Sabtu, April 27, 2024

Anies Baswedan, Pemimpin Narasi Kontroversi

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Hanya berselang waktu sepekan, lembaga survei Indo Barometer merilis opini publik berkaitan dengan sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dalam rilis pertama, Anies dinilai oleh publik sebagai gubernur yang paling tidak berhasil mengatasi persoalan banjir di ibu kota negara.

Ironisnya, rilis berikutnya menempatkan Anies sebagai calon presiden terkuat setelah Prabowo Subianto. Sebagai tokoh berlatar belakang kepala daerah, keterpilihan Anies jauh mengungguli sejumlah nama yang juga kerap digadang-gadang sebagai pemimpin nasional di masa mendatang.

Bagaimana menjelaskan kenyataan yang sangat kontradiktif tersebut? Bahwa kegagalan dalam memimpin daerah khusus ibu kota malah melambungkan nama Anies sebagai tokoh potensial pada 2024, ketika periode kedua pemerintahan Jokowi bakal berakhir.

Kemunculan Anies dalam panggung politik seiring dengan gelombang kebangkitan elite baru yang dihasilkan dari proses pilkada langsung. Adalah Jokowi yang tampil sebagai lokomotif, di mana kesuksesannya menang dua kali berturut-turut di Solo mengantarkan ke Jakarta.

Figur-figur baru bermunculan, di antaranya Ridwan Kamil di kota Bandung, Tri Rismaharini di Surabaya, hingga Nurdin Abdullah di kabupaten Banteng. Dalam lima tahun, posisi mereka pun terus menanjak ke posisi gubernur, Kang Emil di Jawa Barat dan Nurdin di Sulawesi Selatan.

Masyarakat Indonesia tampak rindu adanya pemimpin gaya baru, berbeda dari episode sebelumnya yang dikuasai oleh elite Jakarta. Rakyat jenuh dengan kepemimpinan yang berpusat pada golongan “darah biru” partai-partai politik yang mendominasi kekuasaan pasca-Orde Baru.

Semula banyak yang meragukan dampak desentralisasi, hanya akan melahirkan dinasti-dinasti lokal (putera daerah) dan KKN yang sentrifugal. Namun ternyata dari lumpur yang sama melahirkan pula mutiara berharga, yang meskipun sedikit jumlahnya tetapi segera merebut hati rakyat Indonesia.

Transformasi Anies dari akademisi menuju politik secara formal dimulai ketika namanya bersaing dengan 10 tokoh dalam konvensi capres yang digelar Partai Demokrat. Konvensi gagal mengantarkan Demokrat sebagai aktor dalam Pilpres 2014, di mana saat itu rivalitas Jokowi dan Prabowo dimulai.

Anies memutuskan beralih untuk mendukung Jokowi sebagai tim sukses. Sebagai ganjaran, Anies pun direkrut Jokowi untuk mengisi pos menteri Pendidikan. Jabatan yang tampaknya sesuai dengan profil akademisi Anies, di mana sebelumnya Anies menjadi rektor Universitas Paramadina.

Karier akademik Anies sangat kental diwariskan dari keluarganya. Kedua orang tua Anies adalah dosen di dua perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Sementara bakat politik Anies tampaknya diwariskan dari sang kakek, A.R. Baswedan, jurnalis dan pendiri Partai Arab Indonesia (PAI).

Kelihaian politik Anies ditunjukkan ketika berhasil bangkit kembali usai dicopot dari jabatan menteri dan maju bertarung dalam Pilkada DKI 2017. Meraup dukungan dari Gerindra dan PKS, Anies memenangkan dua putaran dengan menyingkirkan pasangan kepala daerah petahana.

Kontroversi Anies dimulai pada saat itu, ketika Anies mengubah total citra sebagai intelektual Islam moderat dengan merapat ke kelompok-kelompok sektarian, khususnya Front Pembela Islam (FPI). Kemenangan Anies sendiri tidak lepas dari penggalangan massa kelompok 212 di lapangan Monas.

Kontroversi terus berlanjut sepanjang pemerintahan Anies di DKI, menjadikannya sebagai tokoh kepala daerah yang paling ramai diperbincangkan publik. Berbeda dengan golongan elite baru yang mengutamakan kerja, Anies mengedepankan narasi sebagai hal yang lebih utama.

Dalam sebuah kesempatan, Anies mengkritik jargon “kerja, kerja, kerja” yang kerap dilontarkan Jokowi. Dengan mengambil contoh figur aktivis belia Greta Thunberg, Anies menekankan pentingnya narasi sebelum memulai bekerja. Berikut ini sederet kontroversi yang mengiringi jejak Anies di DKI.

Penutupan jalan Jati Baru untuk memberi ruang kepada PKL Tanah Abang. Pasar tekstil terbesar se-Asia Tenggara tersebut sekaligus merupakan salah satu sumber kemacetan di ibukota. Jokowi saat menjabat gubernur DKI sempat memindahkan PKL ke Blok G, tapi dikeluhkan karena sepi.

Atas nama keberpihakan kepada pedagang kecil, Anies menutup jalan dan menyediakan tenda-tenda untuk PKL untuk kegiatan siang hari. Untuk mengatasi kemacetan, dioperasikan bus gratis TransJakarta yang bisa melintas di jalan Jati Baru.

Solusi yang ditawarkan Anies menimbulkan kontroversi, sebab makin memperparah kesemrawutan. Kader muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kini menjabat anggota DPRD DKI William Aditya Sarana menang gugatan ke Mahkamah Agung atas Perda ketertiban umum yang dijadikan dasar.

Menghentikan reklamasi Teluk Jakarta. Janji utama Anies saat kampanye Pilkada DKI dibuktikan dengan mencabut izin reklamasi pulau-pulau yang sudah dibangun. Reklamasi menjadi isu panas selama Pilkada, di mana aktivis lingkungan dan nelayan melakukan protes dengan menduduki pulau.

Ironisnya, Anies kemudian menerbitkan IMB dengan dalih demi memanfaatkan pulau yang telanjur dibangun. Kontroversi muncul ketika Anies mengubah sebutan pulau reklamasi menjadi “pantai” dan mengubah nama pulau C, D, dan G menjadi pantai Kita, Maju, dan Bersama.

Seperti sudah diduga, pengembang reklamasi melancarkan gugatan kepada Pemerintah Provinsi DKI. Rencana untuk menarik kontribusi tambahan pun menguap tak tentu rimbanya. Pemprov terpaksa harus bolak-balik ke PTUN, sementara rencana pemanfaatan pulau untuk publik tidak jelas.

Gemuknya struktur tim gubernur (TGUPP). Secara mengejutkan, Anies menambah jumlah anggota TGUPP hingga mencapai posisi 74 orang. Besarnya jumlah TGUPP dengan anggaran fantastis tidak sebanding dengan kinerja, hingga terkesan hanya untuk bagi-bagi jabatan relawan.

Anggaran fantastis “lem aibon” dalam KUA-PPAS 2020. Pembahasan rancangan APBD DKI menyita perhatian publik, setelah anggota fraksi DPRD dari PSI mengupas janggalnya mata anggaran. Yang kontroversial, pengadaan lem aibon hingga bolpen dengan nilai miliaran di Dinas Pendidikan DKI.

Anies berdalih bahwa anggaran itu masih berupa rancangan dan salah input sistem e-budgeting yang sudah berjalan. William Aditya Sarana (PSI) diperiksa oleh Badan Kehormatan DPRD DKI, padahal sudah menjadi tugas anggota dewan untuk menyisir anggaran yang berasal dari uang rakyat.

Menggelar balap mobil Formula-E dan revitalisasi Monas. Teranyar, Anies bersikukuh untuk mengadakan lomba balap internasional di tengah derasnya kritik publik. Anies berdalih bahwa event ini bertujuan untuk mempromosikan mobil listrik sebagai bagian kampanye kesadaran lingkungan.

Publik menyoroti besarnya anggaran Formula E yang mencapai Rp 1 triliun, sementara anggaran untuk mengendalikan banjir justru berkurang. Kontroversi berlanjut dengan kisruh seputar revitalisasi Monas demi hajatan Formula E dengan mengorbankan pohon-pohon dan cagar budaya.

Banjir dan tidak jelasnya konsep naturalisasi. Banjir selalu lekat dengan ibukota Jakarta. Setiap gubernur DKI berjuang menawarkan konsep untuk mengatasi problem tahunan tersebut. Anies hadir dengan gagasan nyeleneh, menolak ide normalisasi sungai dan mengusulkan naturalisasi.

Persoalannya, apapun namanya kedua konsep tersebut mengharuskan untuk membebaskan area bantaran sungai dari permukiman. Anies yang kerap melontarkan jargon keberpihakan kepada rakyat kecil enggan melakukan. Alhasil, ibukota dilanda banjir tanpa ada solusi yang bisa dikerjakan.

Seruan “lockdown” menghadapi wabah virus corona, Anies bergerak cepat, seperti melangkahi kebijakan pemerintah pusat yang terkesan bersikap lambat, untuk tidak menyebut hati-hati, dalam menangani pandemi virus corona (Covid-19).

Kebijakan Anies meliburkan sekolah dan menutup tempat wisata segera ditiru oleh pemda-pemda lainnya. Jokowi kemudian seperti mengikuti irama yang dimainkan Anies dengan menyatakan corona sebagai bencana nasional. Lebih jauh Anies mengungkapkan kemungkinan me-lockdown ibukota.

Dengan aneka narasi kontroversi yang dibangun, tidak heran nama Anies kerap bertengger di papan atas elektabilitas. Selain Indo Barometer, Anies juga diunggulkan dalam survei Median, Index Research, dan Y-Publica. Anies memiliki modal besar untuk maju dalam perhelatan 2024 mendatang.

Meskipun tidak memiliki kendaraan politik, Anies terbukti mampu mengumpulkan dukungan partai-partai dan menang dalam Pilkada DKI. Surya Paloh melontarkan kemungkinan Nasdem mendukung Anies pada 2024. Di tingkat grass root, Anies mendulang dukungan luas dari kalangan sektarian, yang menjadi penentu dalam kemenangan Pilkada DKI.

Susah dibantah bahwa Anies berpeluang kuat maju sebagai capres pada Pemilu 2024. Anies menjadi kekuatan penantang koalisi PDIP-Gerindra yang mendominasi pemerintahan pasca-Pemilu 2019. Apakah Anies akan keluar sebagai pemenang, ataukah bakal muncul poros ketiga sebagai alternatif?

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.