Belakangan gambar dan konten pidato calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di markas Front Pembela Islam (FPI) menjadi perbincangan publik, termasuk dan terutama di media sosial. Banyak yang mengekspresikan rasa tidak percaya dan kaget melihat Anies “mengemis” ke markas FPI untuk mengangkat elektabilitasnya yang sejauh ini berada di bawah dua calon gubernur lain.
Saya bisa memahami kekecewaan banyak teman yang mengenal Anies, kendati apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang aneh. Kita perlu menampatkan Anies sekarang dan seterusnya sebagai seorang politisi yang sedang bermanuver mencari dukungan untuk mendulang suara. Otak politik (political mind) menuntunnya ke FPI karena memang tidak banyak pilihan lain yang tersedia baginya.
Setelah elektabilitas calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menurun akibat tuduhan penistaan agama yang menjeratnya hingga ke pengadilan, rupanya dukungan calon pemilih tidak beralih ke Anies. Dari berbagai survei terlihat dukungan terhadap Anies stagnan dan tak ada limpahan rahmat dari penurunan elektabilitas Ahok.
Alih-alih mendekati dan menarik simpati masyarakat yang semula mendukung Ahok, Anies mengambil jalan pintas menyambangi markas FPI. Dia mengira, dengan mendekati FPI dia akan dapat memperluas basis dukungan. Kalkulasi politik ini tampak prematur dan ongkos yang harus dibayar Anies terlalu mahal.
Dukungan Fatamorgana
Dalam pidatonya di markas FPI di Petamburan (1 Januari 2017), Anies tampak membesar-besarkan aksi 212 di Monas, yang dikenal dengan “Bela Islam” itu. Bukan hanya angka yang disebutnya ialah 7,8 juta peserta, tapi juga “Dunia sudah dibikin terkaget-kaget oleh Indonesia.” Lebih lanjut dia mengatakan, “Saya pun hari ini kaget, FPI gambarannya beda dengan yang diberitakan media.”
Tak sulit menebak apa yang diinginkan Anies dari puja-puji atas aksi 212 dan peran FPI. Dia mengharapkan dukungan FPI yang dianggapnya berhasil memobilisasi massa besar hingga mencapai, kata Anies, 7,8 juta umat Muslim.
Yang sulit ditebak ialah bagaimana Anies yang sangat terdidik mempercayai angka 7,8 juta itu. Apakah dia akan mengatakan angka yang sama ketika berbicara dengan audiens non-FPI? Yang juga sulit dipahami ialah bagaimana ia mengkalkulasi dukungan FPI akan punya efek dukungan besar karena keberhasilannya memobilisasi massa dalam aksi bela Islam.
Banyak alasan kenapa kalkulasi tersebut bersifat prematur. Pertama, keberhasilan FPI menjadi aktor utama penggalangan massa besar dalam aksi bela Islam di Monas tak lepas dari isu penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok. Tanpa memanfaatkan dan memanipulasi isu sensitif seperti ini mustahil FPI akan dapat menghimpun banyak massa.
Umat Muslim, tidak hanya di Indonesia, terbukti sangat mudah tersinggung, terprovokasi, dan tergerak turun ke jalan bila agama Islam (al-Qur’an atau figur Nabi Muhammad) dipersepsikan telah dinistakan. Dari soal pembakaran al-Qur’an hingga kontroversi video dan kartun Nabi kita tahu bahwa isu penistaan agama selalu memantik respons emosional.
Kedua, terkait penistaan agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) terlebih dahulu mengeluarkan sikap menyatakan Ahok sebagai penista Islam. Lebih jauh, MUI berpegang pada pendapat yang melarang kepemimpinan non-Muslim. Memang, MUI bukan satu-satunya otoritas dalam Islam Indonesia, namun belakangan pengaruhnya semakin kuat. Dan FPI memanfaatkan fatwa dan pengaruh MUI untuk memobilisasi massa. Sejujurnya, saya berpikir, tanpa isu-isu simbolik seperti penistaan agama baik FPI maupun MUI tak akan mampu memobilisasi umat Muslim.
Ketiga, FPI sendiri sebenarnya menyadari tidak punya dukungan riil di masyarakat. Keberadaan dan visibilitasnya tergantung pada isu. Itu sebabnya kaum berjubah ini tak akan pernah mau menjelma menjadi partai politik dalam menyalurkan aspirasinya. Mereka menyadari, jika menjadi partai politik, mereka tak akan mendapat suara dalam pemilihan umum. Sesederhana itu!
Karena itu, Anies sebenarnya berharap dukungan fatamorgana dari FPI. Kelompok garis keras pimpinan Muhammad Rizieq Shihab ini hanya “besar” di media terutama karena porsi pemberitaan atas tindakan dan aksi yang mereka lakukan. Dengan pemerintah dan aparatnya yang tidak tegas, mereka dapat memainkan pengaruh jauh lebih besar daripada jumlahnya dalam masyarakat. Dan Anies Baswedan memberi mereka “panggung” untuk memainkan peran seolah-olah mereka dapat mengarahkan massa pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta.
Moralitas Politik
Tentu saja, calon gubernur nomer urut ke-3 itu harus membayar ongkos politiknya. Harapan baginya untuk memperagakan moralitas politik yang tinggi dan bermartabat telah kandas. Kredibilitasnya sebagai calon alternatif di antara Ahok yang didera masalah dan Agus Harimurti Yudhoyono yang miskin pengalaman dalam tata-kelola pemerintahan telah terkikis habis. Bahkan, citra dirinya sebagai intelektual dan tokoh masyarakat yang dibangunnya sejak menjabat Rektor Universitas Paramadina ikut porak-poranda dan tergadaikan.
Kita tak perlu jauh-jauh menanti hasil Pilkada DKI tanggal 15 Februari 2017 untuk melihat bagaimana Anies telah menderita “kekalahan” sebagai politikus dan intelektual. Isi pidatonya di markas FPI menceritakan semuanya.
Dalam menawarkan dirinya sebagai calon yang dapat diterima FPI, Anies mengklarifikasi berbagai “tuduhan” yang diarahkan kepadanya. Dia bukan hanya menepis tuduhan sebagai Syi’ah, tapi juga menolak dikaitkan dengan pemikiran “liberal” dan mengaku berhasil memadamkan api kontroversi di Paramadina. Termasuk yang terakhir ini ialah kontroversi seputar penerbitan buku Fiqih Lintas Agama (2003) yang saya gagas bersama sejumlah kawan.
Tiga isu tersebut memang menjadi musuh FPI. Hak Anies untuk membersihkan dirinya dari segala tuduhan. Tapi sebagai intelektual yang mengerti duduk persoalan ketiga isu tersebut (Syi’ah, liberalisme, dan gagasan kontroversial), semestinya dia memberikan pengertian kepada orang-orang FPI bahwa mereka memusuhi sesuatu yang sesungguhnya mereka tidak ketahui.
Dengan pernyataannya “Saya bukan Syi’ah, saya Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, itu justru menjustifikasi sikap FPI yang anti-Syi’ah dan kerap melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Anies memulai pidatonya dengan menyebut Universitas Al-Azhar di Mesir yang mulai menerima mahasiswa perempuan karena “orang Indonesialah yang membuka kesempatan itu”. Saya tidak tahu sejauhmana kontensinya ini akurat. Mestinya dia juga mengatakan bahwa Al-Azhar sejak dahulu merintis pemulihan hubungan antara kaum Sunni dan Syi’ah.
Saya kira Anies tahu bahwa mazhab Syi’ah diajarkan secara resmi di salah satu lembaga pendidikan Islam tertua itu, bersanding dengan mazhab-mazhab Sunni lain. Ketika masih berafiliasi dengan Al-Azhar, Yusuf al-Qaradawi pernah berkata bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah tidak lebih besar daripada perbedaan antar mazhab Sunni sendiri.
Demikian juga klarifikasi Anies soal liberalisme dan gagasan-gagasan baru dan tidak umum yang dulu diperkenalkan dan dilansir oleh almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan kemudian dikembangkan oleh generasi berikutnya. Tampak sekali Anies menjadi ikut-ikutan simplistik seperti cara pandang orang-orang FPI.
Kata Anies, “Ada buku 50 Tokoh Liberal dan siapa saja mereka. Dan di sana tak ada nama Anies. Jadi, liberal pun tak menganggap saya sebagai liberal.” (http://gubernurmuslim.com/)
Klaim ini aneh bin ajaib! Pertama, penulis buku itu (Budi Handrianto) bukan aktivis Islam liberal tapi justru penolaknya. Kedua, dengan standar apa pun, tulisan-tulisan Anies sebelum menjadi cagub DKI jelas lebih “liberal” dibanding sebagian orang yang masuk dalam daftar buku 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia itu.
Baca juga: