Apa tanggapan Anda ketika membaca berita bertajuk seperti ini: “Demi Formula E, Anies Pangkas Dana Rehabilitasi Sekolah”? Sebagai pendidik dan guru, saya geleng-geleng kepala. Bukan soal saya adalah pemerhati dan praktisi pendidikan, apalagi penulis buku pelajaran. Ini lebih pada siapa dan dari mana Anies Baswedan!
Sebelum tulisan ini dilanjutkan, baiklah pertanyaan ini saya sodorkan terlebih dahulu juga: Anda mengenal Anies Baswedan sejak dari apa? Gubernur? Mendikbud? Rektor? Praktisi pendidikan?
Tak diragukan lagi, Anies Baswedan mulai dikenal bukan karena Tim Kampanye Jokowi-Jusuf Kalla pada 2014, bukan karena jadi Menteri Pendidikan, bukan karena di-reshuffle Presiden Jokowi, bukan karena menang melawan Ahok juga. Anies jauh dikenal sebelum kesemuanya itu. Bahkan, Anies sudah mendapat tempat terhormat sebagai pelopor dan tokoh di dunia internasional.
Jauh sebelumnya, saat mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Anies adalah aktivis yang juga ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di Kampus Biru tersebut. Semua itu adalah karena, konon, dedikasinya dari dan untuk dunia pendidikan.
Nah, pertanyannya, apa yang merasuki Anies, justru ketika sudah menjabat dan penguasa anggaran, demi soal seremeh (katakanlah semewah) Formula E, maka dia malah membuat pendidikan seolah menjadi recehan? Ada apa dengan Gubernur Anies?
Saya masih ingat betul ketika Anies mewacanakan akan menambah anggaran di bidang pendidikan Rp46 miliar untuk membiayai program KJP Plus 2018, untuk bimbingan belajar. Saya sebenarnya tak sepakat dengan wacana itu. Sederhana saja, bimbel berbeda dengan sekolah.
Tetapi, saat itu, saya berpikir, Anies peduli dengan pendidikan, meski dengan spektrum yang berbeda. Nah, sekarang mengapa Anies malah memotong dana pendikan, padahal, sebelumnya, atas nama pendidikan meski diakui keliru, DKI Jakarta sempat gencar dengan lelucon lem Aibon yang berdekatan dengan terma pendidikan? Ada apa? Apakah predikat praktisi pendidikan sudah lekang dari Anies? Apakah pendidikan hanya alat baginya untuk mencapai popularitas dan kekuasaan?
Sudahlah. Tulisan ini biar kita luaskan. Jangan kita sempitkan semata tentang Anies. Ini bukan soal Anies. Ini soal bagaimana kita acap kali malah meluber dan melebar dalam membincangkan pendidikan, bahkan malah mempermainkan makna dan hakikatnya. Penganggaran dan pemotongan anggaran hanya dampak lain dari permainan itu. Permainan itu sudah dimulai sejak dari kita berpikir. Betapa tidak, saat ini pendidikan amat disederhanakan seperti sirkuit balapan, bahkan direndahkan dari sekadar sirkuit.
Nah, karena sirkuit, kita pun selalu berpacu. Maka, ketika Indeks Daya Saing Global (GCI) 2016-2017 kita anjlok empat tingkat, dari ke-37 menjadi ke-41 dari 138 negara, kita langsung tancap gas. Saya tak menolak bahwa kita memang harus ngegas. Apalagi, konon, menurut survei Bank Dunia, dunia pendidikan kita sudah tertinggal 75 tahun. Hanya saja, sebelum tancap gas, hal pertama yang semestinya kita perbaiki adalah jalan. Setelah itu, kita juga harus memeriksa mesin, apakah masih laik jalan atau tidak.
Sayangnya, aduh, jangankan jalan, kita juga tidak memperhatikan mesin. Kita terus memacu mesin itu untuk tetap berpacu di lajur yang membahayakan. Kita tak membiarkannya beristirahat sejenak. Kita juga tak menyervisnya. Pada gilirannya, mesin itu kelelahan hingga pada akhirnya rusak dan menjadi rongsokan. Mesin itu jadi sampah. Dalam tataran kehidupan, jadilah mesin-mesin itu pengangguran, pencopet, preman, koruptor, pembunuh. Gejala awalnya terlihat ketika mereka tawuran, bolos dari sekolah, berandalan, suka menipu orangtua, hingga mengonsumsi narkoba.
Tak bisa dimungkiri, ini semua adalah kegagalan yang bermula dari pendidikan. Pengertian pendidikan di sini tentu bukan sedangkal persekolahan. Persekolahan hanya sebagian kecil dari pendidikan. Namun, (oh, tragisnya) di negara kita, persekolahan dilebarkan menjadi segalanya pendidikan. Seakan tanpa sekolah, pendidikan tak pernah benar-benar ada. Turunannya kemudian lebih tragis: ukuran keberhasilan pendidikan semata hanya dilihat dari keberhasilan sekolah.
Ukuran tingkat kependidikan pun dilihat dari seberapa lama dia bersekolah. Sekolah menjadi penentu utama. Kita seakan lupa, persekolahan itu masih sangat belia jika dibandingkan dengan pendidikan. Institusi yang disebut sekolah itu masih berumur 200-an tahun. Di Indonesia, bahkan umurnya lebih belia lagi. Kampus justru lebih tua. Harvard berumur 400-an tahun. Ini sudah cukup membuktikan bahwa persekolahan bukan pendidikan. Sederhana saja, sejak institusi sekolah lahir, bukankah kita belum jua menciptakan karya sedahsyat Candi Borobudur?
Sebaliknya, kita hanya menyaksikan proyek-proyek mangkrak, bangunan semrawut, hingga tata kota yang sembrono. Sekolah dibangun, sekolah dikorupsi. Sekolah hendak dibangun, eh, dialihkan ke sirkuit.
Di level sosial, kita juga tak kunjung menemukan pola hidup yang harmonis. Padahal, dulu, melalui berbagai cerita, kita terbiasa mendengar betapa leluhur kita hidup berdampingan dengan sangat harmonis. Sikap hormat-menghormati bukan sesuatu yang mahal. Kini, jangankan harmonis, hanya untuk toleran saja kita sudah gagap.
Tragisnya, justru di institusi-institusi pendidikan bernama sekolah itu kini kita temukan benih-benih kebencian. Tak hanya gotong royong, sikap hormat-menghormati menjadi sangat mahal dan langka.
Saya pikir, sekilas dari perbandingan di atas sudah cukup membuktikan bahwa persekolahan kita sudah gagal. Bahkan, tidak hanya gagal mengemban misi pendidikan, persekolahan kita justru membenamkan nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang semestinya memanusiakan manusia justru mengasingkan manusia dari dirinya, terutama lingkungannya.
Dengan pendidikan melalui institusi sekolah, kita memang melatih siswa untuk bermatematika, berlogika, berbahasa, dan bersikap. Namun, semua itu mengambang. Ibarat melatih monyet untuk memakai payung atau naik sepeda, begitulah pendidikan kita. Monyet itu memang cekatan memakai payung, bahkan mungkin dengan sangat akrobatik sehingga penonton berdecak kagum. Hanya saja, kita terpana semata hanya karena monyet itu bisa melakukan sesuatu yang di luar kodratnya. Itu saja.
Kurang lebih, begitulah narasi pendidikan kita. Kita hanya terkesima ketika siswa dipaksa melakukan hal-hal di luar kodratnya. Kita bertepuk tangan ketika nilai ujian nasional (UN) dan rapor siswa berkemilauan. Namun, ini hanya prestasi semu.
Ibarat monyet itu, meski bisa melakukan hal-hal ajaib itu, semua itu tetap saja tak berguna. Monyet itu memang terampil memakai payung. Namun, ketika hujan datang dan payung tersedia, monyet itu tetap saja tak bisa melindungi dirinya dari hujan. Ilmunya memakai payung tak berguna, kecuali untuk sirkus.
Kita sebenar-benarnya tak pernah mengajarkan supaya siswa terampil memakai ilmu dalam kehidupan. Semua hanya formalitas. Dalam pada kacamata seperti inilah saya melihat mengapa Anies Baswedan memangkas biaya dana rehabilitasi sekolah.
Anies seperti sedang berkata: untuk apa kita merehabilitasi sekolah karena pendidikan sudah salah kaprah? Itu versi satirnya. Versi sarkasnya tentu sudah beda. Tak perlu saya sebutkan di sini. Anda lebih tahu dari saya untuk memahami gestur tersebut, bukan?
Bacaan terkait
Mengurai Logika Kebijakan Gubernur Anies
Gubernur Anies dan Polemik Staf Khusus
Kemiripan Anies dengan Trump: Rasisme dan Politik “Siulan Anjing”