Selama lebih dari 20 tahun, saya memiliki kehormatan untuk mendampingi para calon guru. Selama waktu itu, saya melihat langsung bagaimana mereka bersemangat saat menemukan kekuatan sastra, baik itu karya klasik yang abadi maupun teks-teks kontemporer. Mereka tidak hanya belajar untuk menghargai buku, tetapi juga menyadari bahwa buku-buku tersebut dapat membentuk ruang kelas dan kehidupan siswa mereka.
Antusiasme mereka terutama meledak ketika saya memperkenalkan mereka pada sastra Inggris sebagai bidang keahlian saya, baik yang ditujukan untuk anak-anak maupun remaja. Mereka dengan cepat memahami bahwa buku-buku ini tidak hanya relevan tetapi juga kaya akan makna bagi pembaca muda. Mereka mulai memahami, seperti yang diungkapkan oleh sarjana Rudine Sims Bishop, bahwa buku adalah cermin yang mencerminkan identitas dan pengalaman pembaca, jendela yang menawarkan wawasan ke dalam kehidupan orang lain, dan pintu kaca geser yang mengundang mereka untuk melangkah ke dalam dunia baru yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Oleh karena itu, saya sangat prihatin dan terusik dengan keputusan pemerintah tertentu yang kini telah ditunda untuk menghapus buku-buku tertentu dari ruang kelas sekolah menengah. Apa yang awalnya dimulai sebagai diskusi tentang beberapa bagian yang dianggap sensitif, kini telah merembet menjadi penghapusan beberapa novel yang paling sering diajarkan dan paling signifikan dalam kurikulum Bahasa Inggris.
Seperti yang pernah dikatakan oleh novelis Inggris George Orwell, “Tugas pertama orang cerdas adalah mengulangi hal yang sudah jelas.” Dan yang jelas di sini adalah: Buku-buku ini tidak berbahaya; buku-buku sangat penting. Sastra adalah tempat yang aman bagi kaum muda untuk belajar bagaimana bergulat dengan kompleksitas, ambiguitas, dan sudut pandang yang berbeda. Sastra membuka pikiran, bukan menutupnya.
Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, pernah mengingatkan kita, “Literasi adalah fondasi untuk pembelajaran seumur hidup… itu adalah pendorong pembangunan berkelanjutan.” Dalam masyarakat demokratis, literasi juga merupakan fondasi untuk menciptakan warga negara yang bertanggung jawab dan berpikir kritis. Dengan membatasi akses siswa ke literatur, kita bukan hanya mencabut hak mereka untuk membaca; kita juga membatasi kapasitas mereka untuk memahami, berempati, dan berpikir kritis tentang dunia yang akan mereka warisi.
Margaret Atwood, penulis legendaris yang karyanya, The Handmaid’s Tale, juga menjadi sasaran penghapusan, pernah berujar, “Satu kata setelah satu kata setelah satu kata adalah kekuatan.” Pernyataan ini bukan sekadar kalimat puitis; ini adalah inti dari literatur. Ketika siswa mendalami karya-karya seperti The Handmaid’s Tale, mereka tidak hanya membaca fiksi distopia. Mereka belajar tentang mekanisme kekuasaan, penyalahgunaannya, dan bagaimana individu dapat meresponsnya dengan ketahanan dan imajinasi. Dengan kata lain, buku-buku ini adalah alat pendidikan yang esensial. Melindungi siswa dari teks-teks seperti ini bukanlah tindakan perlindungan—melainkan tindakan pemiskinan intelektual.
Fenomena ini kini mulai menjadi tren yang sedang mengglobal. Di seluruh Amerika Utara, tantangan dan penghapusan buku-buku dari perpustakaan sekolah dan kurikulum semakin meningkat. Alasan yang sering digunakan adalah melindungi anak-anak atau mengatasnamakan hak orang tua. Namun, kita harus bertanya: melindungi mereka dari apa? Apakah kita ingin melindungi mereka dari ide-ide yang kompleks, perspektif yang berbeda, dan realitas yang tidak nyaman?
Penulis visioner Ray Bradbury dalam novelnya, Fahrenheit 451, sebuah buku yang ironisnya juga sering menjadi target sensor, memperingatkan kita, “Anda tidak perlu membakar buku untuk menghancurkan budaya. Cukup buat orang berhenti membacanya.” Pesan ini sangat relevan hari ini. Jika kita membiarkan generasi muda kita dicegah untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman—baik itu tentang sejarah, masyarakat, atau emosi manusia—kita tidak sedang mempersiapkan mereka untuk masa dewasa.
Sebaliknya, kita membuat mereka kurang siap, kurang tangguh, dan pada akhirnya, kurang bebas untuk menjalani kehidupan di dunia yang penuh tantangan. Mereka akan tumbuh menjadi individu yang tidak mampu berpikir kritis dan tidak memiliki empati yang mendalam. Literasi bukan hanya tentang membaca; ini tentang membuka pikiran dan hati.
Secara ironis, sejumlah sekolah di Kanada, semisal Edmonton Public Schools, baru-baru ini menghadapi tugas yang mustahil: mengidentifikasi dan menghapus judul-judul buku yang masuk dalam kategori “konten terbatas” sesuai arahan pemerintah. Alih-alih mengakui betapa rumitnya dan membebani tugas ini bagi sekolah dan guru, perdana menteri justru meremehkannya sebagai “kepatuhan yang kejam.”
Tanggapan seperti itu, alih-alih menyelesaikan masalah, justru merendahkan profesionalisme dan kearifan para pendidik. Guru adalah ahli di bidangnya, dilatih untuk membuat keputusan yang bijaksana dan sesuai dengan perkembangan siswa. Ketika politisi mulai meremehkan keahlian mereka, mereka secara langsung mengikis kepercayaan yang selama ini kita tanamkan pada sistem pendidikan kita. Keputusan penting tentang apa yang diajarkan di ruang kelas pun bergeser dari tangan para ahli yang paling mengenal siswa, ke tangan politisi.
Memang, wajar jika orang tua dan guru memiliki pandangan yang berbeda tentang buku-buku yang layak dibaca di ruang kelas. Perbedaan pendapat itu justru seharusnya memicu diskusi yang sehat, bukan sensor yang merugikan. Ruang kelas dan seharusnya di mana pun, telah lama mengandalkan guru profesional untuk membuat pilihan yang bijaksana tentang literatur, seringkali dengan berdiskusi dan berkonsultasi dengan orang tua dan komunitas.
Menggantikan proses kolaboratif yang didasarkan pada profesionalisme ini dengan intervensi politik yang tiba-tiba bukan hanya merusak kepercayaan, tetapi juga mengancam fondasi profesi guru itu sendiri. Apakah langkah-langkah seperti ini benar-benar melindungi siswa, atau justru merusak hubungan yang penting antara guru, orang tua, dan masyarakat?
Pada akhirnya, isu ini bukanlah masalah politik partisan, melainkan tentang jenis pendidikan yang kita inginkan untuk generasi muda. Apakah kita ingin siswa kita menjadi penerima pasif dari ide-ide yang sudah disetujui, atau apakah kita ingin mereka menjadi pemikir aktif yang mampu menimbang bukti, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan membentuk penilaian mereka sendiri?
Saya percaya bahwa kita menginginkan yang terakhir. Kita ingin anak-anak kita dipersiapkan tidak hanya untuk ujian, tetapi juga untuk menghadapi kehidupan. Hal ini berarti mereka harus membaca literatur yang menantang, yang terkadang mengganggu, dan yang membuka pintu ke sudut pandang yang berbeda dari diri mereka sendiri. Oleh karena itu, saya mendesak menteri pendidikan untuk menghentikan penghapusan buku-buku ini dan segera memulai proses konsultasi yang transparan dengan para pendidik, orang tua, dan ahli literasi, sebelum membuat keputusan yang akan memengaruhi setiap siswa di provinsi ini. Pendidikan yang baik tidak dibentuk oleh ideologi politik, tetapi berkembang melalui dialog terbuka dan kolaborasi.
Buku bukanlah masalahnya. Justru, buku adalah bagian dari solusi untuk membesarkan warga negara yang bijaksana dan terinformasi. Seperti yang dikatakan oleh penulis Nigeria, Chimamanda Ngozi Adichie, “Kisah-kisah itu penting. Banyak kisah itu penting. Kisah telah digunakan untuk merampas dan memfitnah, tetapi kisah juga dapat digunakan untuk memberdayakan dan memanusiakan.”
Mari kita terus memberdayakan siswa kita, bukan membatasi mereka. Ruang kelas harus menjadi tempat di mana pintu-pintu dibuka lebar, bukan ditutup. Pendidikan adalah tentang membuka wawasan, bukan menyempitkan dunia.
