Selasa, April 30, 2024

Apakah Lulusan Berspirit Pancasila untuk Kerja di Pasar Bebas?

Musa Maliki
Musa Maliki
Musa Maliki Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Doktor Charles Darwin University Australia; Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan; Karyanya (bersama Asrudin Aswar) "Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat" (2019)

Pada Konferensi Forum Rektor Indonesia tanggal 4 Juli 2020, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa daya sebaran program studi (prodi) di perguruan tinggi tidak proporsional dengan kebutuhan industri. Dalam hal ini industri manufaktur yang mengedepankan teknologi seolah-olah kurang dapat serapan dari ilmu eksak.

Memang sejak awal, Ketika Pak Muhadjir menjadi Menteri Mendikbud sampai Menteri PMK di kabinet Jokowi, Beliau konsisten pada arahan Presiden, yakni menciptakan SDM Indonesia yang siap di dunia industri seperti jenjang vokasi (SMK).

Bagaimana generasi produktif di Indonesia dapat diserap ke dalam pabrik-pabrik baik di level nasional maupun internasional. Dalam hal ini, seolah-olah ilmu sosial menjadi tidak penting dibandingkan ilmu eksak. Padahal ilmu sosial yang di dalamnya juga ada ilmu humaniora, seni/sastra, sejarah, politik, dan antropologi, bisa diindustrialisasi. Tampaknya pemerientah kurang perhatian dalam hal ini.

Apakah ilmu sosial tidak bisa diindustrialisasikan?

Kebutuhan industri tidak melulu ilmu alam atau sains. Misalnya, industri pariwisata memerlukan penjualan/pemasaran yang baik, proses kerja hospitality yang memuaskan, pemasaran kebudayaan Indonesia yang tidak superfisial tapi mendalam, desain brosur penjualan nilai, norma dan hasil kebudayaan Indonesia yang menarik dengan kekuatan imajinasi seni dan kemampuan sejarah yang mumpuni.

Karenanya, industri ini membutuhkan pekerja lulusan ilmu sosial termasuk di dalamnya ilmu humaniora, seni, dan sejarah. Apakah tidak berarti ilmu sosial tidak berkontribusi menopang industri? Demi tujuan-tujuan industri, gagasan menambah jumlah prodi ilmu alam pun menjadi tidak relevan sebab ilmu alam dan ilmu sosial sama-sama dapat diindustrialisasikan.

Hal di atas belum lagi masuk ke industri pendidikan sendiri, pelatihan (coaching), industri politik, industri agama (halal-haram), industri sumber daya manusia, dan sebagainya. Singkat kata, manusia itu tidak hanya pemilik otak kiri yang melulu mekanik, skills, dan berdimensi ilmu alam tapi juga otak kanan yang berdimensi sosial, humaniora, sejarah, dan seni.

Yang lebih utama lagi, berkat akal dan budi-lah manusia menjadi lebih tinggi derajatnya dari pada robot dan binatang. Olah rasa yang membuat manusia menjadi berperikemanusiaan. Oleh sebab itu, arah pendidikan kita sebenarnya apakah faktor kemanusiaannya atau faktor instrumentalisnya?

Apakah pendidikan kita untuk industri?

Pada dasarnya, pendidikan di Indonesia tidak hanya mengutamakan hard science yang instrumentalis tapi juga soft science, sesuai lirik lagu Indonesia Raya: “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya”.

Pendidikan kita berawal dari jiwa, berikutnya raga; soft science dahulu baru hard science; mentalitas dahulu baru akal; menjadi manusia yang baik lebih utama daripada manusia berakal saja, yakni pinter sing minteri. Menjadi pintar saja tidak cukup sebab pintar bisa jadi culas, rakus, sombong, licik, sadis, dan memakan yang lainnya demi insting kebinatangan dari dirinya.

Selaras dengan tersebut, dalam forum rektor, Menteri Mendikbud, Pak Nadiem Makarim menginformasikan bahwa kampus harus memfasilitasi mahasiswa agar memperkaya dan meningkatkan wawasan serta kompetensinya di dunia nyata sesuai dengan harapan dan kemauannya. Wadahnya adalah kampus merdeka.

Prinsip kampus merdeka ini mencetak mahasiswa yang tangguh, relevan dengan kebutuhan zaman, dan siap menjadi pemimpin dengan semangat kebangsaan yang tinggi. Lebih lanjut, dalam forum rektor itu, Pak Nadiem menyampaikan bahwa kampus merdeka mencetak profil pelajar Pancasila yang berketuhanan dan berakhlak mulia, dengan kebhinnekaan global, gotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri merupakan ciri pelajar unggul untuk masa depan bangsa.

Semua itu bersumber di ilmu sosial dan spirit/jiwa Pancasila. Semua itu adalah visi misi pendidikan di era Pak Nadiem. Visi dan misi yang bersumber dari spirit Ki Hajar Dewantara.

Problemnya, spirit/jiwa Pancasila dan industrialisasi era neoliberal sulit berjalan seiringan. Lulusan dituntut mempunyai spirit/jiwa Pancasila, yakni mempunyai kemauan untuk membangun bangsanya dengan kemandirian dan industri dalam negeri. Di sisi lain, cetakkan pelajar vokasi dan pekerja di industrialisasi hanyalah diperuntukkan menjadi buruh baik di level nasional maupun internasional.

Mental dan jiwa buruh adalah mengabdi pada majikan, yakni pemilik modal. Siapa pemilik modal? Mereka adalah investor asing yang tidak mau mentransfer teknologinya ke orang lain tapi tujuannya hanyalah mencari buruh murah dan efektif dalam mendulang profit saja. Lalu akan dikemanakan spirit/jiwa pancasilanya?

Oleh sebab itu, logika software Pancasila yang ditelakkan ke dalam pemikiran para lulusan yang siapa kerja ternyata kurang kompatibel dengan hardware industri manufaktur dan industri teknologis –yang hanya adaptif terhadap mekanisme pasar bebas dalam sistem neoliberal.

Sejak tahun 2016, Presiden Jokowi memberi arahan agar Indonesia fokus pada bidang kelautan, ketahanan pangan, energi, infrastruktur, pariwisata dan industri kreatif. Arahan ini memang selaras dengan Pendidikan Pancasila, tetapi untuk memulainya, pemerintah harus memberi fasilitasnya. Pemerintah tidak dapat lepas tangan dari lulusan-lulusan yang ada ke pasar industri dengan berpikir bahwa secara otomatis industri yang ada dapat langsung menyerap mereka. Jika akarnya Pancasila, maka sulit mengharapkan dari industri dan investasi asing.

Oleh sebab itu, pemerintah harus membuat wadah tersendiri demi menyelaraskan spirit Pancasila dan industri, khususnya 4.0. Salah satunya adalah para penerima beasiswa negara, lulusannya ketika pulang pun harus difasilitas dengan research yang luas demi pengembangan industri dan kemandirian industri bangsa.

Pemerintah harus kerja keras memberi ruang –entah networking dengan para pengusaha lokal atau kolaborasi dengan asing secara adil, bagi lulusan-lulusan potensial untuk mulai mengembangkan industri unggulan bangsa. Saya kira kita tidak dapat mengandalkan BUMN yang terlalu banyak sudah dipolitisir macam-macam. Dari rencana ini, jiwa Pancasila dapat kompatibel dengan industri bangsa yang merdeka dan mandiri.

Jika memang hanya melayani pasar dunia kerja di pasar bebas dan pelayan investor asing, maka pendidikan jiwa Pancasila menjadi tidak penting. Kini, Pendidikan Pancasila malah dipolitisir macam-macam. Pancasila menjadi komoditas politik bukan menjadi software akar kebangsaan dan pengembangan industri berbasis kemandiran bangsa. Sekarang ini Pancasila lebih banyak diributkan oleh para politisi dibandingkan dihayati oleh anak bangsa.

Terakhir, hal yang utama adalah variabel-variabel lain yang mementahkan pendidikan yang berbasis Pancasila dan pengembangan industri bangsa: 1. Fasilitas dan kesejahteraan untuk pendidik. Sejak Indonesia merdeka, hal ini tidak pernah diperhatikan. 2. Variabel impor beras. Jika mau mandiri dan ketahanan pangan mengapa harus selalu impor beras dan tidak mengembangkan pertanian kita?

Apa tidak ada pikiran sama sekali untuk menciptakan kemandirian pangan dan menyejahterakan petani? Hasil lulusan akan berfikir berkali-kali untuk masuk ke dunia pertanian. 3. Variabel benih yang diekspor. Jika mau mengembangkan industri kelautan dan pertanian, mengapa malah ekspor benih?

Misalnya, ekspor benih lobster yang sampai sekarang masih mengundang keributan. Aspek ini juga akan menghambat para lulusan yang ingin fokus di dunia ini. 4. Variabel buruh asing yang justru mementahkan para calon buruh kita. Diskriminasi semacam ini justru memberi pesimis Pendidikan kita.

Memangnya lulusan dalam negeri tidak layak (tidak bisa kerja)? 5. Variabel politik transaksional antara politisi dan jatah bisnis, misalnya jatah ekspor benih lobster. Mental seperti ini akan merusak generasi bangsa dan system Pendidikan kita. 6. Variabel pelemahan KPK dan korupsi. 7 Variabel birokrasi yang besar dan lamban.

Masih banyak variabel lain yang menyamankan oknum politisi dan pengusaha di negeri ini tanpa jiwa pancasila dan kepentingan bangsa tapi jiwa keserakahan. Lulusan kita dengan didikan pancasilais akan terbentur dengan variabel-variabel semaam ini.

Saya kira keserakahan ini bisa dicek dari kekayaan mereka dan bagaimana kekayaan mereka bertambah terus seiringin dengan posisi mereka dan bertambahnya pengaruh kekuasaan politik mereka. Pendidikan kita sia-sia dan jurang antara yang miskin dan yang kaya semakin melebar. Solusi bangsa ini mudah secara rasional, tapi selalu terbentur oleh kepentingan-kepentingan pribadi (baca keserakahan) dan ego.

Musa Maliki
Musa Maliki
Musa Maliki Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Doktor Charles Darwin University Australia; Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan; Karyanya (bersama Asrudin Aswar) "Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat" (2019)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.