Dan apakah senja tak jadi turun? Sehingga Liverpool, ia yang telah sekian lama menjalani puasanya, yang melintasi milenia dalam dahaga, masih terlarang menyentuh piala?
Atau, jangan-jangan, ini memang bukan sejenis puasa, melainkan sebuah laku menyiksa diri seorang yogi atas dosa di kehidupan sebelumnya entah yang mana?
Atau, ini adalah ujian kesabaran berikutnya: bahwa piala yang didamba itu, meski belum juga bisa dijangkau, sudah semakin dekat saja? Dan, untuk itu, hanya perlu sekali lagi mengucapkan mantra pengharapan yang sudah semakin usang: masih ada musim depan?
Entahlah.
Yang jelas, musim ini, Liverpool lebih dari sekadar berhak untuk sebuah gelar—bahkan mungkin dua. Ini adalah Liverpool terbaik yang pernah kita tonton, setidaknya sejak Liga Inggris dalam format baru diperkenalkan. Tim ini jelas-jelas jauh lebih baik dari timnya Brendan Rogers yang hampir juara dan “terpeleset” itu. Collymore-Fowler hebat, Owen-Gerrard memukau, Torres-Kuyt menakutkan, Suarez (yang sendirian) tak tertahankan, tapi Salah-Firmino-Mane adalah yang paling mengerikan sekaligus yang paling menyenangkan untuk dilihat. Orang bisa saja bicara tentang Salah yang menurun, yang tak konsisten, tapi ia bahkan masih sanggup membukukan 22 gol dan memimpin daftar pencetak gol Liga Inggris; sementara Mane menikmati musim terbaiknya.
Gerrard tak akan pernah tergantikan aura dan geloranya di lapangan tengah Liverpool—umpan-umpan diagonal mematikan itu pasti akan sulit terulang lagi. Tapi tim ini sekarang bisa mengandalkan banyak pemain: Gini Wijdnaldum, Naby Keita, Fabinho, bahkan belakangan Henderson. Carra dan Hyppia adalah bek-bek legendaris yang masuk dalam daftar seratus pemain yang mengguncang The Kop, tapi baru pada diri Van Dijk rasa-rasanya para pendukung Liverpool benar-benar bisa menitipkan rasa aman. Itu kenapa ia jadi pemain terbaik musim ini tanpa perdebatan. Dan akan sangat mengherankan jika Van Dijk tidak masuk daftar dalam waktu dekat.
Musim lalu Liverpool memang sangar, tapi jelas karena Van Dijk musim ini mereka seimbang dan jauh lebih matang.
Tidak saja dalam penampilan, tapi juga secara statistika. Sampai di jelang ujung musim ini, mereka hanya kalah sekali; bandingkan dengan pesaing mereka Manchester City, yang kalah empat kali. Jika mereka gagal (lagi) mendapatkan gelar, mereka akan jadi runner-up liga dengan perolehan angka tertinggi sejak poin tiga diperkenalkan di sepakbola.
Bahkan, di musim ini, mereka punya semacam mental juara. Tampil grogi di awal tahun ini, sehingga mereka terkejar oleh City yang sebelumnya tertinggal tujuh poin, mereka kemudian memenangkan pertandingan-pertandingan yang memang harus dimenangkan. Mereka membalikkan keadaan saat tertinggal, atau mencetak gol-gol jelek yang menentukan. Gol telat Divock Origi ke gawang Newcastle akhir pekan lalu adalah gol tipikal di banyak pertandingan Liverpool musim ini. Ingat gol penalti Milner melawan Fulham, gol bunuh diri Alderweirld ke gawang Spurs, dan dua gol dari Salah dan Hendo di kandang Soton? Itu adalah gol-gol yang tak dipunyai Liverpool di tiga musim pertama Klopp di Anfield. Dan itu menjelaskan mengapa mereka selalu tercecer di klasemen.
Dan itu mengapa Liverpool adalah salah satu dari dua tim terberat yang pernah dihadapi Pep Guardiola. “Yang pertama adalah Barcelona-nya Luis Enrique,” kata Pep, tentang tim yang membabat Bayern-nya di semifinal Liga Champions 2015, dan kemudian meraih trebel di tahun itu. “Yang kedua adalah Liverpool yang ini,” lanjutnya, sembari menambahkan bahwa itulah kenapa timnya mesti bertarung melawan mereka hingga akhir.
Liverpool jelas sudah menjadi masalah bagi City-nya Pep setidaknya sejak musim lalu. Meski Liverpool tercecer di Liga, City dibikin babak-belur di perempat final Liga Champions 2018. Musim ini City memberikan satu-satunya kekalahan sejauh ini untuk Liverpool, dan mereka menyalip dari ketinggalan tujuh poin menjadi unggul satu poin. Tapi, Liverpool tak pernah lagi kehilangan poin sejak mereka bermain imbang melawan Everton pada awal Maret.
Ujungnya, inilah yang disebut-sebut Pep dalam wawancaranya menjelang pertandingan melawan Leicester City: persaingan terketat yang pernah dihadapinya sebagai pelatih. Bukan hanya penduduk kota Liverpool dan Manchester yang dibuat dag dig dug, seluruh mata penggemar sepakbola sedunia pun dibikin tak bisa berkedip dari persaingan paling sengit di sepakbola Eropa sejak MU dan City melakukannya pada tujuh musim lalu.
Lalu, apakah mental juara akan bisa ditukar dengan gelar?
Liverpool diyakini akan menyelesaikan musim ini dengan poin tertinggi yang pernah didapatnya. Wolves adalah tim Liga Inggris paling menarik di musim ini: oleh proses promosi mereka yang fenomenal, oleh besarnya ambisi dan belanja yang mereka keluarkan, tapi terutama oleh cara mereka memainkan sepakbola mereka—lihat cara mereka mengalahkan MU (dua kali), juga Chelsea dan Arsenal, juga Spur (di kandang lawan). Liverpool menggasak mereka saat tandang, dan sepertinya akan mengulangi hal yang sama di pertandingan terakhir—mungkin dengan gol agak offside dari Sturidge atau penalti (lagi) dari Milner. Sayangnya, Liverpool tidak dalam posisi bisa menentukan nasibnya sendiri.
City, di jam yang sama akan melawan Brighton, tim terlemah yang tak ikut terseret degradasi. Mereka mungkin akan kesulitan, seperti pertandingan-pertandingan terakhir mereka belakangan. Tapi, seperti yang sudah-sudah juga, mereka akan menemukan jalan (mereka sudah pernah melakukannya, menjadi juara; sesuatu yang belum dialami Liverpool.) Aguero lagi, barangkali. Atau Sterling. Atau Sane. Atau dua Silva. Jangan lupakan Jesus!
Tapi bisa juga Kompani (lagi). Tonton lagi golnya ke gawang Leicester City. Itu bukan gol karena mental juara. Itu gol juara!
Lalu, akankah pendukung Liverpool harus mengulang lagi dan lagi dan lagi mantra usang yang bernada setengah ratapan itu?