Klaim keselamatan eksklusif merupakan respons teologis terhadap fenomena sosial, yakni keragaman agama. Bagaimana menyikapi agama-agama yang berbeda dari yang dianut seseorang? Tidak aneh jika diskursus klaim kebenaran (truth claim) didominasi oleh para teolog. Tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, misalnya, diperkenalkan dan diperdebatkan oleh kaum teolog.
Refleksi kritis teolog muda Rinto Pangaribuan yang “mempersoalkan klaim keselamatan eksklusif” dalam tradisi Kristen juga menggambarkan tren tersebut. Sebagai respons terhadap keragaman agama yang tak terelakkan, para teolog Kristen mengembangkan apa yang disebut “teologi agama-agama” (theology of religions) dan bahkan sebagian menggalakkan dialog antar-agama (inter-religious dialogue) sebagai upaya menjalin hubungan dengan komunitas agama-agama yang berbeda.
Tulisan ini mengikuti jejak Rinto Pangaribuan meruntuhkan klaim-klaim teologis bahwa hanya ada satu agama yang benar. Namun, berbeda dari Rinto, saya bermaksud mengajukan argumen sosiologis untuk menunjukkan bahwa argumen eksklusivisme agama tak lagi bisa dipertahankan.
Defisiensi Eksklusivisme
Defisiensi atau kesalahan paling menonjol dari klaim kebenaran dalam agama ialah kenyataan bahwa, bagi sebagian besar umat manusia, agama bukan pilihan tapi bawaan lahir. Seseorang menjadi Muslim atau Kristen atau Hindu dan seterusnya karena dilahirkan dari keluarga Muslim atau Kristen atau Hindu.
Adalah fakta sosiologis bahwa hanya sedikit sekali orang yang memilih agamanya melalui konversi. Sebagian besar mewarisinya dari orang tua. Bagaimana mungkin seseorang dituntut untuk meyakini kebenaran absolut agama yang sebenarnya tidak dipilihnya? Betapapun seorang mengafirmasi kebenaran yang telah terdoktrinasi, keyakinan itu tetaplah bukan pilihannya sendiri. Itu agama warisan.
Filosof agama John Hick menggunakan argumen ini. Dalam tulisannya The Next Step beyond Dialogue, Hick mengisahkan pertemuannya dengan seorang anak berusia 12 tahun di Kairo, Mesir, yang dilahirkan dari keluarga Kristen. “Kamu tentu tahu,” kata anak itu, “seandainya saya dilahirkan oleh tetangga sebelah, pasti saya ini Muslim.” Berangkat dari cerita ini penggagas teologi pluralisme agama itu berargumen bahwa klaim superioritas agama itu tak lebih dari mitos belaka.
Saya juga punya pengalaman serupa ketika berbincang dengan orang-orang yang cukup terpelajar di kampung. Mereka biasanya menjejali saya dengan pertanyaan kenapa saya belajar agama-agama lain. Ketika saya jelaskan belajar agama lain tidak mengganggu iman saya, mereka spontan mengatakan, “Tapi, kan, sulit untuk tidak menganggap agamamu sebagai yang terbaik.”
Reaksi spontan seperti itu umumnya muncul dari orang-orang yang tidak cukup mengenal agama lain. Kalaupun mengenal, umumnya hanya sepintas dan tidak memadai. Berbagai survei tentang sikap intoleransi terhadap agama lain menguatkan hipotesis ini: mereka yang intoleran umumnya relatif tidak mengenal atau berinteraksi dengan komunitas agama lain.
Lebih parah lagi, klaim kebenaran eksklusif juga bersumber dari pengetahuan yang tidak memadai tentang tradisi agamanya sendiri, terutama keragaman ide dan praktik keagamaan. Jika Islam atau Kristen merupakan satu-satunya jalan kebenaran, pertanyaannya ialah: Islam atau Kristen yang mana? Diversifikasi dalam satu tradisi keagamaan merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Bahkan, ada kalanya perbedaan atau konflik internal agama lebih tajam daripada antar-agama.
Jadi, siapa atau mazhab apa yang berhak mengklaim kebenaran eksklusif dalam satu agama? Tak jarang saya bertemu orang Katolik yang mengaku lebih suka Islam ketimbang Protestan, atau sebaliknya. Demikian juga konflik internal dalam komunitas Muslim. Islam dan Kristen melewati sejarah panjang konflik internal yang berdarah-darah. Diversifikasi internal ini jelas memperlihatkan betapa problematiknya argumen memonopoli kebenaran itu.
Diversifikasi Intra dan Antar-Agama
Diversifikasi internal lebih jelas lagi dalam agama Hindu. Kata “Hindu” sebenarnya sebuah sebutan yang meliputi berbagai praktik keagamaan yang berbeda – berbeda tuhan, berbeda cara ibadah, berbeda kelompok keagamaan. Pluralitas inilah yang menyebabkan agama Hindu sulit diklasifikasikan.
Menariknya, agama Hindu tidak menjadikan satu jalan sebagai kebenaran absolut. Bayangkan tentang situasi ini: Dalam sebuah keluarga, sang suami menyembah Shiva, sementara istrinya menyembah Ramakrisna. Anak perempuan mereka menyembah Krisna dan adik laki-lakinya menyembah Vishnu.
Pemandangan seperti ini mudah ditemukan di India. Kalau Anda masuk ke dalam Pura, tempat ibadah umat Hindu, Anda akan jumpai patung Dewa dan Dewi yang berbeda. Walaupun sebuah Pura didedikasikan pada Tuhan tertentu, tapi juga terdapat patung tuhan-tuhan lain. Misalnya, sebuah Pura besar di Delhi menampilkan ikon Krishna dan Radha di bagian tengah, di bagian kanan ada Dewa Shiva dan di kiri Dewi Durga. Ketiganya merupakan sesembahan banyak umat Hindu.
Di Pura itu para pemuja boleh mendekati salah satu dari mereka. Umat Hindu boleh memuja ketiganya, tapi dalam literatur Hindu terdapat banyak cerita tentang pemuja yang hanya menyembah satu Tuhan, bahkan cerita yang menggambarkan tuhan-tuhan yang menolak sesajian dari pemuja yang mengabdikan ke Tuhan lain. Kendati berbeda Tuhan dan cara beribah, mereka semua berada di bawah tenda besar yang bernama agama Hindu.
Lagi-lagi, bagaimana membangun argumen “klaim kebenaran” eksklusif dari diversifikasi praktik keagamaan tersebut?
Ada konsekwensi etis yang menyebabkan klaim kebenaran eksklusif sepenuhnya tidak bisa diterima. Yakni, jika satu pemeluk agama merasa agamanya paling benar, mestinya pemeluk agama lain juga berhak berpandangan serupa. Maka, benturan klaim-klaim kebenaran menjadi tak terelakkan. Dan di situlah letak problemnya: Dalam kehidupan dunia yang plural, adalah mustahil bagi suatu agama untuk berpegang pada klaim tersebut tanpa menimbulkan konflik dan mengancam keharmonisan.
Dampak lanjutannya ialah terjadinya saling serang (mutual aggression) dan kompetisi yang tidak sehat. Bila agama memicu kebencian dan permusuhan, maka ia tak lagi berfungsi sebagai sumber perdamaian, solidaritas dan keharmonisan. Lalu, nilai-nilai baik apa yang diajarkan agama?
Singkatnya, klaim kebenaran eksklusif “saya benar dan kamu salah” semakin tidak punya tempat dalam masyarakat yang plural.
Kenyataannya, sebagian masyarakat mencoba menegosiasikan keragaman agama dengan cara berbeda. Di Asia Timur seperti Jepang, misalnya, banyak orang merasa menjadi bagian dari lebih dari satu agama (multiple religious belonging). Setidaknya, Shinto dan Buddha. Mereka mempraktikkan ajaran Shinto terkait prosesi kelahiran dan fertilitas, dan mengikuti ajaran Buddha dalam hal kematian dan kehidupan kelak. Mereka merayakan Tahun Baru dalam konteks Shinto, tapi memperingati kematian dengan cara Buddha.
Situasi yang sama dapat dijumpai dalam masyarakat tradisional Cina, terutama terkait tradisi Buddha, Konfusianisme dan Daoisme. Agama Buddha sangat diminati di kalangan perempuan yang tidak banyak terlibat dalam ranah politik. Konfusianisme mengatur seluk-beluk ketata-negaraan, sementara Daoisme menginspirasikan kesenian, puisi dan kontemplasi. Sebagaimana di Jepang, orang-orang Cina berpartisipasi dalam lebih dari satu agama selama hidup mereka.
Perubahan mulai terjadi ketika Kristen masuk ke Cina. Kategori diri sebagai “umat pilihan” dan yang lain sebagai “pendosa” mulai diperkenalkan. Perlu segera ditambahkan, sikap Kristen sekarang pun mulai bergeser ke arah ekuminisme seperti diperlihatkan oleh Konsili Vatikan II (Katolik) dan Konsili Gereja-gereja Dunia (Prostestan). Artinya, klaim keselamatan eksklusif mulai ditinggalkan.
Demikianlah keragaman intra dan antar-agama menjadi bukti bahwa pengakuan atas kebenaran absolut memang tak punya masa depan. Mari kita segera kuburkan klaim itu secara damai.***