Jumat, April 19, 2024

Anomali Pembatasan Hak Pilih dalam Pemilu

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)

Demokrasi dan pemilu adalah dua elemen yang inheren. Karena pemilu merupakan saluran demokratis dalam suksesi suatu kepemimpinan. Indonesia sebagai negara yang mengkombinasikan daulat rakyat dan hukum seperti dinukilkan dalam Pasal 1 ayat (2) juncto  ayat (3) UUD 1945 telah akrab dengan proses demokrasi baik langsung maupun tidak langsung dalam praktek pemilihan umumnya.

Bahkan Indonesia dinobatkan sebagai salah satu negara yang cukup berhasil dalam menyelenggarakan demokrasi proseduralnya, termasuk pelaksanaan pemilu serentak yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik ternyata Indonesia terbilang cukup berhasil. meskipun tidak sedikit catatan pelaksanaan pemilu di Indonesia.

Salah satu yang menjadi sorotan dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia adalah mengenai hak pilih. Hak pilih mengandung dua makna yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate).

Dalam konteks Indonesia, Jaminan hak pilih tidak diatur secara eksplisit didalam UUD 1945 namun dijamin dalam  Pasal 43 ayat (1) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.  Meski tidak disebut secara gamblang  didalam Konstitusi tidak berarti hak pilih bukan hak konstitusional sebab hak pilih merupakan kristalisasi dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengenai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

Perkembangan dan Pembatasan hak memilih 

Hakikinya setiap warga negara memiliki hak pilih  dengan persyaratan tertentu. Tidak semua orang memiliki hak untuk memilih karena dibatasi oleh UU Pemilu seperti warga negara yang belum cukup umur untuk memilih, profesi TNI dan Kepolisian yang dibatasi hak memilihnya guna menjaga netralitas dan profesionalitas.

Dalam lingkup hak memilih yang lain  seperti bagi warga negara bekas Anggota PKI dan organisasi terlarang lainnya pernah dibatasi dalam penyelenggaraan pemilih di Indonesia sebagaimana perintah dari TAP MPRS Nomor  XXV/MPRS 1966.

Namun seiring dengan berjalan dan berkembangnya demokrasi di Indonesia pembatasan tersebut menemukan titik singgung keseimbangan yang baru yakni pada Tahun 1975  dalam UU No 15 Tahun 1969  hak memilih dari warga negara eks anggota PKI tidak lagi dibatasi.

Begitu pula ketika ada pembatasan mutlak hak memilih bagi  warga negara  yang tidak sehat  jiwa atau ingatan yang diterapkan dalam politik hukum pemilu Indonesia di masa lalu  hingga keluar putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2015 yang menyatakan norma hukum tersebut bersifat konstitusional bersyarat yang artinya tidak semua orang yang tidak sehat jiwa dan lupa ingatan mutatis mutandis kehilangan hak memilihnya namun terdapat paramater tertentu yang harus dipenuhi untuk mencabut hak memilih tersebut.

Tentu putusan MK ini menunjukan upaya menyeimbangkan dan mengembalikan kodrat demokrasi kepada khittah awalnya yaitu daulat rakyat sepenuhnya sehingga tidak boleh dilakukan pencabutan hak memilih semena-mena.

Prinsip pembatasan hak pilih hanya dapat diterapkan dengan pertimbangan tertentu dalam masyarakat yang demokratis. Sejalan dengan pemikiran Manfred Nowak yang menyebutkan pembatasan terhadap hak asasi memilih dan dipilih dapat saja dilakukan sepanjang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis yakni tuntutan kebutuhan sosial yang mendesak dan proporsional dan tidak bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu.

Dilema  dan perkembangan hak dipilih

Contoh pertama tentang dilema tersebut terlihat dari pembatasan hak untuk dicalonkan (dipilih) dari eks anggota PKI berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2003. Ketakutan dan trauma mendalam dimasa lalu telah menutup mata negara untuk memberikan keadilan pemilu yang setara kepada eks anggota PKI untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Padahal emberio reformasi membawa semangat menjunjung tinggi hak asasi manusia yang diatur didalam Bab XA UUD 1945 beserta instrumen UU tentang HAM. hingga kemudian MK memperbaiki keadaan tersebut dengan memberikan pertimbangan hukum dalam putusannya bahwa hak dipilih atau dicalonkan bagi eks anggota PKI dibolehkan kecuali untuk pencalonan capres dan wapres.

Dalam keadaan yang lain, negara membolehkan calon eks napi koruptor untuk mencalonkan dirinya sebagai kandidat dalam kontestasi pemilu melalui UU. Meski sempat dilarang didalam PKPU namun semangat membatasi calon bermasalah tersebut dibatalkan oleh Mahkakamah Agung dengan alasan bertentangan dengan UU Pemilu.

Sementara MK menyebutkan ketentuan tersebut sebagai suatu kebijakan hukum terbuka (open legal policy) selama calon tersebut mengumumkan dirinya dimuka publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan eks koruptor. MK lebih bersifat pasif dalam menanggapi pekara tersebut dan berlindung dibalik prinsip judicial renstraint dan dalil open legal policy.

Meskipun pada akhirnya MK dalam putusan terbarunya mengoreksi sikapnya dengan setuju adanya masa tunggu bagi eks napi koruptor untuk dapat mencalonkan diri dalam kontes pemilu.

Tetapi sikap MK dalam putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 tersebut menggambarkan anomali karena disatu sisi ia tidak ingin menghapuskan hak dipilih eks koruptor namun disisi lain ia setuju dengan masa jeda bagi eks koruptor untuk mencalonkan diri. Ataukah hal demikian merupakan win win solution yang ingin diciptakan oleh MK?

Padahal kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang semakin masif dan krusial terjadi di Indonesia. Jika ingin memberantas korupsi dan memberikan efek jera (deterrent effect) maka mencabut hak untuk dipilih adalah suatu hal yang bijak untuk mencegah orang bermasalah terpilih kembali.

Paradoksnya lagi, jika semangat pembaharuan yang diinginkan maka seharusnya pembatasan umur dalam mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada harus dikoreksi agar anak muda yang berusia dibawah umur 25 dan 30 tahun dapat ikut serta dalam kandidasi pesta politik ditingkat lokal.

Sementara dalam putusan MK Nomor 58/PUU-XVII/2019 terkait pengujian batasan umur untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang diajukan oleh Faldo Maldini, Tsamara Amani justru MK dalam amarnya mengembalikan pengaturan tersebut kepada pembuat UU. Lagi-lagi kita dapat memahami ada ruang hukum yang tidak dapat disentuh oleh MK sebagai negative legislator. 

Namun kondisi inilah yang menunjukan ada anomali dalam pembatasan hak dipilih. Jika kita sepakat ingin memberantas korupsi dan memberi kesempatan pada pemimpin millineal untuk muncul harusnya hambatan diskriminasi umur bagi anak muda terjun ke politik lokal harus dihapuskan.

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.