Minggu, November 24, 2024

Apa yang Diperkuat oleh Obat Kuat? Patriarki!

Ferena Debineva
Ferena Debineva
Pendiri dan Ketua Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC).
- Advertisement -

obat-kuatPerkosaan, katanya, disebabkan oleh syahwat yang tak dikekang. Maka, untuk mencegahnya, sumbernya perlu diputus. Entah pelakunya dikebiri. Entah wanita tak boleh tampil terlalu bahenol atau keluyuran malam-malam.

Betulkah? Agaknya, sih, tidak selalu begitu.

Kultur punya peran dan letak kultur, yang jelas, bukan di selangkangan. Kultur kita membanggakan lelaki sebagai pelaku aktif kehidupan. Berbeda dengan perempuan yang dalam citra ideal dituntut santun dan nrimo, lelaki dituntut berbuat, mengambil keputusan, jadi agen perubahan—dan boleh juga ditambah, menyulut revolusi serta menyelamatkan dunia.

Karenanya, menjadi kuat bukanlah pilihan, melainkan kewajiban lelaki. Dan hal ini dianggap akan terdemonstrasi secara gamblang apabila ia sanggup menguasai orang lain. Laki-laki akan lebih memilih dilekatkan dengan “gagah”, “kuat”, “tangguh”, dibanding “lemah lembut”, “perhatian”, dan “penuh kasih”. Padahal, dua nilai yang dikira berseberangan ini seharusnya sama-sama penting.

Nah, pertunjukan kekuatan dan kekuasaan laki-laki, betapapun sudah dibangun laiknya menara tinggi menjulang, akan goyah seketika dihina dengan cercaan semacam “lemah syahwat”, “ejakulasi dini”, dan “disfungsi ereksi”. Pernahkah kita berpikir mengapa toko obat kuat menjamur, di setiap tikungan jalan, lapak jual beli online, grup Whatsapp, laman Facebook, atau dinding-dinding kantin dan kantor?

Jawabannya sederhana. Sesederhana teori ekonomi yang paling pertama kita pelajari di sekolah: kebutuhannya ada dan kebutuhannya memang setinggi itu.

Mulai dari viagra, chialis, tisu magic, hajar jahanam sampai ke ludah lebah, penis harimau, tanduk rusa, krim kuda jantan hitam, semua disediakan untuk memenuhi kebutuhan agar tak disebut “loyo”. Mungkin selanjutnya, pasar akan menyediakan pula air mata tujuh putri duyung di Kepulauan Bermuda.

Dan pernahkah Anda berpikir mengapa tidak ada Unicorn, kuda cantik bertanduk satu yang sering menghiasi cerita rakyat di sana-sini? Mungkin ia punah tanpa sisa karena diburu. Tanduknya dianggap obat kuat.

Pasar obat kuat, intinya, tidak pernah senyap. Apa yang dijajakan laris bak kacang goreng. Ia bahkan lazim menjadi hadiah spesial perkawinan bagi pasangan muda. Dan kalau mau efektif mengurangi jumlah perokok, mungkin pemerintah perlu menggiatkan kampanye rokok menyebabkan impotensi. Sejumlah laki-laki jelas-jelas menolak merokok menthol dengan alasan takut impotensi. Impotensi, bagi mereka, lebih menakutkan dibanding kanker dan kematian itu sendiri.

Tetapi bila Anda mau lebih terhibur, saya menyarankan membaca testimoni-testimoni obat kuat. Laki-laki pengonsumsinya mempertontonkan kuasa dan penaklukannya dengan bahasa yang menarik. “Istriku takluk dan menyerah”. “Cewekku kewalahan”. “Istri saya minta ampun”. “Mantap”. “5-0”.

- Advertisement -

Komentar tersebut tidak lain dan tidak bukan menggambarkan keinginan laki-laki dalam berhubungan intim dan berelasi. Hubungan intim diandaikan sebagai perburuan: agresif, penuh aksi, harga diri, dan mampu “mengalahkan” lawan main. Pada akhirnya, relasi bukan mengenai kasih sayang, perhatian, komunikasi, kompromi, dan kedekatan. Perkaranya hanya tiga: ereksi, durasi, ejakulasi.

Hubungan seksual pun melulu menjadi tontonan sirkus akrobatik, meledak-ledak, dan mengamini imajinasi laki-laki untuk menjadi ganas, buas, dan menjadi pemilik utuh atas pasangannya yang sebelumnya lebih tahan lama dibanding dirinya.

Dan saya nampaknya tidak perlu bicara tentang risiko kesehatan dari obat-obatan kuat ini, karena gagal ginjal dan gagal jantung lebih ringan dibandingkan gagal ereksi. Tak peduli betapa banyak bahaya yang dipaparkan atau fakta bahwa ia tak lebih dari sekadar plasebo. Obat kuat akan terus ada, tumbuh subur, laris, dan dipromosikan dengan gratis oleh kultur patriarkis.

Laki-laki membelinya bukan hanya dengan uang sejumlah sekian. Mereka menggadaikan pemecahan masalah hubungannya, kebutuhan afeksinya, demi kepuasan janggal tahan lima jam non-stop.

Esok-esok, karenanya, kita bisa menyalahkan obat kuat untuk ketidakmampuan laki-laki dalam memberikan kasih sayang. Ia menyibukkan mereka dengan persepsi, wanita harus dikalahkan, ditundukkan. Bukan disayangi.

Ferena Debineva
Ferena Debineva
Pendiri dan Ketua Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.