Jumat, Maret 29, 2024

Antara Hantu PKI dan Begundal Teroris

Husni Mubarok
Husni Mubarok
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Graduate Student Center for Religious and cross-Cultural Studies (CRCS), UGM. Beberapa hasil risetnya terbit dalam "Kontroversi Gereja di Jakarta" (2011) dan "Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia" (2014).

terorisApa Partai Komunis Indonesia (PKI) bangkit lagi? Begitu reaksi saya sejak pertama kali mendengar sejumlah pihak, khususnya beberapa pensiunan TNI, menyatakan partai tersebut bangkit lagi. Misalnya, Kivlan Zein di sela-sela Simposium anti-PKI, mengatakan, “dua minggu lalu PKI sudah berdiri.” Meski pernyataan ini kemudian diralat, kebangkitan PKI tetap diyakini sebagai fakta sosial.

Mungkinkah PKI bangkit kembali dari alam kuburnya? Kenapa kita sibuk dengan urusan hantu dan luput pada ancaman nyata dari kelompok teroris? Bukankah teroris sejak 18 tahun lalu telah dengan nyata menciptakan ketakutan lewat bom bunuh diri?

Sulit dipercaya
Jika kita memahami secara jernih, rasanya sulit mempercayai PKI bangkit lagi. Paling tidak tiga prasyarat berikut tidak bisa dipenuhi.

Pertama, tidak ada kesempatan politik bagi PKI untuk tumbuh kembali. Pemerintah, sampai saat ini, mempertahankan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang menyatakan pembubaran PKI. Selama ketentuan ini berlaku, selama itu pula PKI tidak bisa berdiri, apalagi mendaftar sebagai peserta pemilihan umum.

Selain regulasi, kesempatan politik bagi PKI sangat kecil. Dalam berbagai survei mengenai toleransi di Indonesia, PKI adalah “kelompok” yang paling tidak disukai publik. Survei terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI), tahun 2006, 60 persen lebih masyarakat Indonesia menyatakan bahwa PKI sebagai kelompok paling tidak disukai. Ini data 10 tahun lalu. Sekarang bisa jadi lebih buruk angkanya sebab kampanye menentang kebangkitan PKI semakin massif.

Kedua, tidak ada sumber daya untuk dimobilisasi. Menghidupkan sebuah partai tentu harus mampu memobilisasi sumber daya manusia maupun finansial. Tak mudah mobilisasi massa untuk mendirikan partai terlarang. Anggap saja beberapa orang berhasil dimobilisasi, lalu dari mana mereka mendapat dukungan finansial? Adakah konglomerat di Indonesia yang bersedia mengeluarkan uangnya untuk membiayai partai yang masa depannya suram?

Anggap saja ada usaha mobilisasi sumber dana dari luar negeri. Adakah negara di luar sana yang mau mensponsori pendirian partai yang tidak mungkin eksis di Indonesia? Atau barangkali pengusaha di luar negeri, seperti negara Tiongkok atau Korea Utara. Bersediakah mereka menggelontorkan dananya untuk menyokong partai yang tidak mungkin menjadi peserta pemilu? Bagaimana mungkin mereka bersedia mengeluarkan dana jika kelompok yang mau didanai tak bisa eksis?

Ketiga, istilah komunisme saat ini sudah sangat tidak strategis dipakai sebagai alat untuk merekrut massa. Jika kita merujuk pada AD-ART PKI sebelum mereka dibubarkan, visi organisasinya ingin mencita-citakan masyarakat yang adil dan makmur. Ide ini sesungguhnya sangat umum. Bukan hanya PKI, partai mana pun di Indonesia mencita-citakan hal yang sama.

Hanya saja, cita-cita tersebut akan terasa lain jika dikumandangkan oleh orang yang misalnya ingin menghidupkan PKI. Kata “adil” dan “makmur” tidak masuk dalam imajinasi masyarakat Indonesia manakala keluar dari pegiat PKI. Sebab, PKI sudah kadung berkonotasi buruk. Alih-alih keadilan dan kemakmuran, pertama kali yang muncul dalam benak masyarakat kita jika ditanya mengenai PKI adalah “pemberontakan” 30 September 1965. Doktrin rezim Orde Baru begitu kuat sehingga kampanye kadilan dan kemakmuran tidak akan didengar jika keluar dari penyokong PKI.

Begundal Teroris
Dilihat dari tiga argumen tersebut, kebangkitan PKI nampak seperti hantu belaka. Keberadaannya tak ada yang tahu. Hanya dukun berusaha meyakinkan mereka yang tak percaya, walau tanpa bukti kongkret. Kitalah yang membuat hantu itu seakan-akan ada, padahal tak nyata. Siapa percaya hantu itu akan bangkit, maka nyatalah hantu itu. Siapa tak percaya, hantu itu hanya semacam ilusi belaka.

Alih-alih memelihara ketakutan akan hantu yang tak jelas ujudnya, alangkah lebih bijak jika kita mengalihkan perhatian pada “begundal” teroris, yang jelas-jelas telah menebar teror kekerasan. Bom Sarinah beberapa waktu lalu yang diklaim bagian dari gerakan ISIS merupakan ancaman nyata terhadap bangsa kita. Tindakan mereka nyata-nyata telah merusak ketenangan penduduk kita dan berpotensi memecah belah bangsa Indonesia.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan setidaknya 500 warga Indonesia telah berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. ISIS adalah ancaman nyata, bukan hantu. Di Suriah, mereka melakukan serangkaian aksi teror terhadap kelompok yang berbeda.

Ketika ideologi ini dibawa pulang ke Indonesia, saat itulah ancaman ini begitu nyata di hadapan kita. Sidney Jones, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), menyebut mereka sebagai jihadis generasi kedua. Sepulang ke Indonesia, menurut Sidney, mereka punya legitimasi dan kapasitas yang memadai untuk melakukan teror jenis baru di sini.

Masyarakat Indonesia adalah lahan subur bagi ISIS. Survei Pew Research Center pada November 2015 menemukan sekitar empat persen, yang berarti 10 juta orang mendukung keberadaan ISIS. Beruntung, survei bulan Februari 2016, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan hanya 0,3 persen yang menyatakan ISIS boleh eksis di Indonesia. Selebihnya menolak mendirikan organisasi di Indonesia.

Jelas sudah bahwa dukungan dan keberadaan simpatisan ISIS di Indonesia jauh lebih mengkhawatirkan daripada cerita mengenai kebangkitan hantu PKI. Mengingat begundal teroris merupakan ancaman yang nyata, sudah semestinya kita peduli memikirkan bagaimana agar dukungan kepada ISIS di negeri kita sirna. Jika bangsa Indonesia adalah bangsa yang santun, gagasan model ISIS yang serba menggunakan kekerasan tak layak mendapat dukungan, sekecil apa pun.

Kemudian, perihal hantu kebangkitan PKI, seyogianya kita melihat wacana tersebut sebagai bagian tak terpisahkan dari nuansa politik. Wacana ini semula menguat pasca Simposium Tragedi 1965. Belakangan sejumlah pihak mulai dikait-kaitkan dengan kepemimpinan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Simposium Tragedi 1965 maupun posisi Ahok amat kental nuansa politik. Keberhasilan kegiatan Simposium mempertemukan berbagai pihak, termasuk kelompok penyintas, telah menghantui pihak-pihak yang terkait dengan tragedi tersebut. Kepemimpinan Ahok, di sisi lain, telah mengancam politikus lain yang menginginkan kursi gubernur. Dengan begitu, wacana kebangkitan PKI hanya satu langkah untuk dua tujuan tersebut yang lebih besar.

Saya sejak awal merasa heran orang percaya hantu PKI bisa bangkit lagi. Tapi saya jauh lebih heran menganggap ringan perkara banyaknya simpatisan ISIS di Indonesia, dan tak menganggapnya masalah.

Husni Mubarok
Husni Mubarok
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Graduate Student Center for Religious and cross-Cultural Studies (CRCS), UGM. Beberapa hasil risetnya terbit dalam "Kontroversi Gereja di Jakarta" (2011) dan "Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia" (2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.