Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi cukup banyak tindakan terorisme. Tanpa perlu lagi kita melihat statistik terorisme, kita sudah mengetahuinya, dan tampaknya orang-orang belum dapat belajar banyak. Belakangan saya dirasa tidak cukup sensitif terhadap isu terorisme atau memang bagi saya, lebih baik tak menunjukannya dengan tagar-tagar dengan pengertian terlalu sederhana.
Banyak dari kita lebih baik menghabiskan dengan membaca berita-berita terkait terorisme dari media massa. Atau bahkan menggunakan media sosial untuk menggunakan foto dengan kutipan anti-kekerasan hingga menggunakan tagar-tagar terorisme tidak memiliki agama. Kita terlalu banyak mengonsumsi kata yang sebenarnya tidak kita ketahui setiap harinya, seperti arti “terorisme”. Banyak dari orang-orang mengartikannya secara samar dan tidak jelas.
Mari kita lihat beberapa kasus terorisme belakangan ini, di Indonesia saja: Bom Bali 2005, Bom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton 2009 di Jakarta, Bom Thamrin awal tahun 2016 di Jakarta, dan yang terakhir bom bunuh diri di halaman Markas Kepolisian Reserse Kota Surakarta. Dan kejadian bom bunuh terakhir sangat disayangkan oleh banyak orang, ironisnya, terjadi sehari sebelum perayaan Idul Fitri.
Temukan berbagai macam pendapat netizen di media sosial dengan tagar #KamiTidakTakut, #PrayforSolo atau #TerrorismHasNoReligion. Atau jika kita melihat statistik terorisme yang terjadi dari tahun 90-an hingga 2015 meningkat secara drastis.
Terorisme memiliki arti yang merujuk kepada sesuatu negatif di banyak negara, khususnya tindakan teror berdasarkan ideologi agama secara fundamental dan politis inheren. Yang tak disadari adalah terorisme bukan hanya sekadar tindakan kekerasan, menyebarkan teror untuk menciptakan rasa takut kepada publik tetapi mengenai kekuasaan. Berbagai organisasi-organisasi politik telah mempraktikan terorisme, tak hanya terkait ideologi agama, dipraktikkan oleh sayap kiri dan sayap kanan organisasi politik, kelompok nasionalis, revolusioner, dan bahkan negara.
Jika merunut sejarah terorisme, seperti dari pengertiannya, kita akan menemukan bahwa masyarakat modern sekarang terlalu sederhana menyimpulkan apa itu terorisme. Terorisme tidak memiliki agama? Mari kita lihat bersama-sama.
Sejarah awal terorisme dilihat dari pengertiannya yang berasal dari bahasa Prancis yang merujuk secara spesifik terhadap terorisme negara yang dipraktikkan oleh Pemerintah Prancis dari tahun 1793-1794 yang dikenal dengan Reign of Terror. Hal ini yang disebut juga oleh Noam Chomsky mengenari terorisme yang dilakukan oleh negara.
Jika melihat pengertian terorisme dari Kamus Inggris Oxford, kita akan menemukan yang diinterpretasikan secara literal dan historis:
Terorisme: Sebuah sistem teror 1. Intimidasi oleh pemerintah secara langsung yang dilakukan oleh partai-partai berkuasa di Prancis selama Revolusi 1789-1794; sebuah sistem “Teror”.
2. Gen. Sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk menyerang dengan teror kepada yang melawan; bekerja dengan metode intimidasi; fakta meneror atau kondisi diteror.
Namun jika kita melihat pengertian teroris dalam Kamus Inggris Oxford, mungkin kita akan menemukannya lebih memuaskan dan relevan (baik secara arti sebenarnya maupun historis):
1. Sebagai pengertian politis: a. Diaplikasikan kepada Jacobins dan agen-agennya dan partisipan selama Revolusi Prancis. b. Siapa pun yang menunjukkan pandangannya dengan sistem intimidasi koersif; kelompok revolusi ekstrim di Rusia.
Pada November 2004, Kofi Annan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeskripsikan terorisme sebagai tindakan yang menyebabkan kematian atau merugikan anggota sipil dengan maksud mengintimidasi masyarakat atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional. Istilah-istilah terorisme atau teroris sering digunakan sebagai label politik, untuk menjustifikasikan tindakan kekerasan.
Teroris sendiri tidak ingin mengartikan dirinya sebagai teroris tetapi memilih untuk dikatakan separatis, pejuang kebebasan, liberator, revolusioner, militan, paramiliter, pemberontak, patriot, dan istilah-istilah serupa dan bahasa atau budaya lain. Misal saja dalam bahasa Arab kita menemukan, Jihadi atau Mujahidin.
Istilah ini sering digunakan secara peyoratif (bersifat menghina atau merendahkan). Apakah masyarakat kita cukup menyadari hal tersebut? Bentuk tindakan teroris apa pun, seperti membunuh non-kombatan, dapat dibenarkan sebagai kejahatan yang lebih rendah dalam situasi tertentu. Seperti filsuf David Rodin atau Michael Walzer yang mengartikan terorisme yang dibenarkan secara moral dalam situasi tertentu, seperti ketika suatu bangsa atau masyarakat menghadapi ancaman yang membahayakan.
Jika memperhatikan berbagai pergerakan militan yang melakukan tindakan terorisme dengan membawa ideologi agama di wilayah Timur Tengah, apakah kita mengetahui apa yang telah mereka alami dan masyarakatnya? Apakah untuk menyatakan damai (seperti terhadap Amerika Serikat) terhadap dunia dan tidak mengangkat senjata, sementara tempat tinggal mereka dikeruk dan dihancurkan, cukup relevan bagi mereka?
Jika Anda masih belum memahami apa yang saya maksud, mari bersama-sama kita mengingat kembali strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepimpinan Presiden Ronal Reagan pada tahun-tahun terakhir Perang Dingin. Tradisi presiden Amerika Serikat adalah mengeluarkan doktrin untuk kebijakan luar negerinya sendiri. Doktrin presiden pasca-Perang Dunia II dimulai oleh Presiden Truman sebagai strategi Perang Dingin. Doktrin Truman dilanjutkan dengan Doktrin Eisenhower, Doktrin Kennedy, Doktrin Nixon, dan Doktrin Carter.
Reagan dan Pemerintahan Amerika menyebut mujahidin Afghanistan sebagai “pejuang kebebasan” karena perlawanan mereka terhadap Soviet. Dua puluh tahun kemudian, ketika generasi baru mujahidin Afghanistan berlawanan memerangi, Bush menyebutnya sebagai aksi terorisme.
Mari kita lihat lagi dari sejarah Indonesia. Pada zaman penjajahan kolonialisme, pemuda-pemuda di berbagai daerah di Indonesia melakukan perlawanan, tetapi apakah Anda akan menyebut mereka sebagai teroris yang melakukan tindakan terorisme? Ada begitu banyak contoh-contoh perlawanan pemuda-pemuda di seluruh daerah di Indonesia melawan pemerintahan.
Salah satunya si Haji Merah atau Haji Misbach. Haji Misbach disebut sebagai Haji Merah karena pemahamannya terhadap komunis, tetapi jarang terdengar di pergerakan Islam karena dalam Islam dan komunisme kerap menjadi bahan perdebatan. Perlawanan Haji Misbach dibarengi dengan pergerakannya di pergerakan-pergerakan Islam.
Haji Misbach membuat kartun di Islam Bergerak pada tahun 1919 yang isinya menohok pemerintah Hindia Belanda (yang mana pada saat itu juga tidak hanya Residen Surakarta digugat tetapi Paku Buwono X ikut menindas). Haji Misbach melakukan berbagai macam aksi “teror” di Jawa seperti pembakaran penggulingan kereta api, dan bahkan pengeboman, hingga ia akhirnya diasingkan di Boven Digul.
Bruce Hoffman dalam bukunya Inside Terrorism mengatakan, pengertian terorisme telah menyesatkan karena terorisme adalah istilah peyoratif, kata yang memiliki konotasi negatif yang secara general diaplikasikan terhadap musuh dan lawan seseorang, atau kepada mereka yang tidak setuju dan mengabaikan.
Untuk itu kenapa saya merasa tak cukup tergerak untuk melakukan beberapa “solidaritas daring” karena dirasa tak cukup relevan. Saya tak bersikap dingin terhadap yang melakukannya, tetapi itu dapat menyebabkan misinterpretasi secara peyoratif. Sangat disayangkan apabila nantinya anak-cucu saya dapat mengartikan bahwa tindakan-tindakan teror melawan teror negara sendiri diartikan secara menyimpang.
Apakah kita pernah memikirkan untuk lebih mengolah kata yang kita dapatkan di internet atau media massa? Apakah tagar #ReligionHasNoReligion sudahlah mengartikan secara literal apa itu terorisme atau teroris? Mungkin kita perlu mempertanyakan kembali bagaimana terorisme diartikan secara simplistik tanpa melihat konteksnya.
Jadi, apakah Anda sudah mengisi petisi online terkait terorisme?