Jumat, Maret 29, 2024

Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Menjaga Alam dan Penghidupan Desa

Nurhady Sirimorok
Nurhady Sirimorok
Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.

Melihat orang-orang menyelesaikan persoalan bersama secara pribadi membuat saya kadang-kadang berpikir, mungkin justru itulah gaya khas Indonesia, bukan gotong-royong sebagaimana dipercaya banyak orang.

Di kota-kota, untuk mengatasi kemacetan, warga dipaksa menyelesaikan persoalan sendiri-sendiri: membeli kendaraan yang lebih nyaman, dengan pendingin dan pengharum, penganan dan minuman, bahkan pemutar dan pelantang musik—apa pun yang bisa membuat seseorang semakin nyaman di tengah kemacetan. (Rencana pemerintah Bekasi menghilangkan stress warga di tengah kemacetan dengan lagu daerah, sebuah pemborosankah?)

Hal serupa, dalam bentuk berbeda, juga terjadi di desa-desa. Contoh yang seringkali saya saksikan di Sulawesi Selatan ialah para petani berusaha sendiri agar sanggup menyemprot ladang masing-masing demi mengatasi serangan hama. Atau ketika kekeringan panjang, seperti yang terjadi pada 2015, sebagian petani pemilik kebun menyewa mesin penghisap air atau membuat penampungan air di dekat kebun atau rumah masing-masing.

Sebagaimana orang kota, mereka menyelesaikan masalah sendiri-sendiri, dan para pecundang dari proses brutal itu ialah warga desa marjinal, mereka yang tak punya uang dan berada di luar lingkar kuasa—yang jumlahnya jauh lebih besar.

Persoalan bersama seperti kemacetan, serangan hama atau kekurangan air, tampaknya gagal dipahami dengan melihatnya sebagai persoalan pribadi. Padahal, belum pernah ada gerombolan hama yang memilih hanya menyerang satu kebun saja, sebagaimana air yang ketika lupa singgah di satu kebun pasti telah melupakan pula kebun-kebun tetangganya. Kemacetan pun begitu, kau selalu mengalaminya beramai-ramai.

Melihat persoalan hanya lewat satu dua kepingannya adalah satu persoalan sendiri, dan di banyak kasus soal itu seringkali terbentuk karena orang-orang terdampak atau pihak yang bertanggung jawab mengatasinya cuma menyasar gejala ketimbang mencari akar masalahnya.

Serangan hama seringkali disebabkan oleh goyahnya keseimbangan ekosistem di sebuah kawasan, misalnya karena terlalu sering dicurahi asupan kimiawi. Kekeringan di satu daerah tertentu lazimnya terjadi karena ada gangguan serius terhadap sistem hidrologis yang bertugas menyediakan air pada musim kemarau. Kemacetan terjadi karena sistem transportasi public memungkinkan dominasi kendaraan pribadi atas moda transportasi massal.

Semua sebab di atas bersifat umum, manjangkau bentang alam (atau bentang kota) yang jauh lebih luas daripada sekadar sepetak kebun atau sawah. Dan semua sebab itu punya penyebab-penyabab lagi, siapa pun bisa menggalinya lebih jauh. Kenyataanya, sudah banyak orang yang menelitinya tapi tampaknya belum muncul upaya serius untuk menyelesaikan deretan persoalan itu sampai ke sumber-sumbernya.

***

Cristiana Seixas dan Brian Davy menyusun sebuah sintesis tentang mengapa sekelompok warga di satu kawasan dapat berhimpun untuk secara kolektif berhasil memperbaiki lingkungan dan penghidupan. Mereka mengkaji laporan penelitian dari sejumlah negara, dari Peru, Belize, Brazil, Guyana, Kenya, sampai India dan Thailand.

Mereka menemukan bahwa orang-orang setempat tergerak bekerja bersama karena empat pemicu—dan butuh gabungan dua atau lebih pemicu itulah yang menggerakkan mereka.

Pertama, mereka sedang menghadapi krisis, semisal degradasi lingkungan atau baru saja tertimpa bencana. Kedua, mereka melihat krisis akan datang lalu memutuskan melakukan sesuatu, seperti mencari peluang penghidupan baru untuk mengatasi persoalan pendapatan warga setempat yang tertutup oleh penetapan taman nasional. Ketiga, mereka bergerak karena dipicu oleh datangnya program dari luar, program-program untuk perbaikan lingkungan dan pengentasan kemiskinan. Keempat, mereka melihat ada peluang untuk memperbaiki lingkungan dan penghidupan, seperti terbukanya jalur pasar baru bagi madu bernilai tinggi, yang bergantung pada terjaganya ekosistem dan sampai saat itu masih bergantung impor.

Kita bisa membayangkan bagaimana orang-orang di sana berhasil melihat lingkungan sekitar mereka sebagai satu kesatuan, satu bentang alam yang terdiri dari beraneka unit ekosistem dan sosial namun saling bergantung satu sama lain. Degradasi lingkungan mustahil diatasi dengan hanya mengurus kebun masing-masing, tekanan kepada pemerintah untuk menyediakan alternatif pendapatan bagi warga terdampak penutupan hutan akan sulit menguat bila setiap keluarga hanya berupaya mengatasi persoalan masing-masing.

Dalam kasus serangan hama dan kekeringan di Indonesia—keduanya adalah krisis yang bisa memicu kerja kolektif, yang saya saksikan ialah mereka terus mengurus kebun sendiri sampai mengalami kebangkrutan lalu merantau ke tempat lain, dan melakukan hal serupa di tempat baru dengan hasil akhir yang sama. Saya menyaksikan siklus ini: petani yang berhasil dengan satu komoditas lalu bangkrut oleh beraneka penyebab lalu merintis usaha tani baru di tempat lain, kemudian putaran yang sama berulang.

Salah satu penyebab paling kentara ialah bahwa persoalan-persoalan itu tersamarkan oleh beraneka metode adaptasi, berupa solusi sementara bagi gejala yang langsung tampak di depan mata: ada hama, semprot. Kekeringan, sewa mesin penyedot atau buat penampung air.

Solusi semacam ini memang bisa menunda orang merasakan dampak persoalan yang tengah berlangsung, dan ganjarannya cukup mahal karena masalah yang mereka hadapi akan semakin parah. Semakin banyak disemprot, keseimbagan ekologis di satu kawasan akan bertambah buruk. Semakin disedot tanpa kendali, volume air kian menipis. Semakin banyak penampungan ketika asupan volume air tetap atau malah berkurang akan membuat pembagian air semakin timpang.

Di satu titik asupan kimiawi berjangka panjang membuat hama bisa bermutasi dan menjadi kebal, dan ekosistem pun semakin kehilangan ‘kawan-kawan alamiah’ yang dapat memulihkannya. Air permukaan dan bawah tanah yang terus dihisap secara individual memustahilkan pengendalian konsumsi volume air akan memicu pemborosan sumber daya yang sedang langka. Ketimpangan pembagian air dengan mudah menyulut konflik.

Mengatasi gejala berbeda dengan menyelesaikan masalah, mengatasi gejala bahkan bisa menggelembungkan masalah. Karena berlangsung lama, solusi-solusi sementara itu akan menjadi kebiasaan, menghalangi orang untuk berpikir tentang sumber masalah—dan masalah itu akan bertahan lalu memperkuat dan membelah diri menciptakan masalah-masalah baru.

Semua skenario di atas, saya yakin, sudah menjadi pengetahuan umum setidaknya di sebagian lingkaran—sebagian orang sudah bosan dengan beberapa alinea di atas. Jadi sepertinya mustahil bila persoalannya cuma kebebalan semua pihak dengan melihat masalah publik sebagai persoalan pribadi. Masalahnya lebih dari sekadar pengetahuan.

***

Di sinilah kita perlu membicarakan apa yang disebut oleh Cristiana Seixas dan Brian Davy sebagai elemen-elemen penggerak (catalytic elements). Dari membaca contoh-contoh sukses, mereka menemukan bahwa untuk mendorong semua pihak bekerja sama memperbaiki lingkungan dan penghidupan di satu kawasan, dibutuhkan elemen-elemen berikut ini: (1) keterlibatan banyak pihak, termasuk warga setempat meskipun prakarsa yang hendak dijalankan datang dari luar, (2) sokongan lembaga-lembaga yang suportif, (3) peningkatan kapasitas, (4) dukungan dana dan (5) kepemimpinan yang kuat, serta (6) insentif ekonomi bagi warga setempat.

Dalam kasus Indonesia sepertinya dua elemen pertama merupakan persoalan utama, yang bila diselesaikan masalah-masalah lain akan lebih mudah diselesaikan. Keterlibatan organisasi-organisasi setempat, di dalam dan sekitar masyarakat sendiri, menjadi satu prasyarat utama keberhasilan sebagai besar kasus yang mereka telaah. Pihak-pihak terebut ialah organisasi berbasis masyarakat, organisasi masyarakat sipil lokal, pemerintah setempat, dan pada taraf lebih rendah pihak swasta. Organisasi-organisasi tersebut telah bekerja langsung bersama warga dalam waktu cukup lama untuk program-program sejenis.

Lembaga-lembaga setempat, baik badan-badan pemerintah lokal maupun organisasi non pemerintah setempat mendukung dalam bentuk keahlian, keterampilan, dana, atau dukungan legal. Ruang-ruang belajar informal juga mereka catat sebagai faktor penting, di mana orang mengobrol santai dalam pelbagai kesempatan untuk berbagi informasi tentang keberhasilan maupun kekeliruan-kekeliruan yang telah mereka lewati.

Tetapi satu nuansa yang penting bagi kasus Indonesia namun dipaparkan sekilas oleh Cristiana Seixas dan Brian Davy ialah ketimpangan relasi kuasa di dalam masyarakat dari tingkatan paling bawah. Boleh jadi mereka kurang menggeledah aspek ini karena menelaah deretan kasus yang berhasil, persoalan-persoalan yang muncul dari ketimpangan kuasa sepertinya telah teratasi sebelum mereka bergerak bersama.

Perihal ketimpangan kuasa di Indonesia sudah diulas oleh sangat banyak peneliti dari berbagai pendekataan, mulai dari yang melihat tindakan ilegal aparat pemerintah, patronase dan klientelisme yang masih merajalela, sampai pada lemahnya kerangka hukum untuk melindungi kepentingan warga desa. Seluruhnya secara langsung maupun tidak bergabung menciptakan struktur sosial timpang di perdesaan—yang menghambat kerja kolektif baik dalam perbaikan lingkungan maupun penghidupan.

Padahal keterlibatan dan dukungan lembaga pemerintah yang suportif menjadi sangat penting bila kita bicara tentang persoalan publik seperti melestarikan lingkungan dan penghidupan warga. Bahkan ketika sebuah organisasi non-pemerintah atau organisasi berbasis warga akhirnya berhasil mengajak seluruh warga melihat persoalan secara holistik, dan bisa berkumpul untuk secara kolektif melihat dan menghadapi akar masalah, pekerjaan mereka bisa menjadi sia-sia ketika pemerintah memutuskan melakukan hal sebaliknya.

Misalnya, setelah warga bersepakat mengatur pemakaian air atau mengendalikan penggunaan asupan kimiawi di satu kawasan, banyak persoalan akan segera menghadang. Mereka akan berhadapan dengan pihak-pihak yang diuntungkan oleh kondisi yang merugikan mereka. Orang-orang yang sanggup membeli mesin penyedot air dan menyewakannya kepada petani (yang mampu) akan kehilangan pelanggan. Para pemilik penampungan air yang setiap musim kemarau menjual air kepada tetangganya akan kehilangan pembeli. Mereka yang punya modal untuk membeli dan berdagang asupan kimiawi, berikut para penyumplai mereka, akan kehilangan pasar.

Lalu bila Anda berharap negara melindungi kepentingan warga desa marjinal dari para predator, Anda hanya perlu membuka kajian-kajian di atas dan membaca rentetan berita tentang konflik di pedesaan untuk tahu apa yang sedang terjadi.

Bila Indonesia masih sulit mewujudkan perbaikan lingkungan dan penghidupan warga desa, itu masuk akal, syarat-syarat penting untuk mencapainya memang belum terpenuhi.

Nurhady Sirimorok
Nurhady Sirimorok
Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.