Jumat, Maret 29, 2024

Bagaimana Pariwisata Dibangun Dari Darah Warganya

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.

Sekitar bulan September 2016, atau sembilan bulan setelah Ekspedisi Indonesia Biru, sebuah perusahaan humas dan konsultan komunikasi yang dikontrak pemerintah, mengundang untuk sebuah diskusi terbatas. Agendanya merumuskan tema besar (branding) pariwisata Indonesia yang akan dijual secara internasional.

Ia menunjukkan daftar undangan lainnya, seperti para pesohor, pebisnis, content creator, hingga akademisi dan konsultan bisnis seperti Rheinald Kasali.

“Kami harap Mas bisa bergabung. Ini bukan untuk pemerintah. Ini untuk bangsa. Pemerintah bisa berganti,” ujarnya meyakinkan.

Namun, karena benturan jadwal, saya tak menghadiri diskusi terbatas itu. Meski sebenarnya telah menyiapkan sebuah tema untuk bahan diskusi, yakni “happiness” (kebahagiaan).

Pariwisata Indonesia harus menjanjikan kebahagiaan. Sederhana saja. Sebab, apalagi yang dicari orang dari plesiran jika bukan kesenangan dan kebahagiaan?

Generasi sebelumnya berpikir menabung untuk membeli rumah dan mobil. Jika ada sisanya, barulah untuk jalan-jalan. Belakangan konsep ini dianggap keliru oleh generasi milenial. Pertama, semakin mahalnya harga tanah dan tak terjangkaunya harga properti membuat usia memiliki rumah sendiri semakin mundur. Jika generasi sebelumnya di usia pertengahan 20-an sudah mulai menyicil rumah, kini mundur di usia 30-an (kecuali Anda mewarisi kekayaan orangtua).

Kedua, jika bepergian menunggu tabungan ekstra setelah memiliki rumah, maka dipastikan usia kita terlalu tua untuk mendaki gunung Rinjani, mengelilingi Danau Toba lewat Tele, atau snorkling dan menyelam di tosca-nya perairan Wakatobi dan Togean. Orang akan terlalu jompo untuk menikmati alam jika menunggu tabungan.

Karena itu, bagi sebagian orang, kebutuhan wisata (selain motif pamer foto di media sosial), kini telah menggeser kebutuhan memiliki rumah sendiri.

Lebih baik kaya pengalaman di saat muda, daripada baru mencarinya di usia renta. Itupun kalau ada umur.

Tapi konsep “kebahagiaan” dalam branding turisme Indonesia yang akan saya sodorkan bukan hanya untuk para turis yang sudah membayar, juga untuk mereka yang hidup di lokasi wisata itu. Dan kebahagiaan itu tak selalu menyangkut indikator-indikator materi atau fisik. Juga tak seorang pun ingin kebahagiaan jangka pendek. Maka, “kebahagiaan” akan menggeret konsep lain seperti keberlanjutan atau kelestarian (sustainability).

Dus, konsep turisme Indonesia harus dibangun di atas fundamental prinsip “kebahagiaan” itu. Bukan melompat berbicara target 20 juta turis asing pada 2019 atau target devisa 280 triliun rupiah.

Iklan pariwisata Filipina memakai konsep “keluarga”. Seorang ibu warga lokal memanggil “Anak” pada seorang turis asing yang mencicipi penganan tradisional. Bandingkan dengan iklan turisme Thailand atau Indonesia yang tanpa “wajah dan sentuhan personal”. Iklan gaya brosur.

Iklan promosi wisata Filipina sejatinya juga berusaha meletakkan modal sosial bagi warganya sendiri. Bahwa jika ingin mengembangkan pariwisata, maka aspek fundamental yakni karakter warga lokalnya sendiri, juga harus dibangun. Inilah evolusi turisme yang terjadi di Bali sejak 1920-an. Bali bukan produk instan yang bisa dicetak dan digandakan menjadi 10 kali lipat seperti konsep pemerintah RI saat ini.

Jika filosofi “kebahagiaan” ini dipakai, maka tak akan ada peristiwa penembakan warga bernama Poro Duka di Pulau Sumba yang menolak pembangunan resort wisata, April 2018. Poro Duka tewas ditembak di dada oleh polisi yang mengawal proses pengukuran tanah untuk rencana pembangunan resort. Beberapa warga lain tertembak di kaki.

Jika konsep pembangunan pariwisata Indonesia menjual kebahagiaan, kasus pemerkosaan turis di Labuan Bajo (Flores) atau di Mentawai akan sama pentingnya dengan penggusuran paksa para petani Temon di Kulonprogo yang dikorbankan untuk pembangunan bandara baru dalam rangka menjual Borobudur dan Yogya sebagai salah satu 10 tujuan wisata prioritas nasional.

Dengan tagline “happiness”, jika turis yang datang ke Bali sudah bahagia dengan menikmati budaya dan alam, maka reklamasi 700 Ha Teluk Benoa yang ingin membangun sirkuit Formula 1 di selatan Bali atau menyaingi Dubai dan Singapura, menjadi tidak relevan lagi. Maka, 25 juta meter kubik pasir laut yang akan dirampas dari para nelayan di Lombok Timur untuk bahan urukan, menjadi tidak perlu.

Begitu juga konsep “kebahagiaan” akan membantu kita memahami psikologi para peselancar Australia dan Amerika memandang Kepulauan Mentawai yang dihargai karena ombaknya, tanpa perlu latah bersaing dengan Singapura dengan membangun “Sea World” atau lapangan golf seperti dalam konsep Mentawai Bay Resort.

Konsep dalam kerangka Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dicanangkan Jokowi ini pastinya akan mengincar tanah dan kebun-kebun kelapa milik masyarakat. Desain yang akan merampas kebahagiaan warga di lokasi wisata, demi kebahagiaan mereka yang punya uang.

Beberapa waktu sebelumnya di CSIS, saya pernah diundang bersama pembicara lain seperti pendiri Tiket.com, untuk membicarakan turisme di hadapan para diplomat Departemen Luar Negeri yang sedang dibekali instrumen marketing untuk menjual pariwisata Indonesia.

Saat itu kami mendiskusikan contoh kasus Labuan Bajo, yang sudah 20 tahun dijual dan mendatangkan banyak kekayaan bagi para investor dan pelaku industri, tetapi Kabupaten Manggarai Barat sendiri tak mentas dari status “Daerah Tertinggal”.

Ini terjadi karena desain dan konsep pembangunan wisatanya, tidak melekat bersama konsep integral pembangunan daerah dan masyarakat Labuan Bajo. Akses air bersih lancar hingga ke kamar-kamar hotel dan kolam renang, tapi tidak ke rumah-rumah warga.

Runway bandaranya mulus, tapi tidak di jalan sekitar pelabuhan penyeberangan yang justru menjadi hajat hidup lebih banyak orang.

Dalam kasus kawasan wisata lain seperti Mandeh di Kabupaten Pesisir Selatan, jarak antara industri wisata dan kehidupan sehari-hari masyarakat mewujud dalam bentuk batas-batas eksklusif seperti di salah satu sisi pulau Cubadak, di mana sebuah resort melarang akses masyarakat umum.

Tahun 2014 silam, kami memfilmkan seorang penerima penghargaan Kalpataru bernama Darpius, yang harus meminta izin dan akhirnya diusir dari sebuah resort wisata di kampung halamannya sendiri. Padahal ia ikut menanam terumbu karang di sekitar perairan Mandeh, sehingga resort itu ikut menikmati biodiversity yang mengundang para tamu-tamu asingnya.

Orang seperti Darpius seharusnya mendapatkan saham atas jasa lingkungannya, bukannya malah diperlakukan seperti penyusup.

Tapi pulau-pulau eksklusif yang tertutup–kecuali bagi tamu yang membayar–kadung dianggap lazim di NKRI ini. Baru jika ada pejabat yang diusir (seperti kasus rombongan DPRD Sumbar di Mentawai), persoalannya mencuat ke permukaan. Itu pun sebatas karena ada pejabat yang diusir bule, bukan perkara privatisasi ruang-ruang publik.

Padahal, menurut UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah sempadan pantai (100 meter dari titik pasang tertinggi), tak boleh menjadi area privat. Dia adalah zona publik untuk berbagai kepentingan seperti mitigasi bencana, akses masyarakat, maupun konservasi lingkungan.

Di tahun yang sama dengan “Onde Mandeh” kami juga memfilmkan bagaimana dampak pariwisata bagi warga Yogya yang sumur-sumur tradisionalnya kering akibat bersaing dengan mesin-mesin penyedot air tanah milik hotel dan apartemen.

Hanya 200 meter di belakang Hotel 101 Mangkubumi yang kolam renangnya penuh terisi, seorang ibu harus berjalan ke toilet umum di pasar dan membayar dua ribu rupiah karena sumurnya kering.

Jika konsep turisme yang sarat kekerasan seperti ini terus dikembangkan di NKRI, maka akan muncul sikap anti-turisme yang sudah menjangkiti Spanyol.

Gerakan anti-turisme di Spanyol dipicu perasaan terasing warga lokal dan hancurnya lingkungan akibat wisata massal untuk mengecar pertumbuhan-pertumbuhan material dan kepentingan investasi industri wisata. Dimulai di Venice dan Barcelona, gerakan ini mulai menjalar hampir di seluruh Eropa.

Jika ini terjadi di Indonesia, pada hari itu, maka satu-satunya tempat di mana kita merasa nyaman hanyalah di kamar dan di sekitar kolam renang atau lobi hotel. Di luar itu, lupakan cerita romantis tentang penduduk lokal yang beramah tamah menyapa para wisatawan.

Satu-satunya yang akan menyapa dan mendekati Anda adalah para penjual suvenir.

Memulihkan kembali dampak sosial dan lingkungan seperti ini akan jauh lebih panjang dari umur pemerintahan Jokowi atau siapa pun yang hanya melihat urusan pariwisata dari layar-layar presentasi statistik atau panjang-pendeknya runway bandara.

Bacaan terkait

Benarkah Presiden Jokowi Pro-Lingkungan Danau Toba?

Pak Gubernur Edy, Seberapa Penting Halalisasi Danau Toba?

Babiku Sayang, Babiku Malang di Danau Toba

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.