Mengenal AE Priyono adalah sebuah kehormatan besar. AE turut mengisi pengetahuan formatif saya di Jogja pada 1998-2004. Dialah yang mengenalkan Kuntowijoyo secara luas, melalui suntingan Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Mizan 1991). Dari buku ini, Kuntowijoyo dan pemikiran Islam dan ilmu sosial profetiknya dikenal luas.
Tidak saja editor handal, AE juga dikenal mahasiswa dan aktifis muslim Jogja sebagai arsitek handal Majalah Muhibah UII yang dibredel Soeharto. Pada saat itu, pemredelan rejim adalah sebuah heroisme.
Saya bertemu AE di Public Virtue Institute (PVI) di bilangan Tebet Jakarta pada 2013. Usman Hamid mengajaknya untuk bergabung ke lembaga yang baru kami bentuk itu. AE adalah darah segar bagi PVI. Setelah panjang bergulat dengan isu “demos” dan “kratos”, AE memperjelas orientasi paradigmatik dan aksi PVI sebagai sebuah lembaga yang fokus pada isu demokratisasi digital. Saat itu, media sosial baru tumbuh dan belum melahirkan fenomena pembelahan sosial dan segregasi politik akibat jargon politik rendahan “cebong dan kampret”.
PVI yang kami bangun fokus pada upaya “penyelamatan” ruang digital dari residu yang memblokir jalan demokrasi di ruang publik. Mungkin, PVI bisa disebut salah satu pionir dalam hal ini. AE adalah mentor berpikir dan berkhayal bagi kami: Usman Hamid, Edwin Partogi, John Muhammad, Abu Said dan saya sendiri. Di kantor PVI, kami berlima adalah Pandawa Lima, para pencari dunia baru yang sering tenggelam dalam diskusi dan minum kopi hingga dini hari.
Santri Baru
AE adalah anak gunung. Lahir di lereng Sindoro-Sumbing, Temanggung, Jawa Tengah, orang tuanya menamainya Anang Eko Priyono. Sebuah nama Jawa yang galib ditemukan di pedalaman dusun dan pegunungan di Temanggung, Magelang, Wonosobo, dan Purworejo. Dia tampaknya sulung, anak pertama, terlihat jelas dari nama tengah “Eko atau Eka” (bahasa Sanskerta-Jawa yang berarti “satu” atau “sulung”).
Nama pertamanya diambil dari bahasa Sanskerta, Anang merujuk pada dewa asmara dalam mitologi Hindu kuno, atau berarti “seseorang yang menyukai keindahan” dalam makna Jawa dan Sunda kunonya. Sedangkan nama terakhirnya, Priyono berarti “berbakat, cerdas, kreatif dan kritis”.
Di Jawa, nama itu sakral dan mencerminkan latar sosial dan keagamaan. Secara antropologis, dari nama Sanskerta-Jawa ini, AE tampaknya bukan berasal dari keluarga santri, apalagi kiyai Jawa. Sebab, hanya kiyai dan santri yang memanggil anaknya dengan dengan nama-nama Arab. Mungkin, jika orang tuanya seorang kiyai atau santri di kampungnya, AE bukanlah “Anang Eko Priyono”, tetapi “Muhammad Wahid Dzaki” atau malah “Abdurrahman Ad-Dzaki Wahid”. Tetapi, racikan nama islami ini tampak jauh dari latar kultural dan sosial keluarganya yang muslim abangan atau setidaknya seorang priyayi desa.
AE adalah cerminan perubahan sosial dan orientasi keagamaan generasi sejamannya. Seperti Bahtiar Effendy dan Agus “Lenon” Edy Santoso yang juga baru saja berpulang, AE adalah generasi 50-an yang berasal dari keluarga priayi atau abangan desa, bersekolah di kota, dan menjadi aktifis Muslim.
Mereka dididik dalam ritus perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada akhir 1970 dan awal 1980-an yang semarak dan bergairah. Dikungkung oleh tirani besi Orde Baru, angin pembaruan Islam, dan arus revolusi Islam Iran 1979, mereka tumbuh menjadi santri baru yang mencitakan demokrasi, sekaligus visi Islam tentang kehidupan sosial, agama, politik dan ekonomi yang maju, modern, dan berkeadilan.
Generasi ini melakukan pembacaan ulang atas kredo dan doktrin Islam secara radikal, berbeda dari generasi santri Muslim era sebelumnya. Jika generasi Mohammad Natsir—pun demikian dengan sejumlah tokoh penting dalam Muhammadiyah dan NU pada periode itu, masih melihat pentingnya demokrasi agama Islam sebagai visi dan utopia politik mereka, dan juga generasi Nurcholish Madjid melihat pentingnya pembaharuan Islam, sejamannya AE lebih jauh melihat perlunya kredo Islam dibumikan secara nyata dalam lapangan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka mengusung transformasi nilai-nilai Islam dalam serangkaian kondisi objektif yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Lebih khusus lagi, berkawan akrab dengan Kuntowijoyo secara intelektual, AE tampaknya banyak terinspirasi oleh maksima-maksima ilmu sosial profetik Kunto, yang mensyaratkan perlunya objektifikasi Islam dan pendekatan ilmu sosial profetik untuk mendorong masyarakat Muslim transformatif, liberatif, dan transendental yang beriorientasi pada ilmu.
Karena itulah, bisa dipahami, betapa AE sepanjang hayatnya adalah seorang pribadi yang selalu gelisah dan berpikir— kadang terlihat frustasi, tentang perubahan sosial dan politik di Indonesia yang ia turut lahirkan, alami, dan rasakan itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Ia kecewa dengan Reformasi yang dibajak segelintir elite. Dalam bahasanya, perkembangan politik Indonesia pasca demokrasi adalah perampokan elite atas kuasa “demos” atau “rakyat”.
“Tidak ada demos dan cratos lagi. Yang tampil, wajah bengis oligarki dan partokrasi. Reformasi telah mati. Kita sekarang ada di post-nya post-Reformasi,” katanya dengan getir dalam refleksi PVI di Puncak Bogor tahun 2013 lalu. Karena itu, AE yakin perlunya sebuah cara baru untuk merestorasi “vox populi” dalam panggung politik, ekonomi dan sosial Indonesia, yakni dengan mendorong terwujudnya demokrasi deliberatif dan partisipatoris melalui penciptaan kanal-kanal politik yang bertumpu pada kantong dan kelas sosial ekonomi masyarakat; partai buruh, partai guru, partai tani, partai mahasiswa dan sebagainya.
Gagasan politik kelas ini tampaknya terinspirasi oleh Kuntowijoyo yang mengkritik sistem kaderisasi Muhammadiyah yang berbasis jenis kelamin dan jenjang usia. Kata Kuntowijoyo, sistem tersebut hanya menjauhkan Persyarikatan dari persoalan nyata yang terjadi di basis-basis sosial ekonomi masyarakat. Kritik Kunto diwujudkan melalui Lembaga Buruh Tani dan Nelayan (LBTN) Muhammadiyah yang sempat dipimpin Moeslim Abdurrahman, Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM), LAZISMU untuk proteksi kaum dhu’afa dan mustad’afin dan sebagainya.
Namun demikian, tidak seperti Kunto yang juga aktifis Muhammadiyah, AE tampaknya menemukan jalan terjal untuk mengadvokasi dan mewujudkan konsep politik kelasnya itu dengan baik. Ia tidak punya basis massa yang bisa menangkap dan mewujudkan gagasannya. Tak lain dan tak bukan, ia adalah seorang pemikir bebas yang tidak terikat oleh sebuah organisasi sosial kemasyarakatan agama dan atau politik kecuali oleh prinsip dan “jalan pedang” yang diyakininya sendiri.
Intelektual Zuhud
AE adalah seorang intelektual zuhud. Badannya boleh ringkih, tetapi tidak untuk jiwa dan pikirannya yang merejat-rejat. Moda transportasi personalnya mungkin hanya sepeda motor butut dan mobil Taruna tua dan mengusam, namun tidak dengan tilikan kritis dan tajamnya atas fenomena agama, sosial dan politik belakangan. Di tengah banyak teman sejawat dan seangkatan yang bergelimang pangkat dan jabatan, ia tetap pribadi yang bersahaja dengan kaca mata bulat yang tahunan membantu kedua matanya menyisir kejadian demi kejadian.
Menjelang akhir hayatnya, melalui media sosial Facebook yang ia rawat dan kelola, ia kerap mengkritik fenomana konservatisme agama dan politik umat Islam —yang dicintainya itu. Ia mengkritik penggunaan simbol agama untuk tujuan politik yang segregatif, ekslusif dan berakibat pada kebijakan-kebijakan publik sektarian. Ia hanya mual dengan mobilisasi politik agama semisal demo berjilid-jilid pada 2 Desember 2016 lalu.
Sekilas, AE adalah seorang intelektual Muslim yang menolak agama. Tidak. Ia mencintai agama hingga tulang sumsum dan kedalaman hatinya. Ia menghendaki agamanya itu bisa bermanfaat dan mencerahkan semesta umat, tidak melalui simbol-simbol noraknya, tetapi melalui perwujudan nilai-nilai esoterik dan universalnya. Ia tak ingin Islam yang amat ia cintai dengan caranya sendiri dibajak dan dikotori oleh segelintir agamawan dan politisi yang mendaku suci.
Dalam membela Basuki Tjahja “Ahok” Purnama dan mengkritik Anis Baswedan dalam Pilkada Jakarta, AE laksana seorang sufi yang menyingkap inti paling inti dari sebuah hakikat politik adiluhung yang mengusung moral virtues, kebajikan dan keutamaan moral. Dus, ia melihat esensi dan konsisten membela nilai sejati, bukan simbol atau jasad figuran para politisi.
Dalam konteks politik yang dia yakini; kecakapan dalam urusan publik dan kelihaian mewujudkan kesejahteraan dan keadilan adalah prinsip esensial Islam, bukan gulungan sorban dan kata-kata indah yang meninabobokkan.
Itulah AE. Ia benar-benar Anang Eko Priyono, seorang lelaki sulung yang berbakat, cerdas, kreatif, dan kritis dalam membaca arah dan perubahan zaman. Sebuah nama indah, yang kepanjangan lengkapnya baru tersingkap publik sesaat setelah tubuhnya mangkat. Selamat jalan Mas AE. Berbahagialah di sana, bersama karib intelektualmu Kuntowijoyo!