum terlaksana hingga sekarang terkait dengan kebudayaan Betawi yang selama ini ia perkenalkan, yaitu Museum Betawi.

Memang, Gubernur Sutiyoso sudah membangun perkampungan Betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan. Namun, itu tidak cukup representatif untuk menampung gagasan dan materi kebudayaan Betawi. Sebagaimana dikatakannya dalam satu wawancara dengan harian Republika edisi 17 Agustus 1995 sebelum ia meninggal, “Saya ingin ada Betawi Mini, kayak Taman Mini, gitu! Ada rumah Betawi, pohonnye, pertunjukan kesenian, dan makanan khasnye. Kayak  kerak telor, gitu. Saya sudah sering sampein, tapi tetap aje belum ditanggapin. Mungkin nanti, kalau saya sudah enggak ada, baru ditanggapin.

Di tengah cita-cita Babe belum kesampaian ini, pemimpin mana yang mau mewujudkan kerja-kerja kebudayaan yang sangat non-politis ini tapi harus mengalokasikan dana yang besar? Jika mau, sebenarnya Gubernur Anies Baswedan bisa melakukannya ketimbang membangun instalasi seni yang temporer. Seandainya ini dilakukan secara serius, saya tak ragu Gubernur Anies Baswedan akan menutup kepemimpinannya di Jakarta dengan baik dan husnul khotimah.

Bacaan terkait

Apa Kabar Orang Betawi?

Lebaran Betawi: Mengembalikan Tradisi, Menguatkan Identitas

Meretas Perbedaan dengan Kesenian

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.