Jumat, Maret 29, 2024

Amuk Leviathan Hobbesian dalam Konflik Partai Demokrat

Otong Sulaeman
Otong Sulaeman
Doktor filologi lulusan Universitas Padjadjaran, saat ini mengajar Filologi Islam dan Filsafat Politik di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, Jakarta.

Tahun 1651, Thomas Hobbes menerbitkan buku berjudul “Leviathan”. Nama leviathan merujuk kepada monster sangat ganas dalam mitologi Yunani. Makhluk yang hidup di lautan ini memilki tubuh yang sangat besar, hingga mampu menelan kapal. Hewan ini juga bersisik, serta punya cakar dan gigi yang tajam. Kehadiran leviathan dipastikan akan menciptakan kekacauan dan horor.

Seperti nama bukunya, Hobbes berpendapat bahwa keadaan alamiah manusia itu sama dengan leviathan, penuh dengan situasi yang kacau dan horor kematian. Pada dasarnya, manusia adalah penumpah darah, suka berperang, serta gemar melakukan kerusakan. Dalam bukunya yang lain, De Cive, Hobbes mengutip pendapat filosof Plautus bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang ganas, perusak, dan saling menumpahkan darah, sebenarnya juga ada dalam teologi agama-agama samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi). Sifat-sifat buruk itulah yang menjadi kesan pertama para malaikat saat Adam diumumkan oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi. Dalam kitab suci dikisahkan bahwa kesan seperti itu langsung ditepis oleh Tuhan dengan memperlihatkan sisi lain yang istimewa dari manusia.

Kembali kepada Hobbes, di dalam buku Leviathan itu, ia juga menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (homo homini socius). Manusia punya kebutuhan dasar untuk berinteraksi satu sama lain. Agar watak dasar leviathan itu tidak sampai menciptakan kerusakan, diperlukan seorang atau lembaga yang menjadi pengatur kehidupan manusia..

Dalam teori Hobbes, negara ideal itu berbentuk “monarki-absolut”. Negara dipimpin oleh raja yang memiliki kekuasaan tidak terbatas (absolut). Kekuasaan jenis ini diperlukan untuk “menjinakkan” situasi alamiah berupa monster yang setiap saat siap kembali menciptakan chaos.

Hobbes mendorong rakyat untuk menyepakati kontrak sosial berupa penunjukkan seorang atau sekelompok orang yang menjadi penguasa absolut. Model negara seperti ini tetap dianggap berasal dari aspirasi rakyat, karena meskipun berkuasa secara absolut, penguasa tersebut tetap merupakan hasil pilihan rakyat.

Teori politik Hobbesian ini saya kira masih terus sering dipakai oleh sebagian politisi di Indonesia sebagai dasar pemikiran untuk berbagai tindakan politik mereka. Indonesia pernah mengalami dua kali masa kepresidenan yang sangat panjang, yaitu di masa Soekarno dan Suharto. Kedua presiden itu “dipilih” oleh rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi. Akan tetapi, keduanya terus “diminta” untuk tetap berada di kursi kekuasaan dalam jangka waktu lama, dengan alasan “stabilitas”. Keduanya dianggap sebagai orang kuat yang diharapkan mampu menjinakkan situasi chaos yang setiap saat siap muncul dalam kehidupan politik Indonesia.

Prinsip yang sama juga muncul di level yang lebih rendah, yaitu di level partai.  Bahkan, pemikiran Hobbesian itu tampaknya lebih dominan muncul pada level partai, meskipun struktur politik Indonesia sudah memasuki era reformasi yang lebih liberal. Kemunculan “orang kuat” di partai selalu disambut dengan keriangan politik sekaligus optimisme bahwa orang kuat itu mampu menjadi ikon sekaligus penjaga stabilitas partai. Lihatlah, bagaimana Megawati lenggeng puluhan tahun memimpin PDI Perjuangan. Hal yang sama dengan durasi waktu di bawahnya juga terjadi pada Partai Gerindra di bawah Prabowo, atau Hanura di masa kejayaan Wiranto.

Ini pula yang terjadi pada Partai Demokrat. Partai ini meraih puncak kejayaan pada pemilu tahun 2009, ditandai dengan keberhasilan SBY meraih posisi presiden untuk kedua kalinya, dengan prosentase kemenangan sangat besar, yaitu lebih dari 60%. Maka, SBY menjadi orang yang sangat kuat di Partai Demokrat. Maka, dalam kongres partau tahun 2010, dibentuklah struktur baru bernama Majelis Tinggi, dengan kekuasaan yang bisa dikatakan sangat besar dan hampir absolut. Segala keputusan strategis partai, termasuk penetapan capres, persetujuan calon ketua umum, hingga pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) harus sepersetujuan Majelis Tinggi. Tentu saja, yang menjadi ketua pada organ tersebut adalah SBY. Jabatan ketua Majelis Tinggi itu dipegang oleh SBY sejak dibentuknya struktur ini tahun 2010 hingga sekarang.

Adanya model kekuasan yang sangat kuat di dalam tubuh Partai Demokrat itulah yang menjadi titik utama kritikan yang disampaikan oleh sejumlah kader dan mantan kader Partai Demokrat. Inilah narasi yang terus digulirkan hingga terselenggaranya Kongres Luar Biasa PD, yaitu ingin mengembalikan Partai Demokrat menjadi partai terbuka.

Tentu saja, narasi seperti ini mengandung sejumlah lubang, misalnya, terkait dengan fakta bahwa para penggagas KLB itu pula yang dulunya ikut menyetujui pembentukan struktur Majelis Tinggi. Mereka pula yang secara aklalamasi menunjuk SBY sebagai ketuanya.

Konflik di tubuh partai demokrat adalah potret kecamuk api leviathan. Ada ambisi dan rivalitas; ada fenomena saling menikam dan saling menyingkirkan. Mereka yang dulunya seia sekata kini terlibat dalam pertengkaran keras yang diumbar di ruang publik.

Dulu, pemikiran Hobbes itu dikritik oleh para pemikir setelahnya. John Locke berpendapat bahwa keadaan alamiah manusia tidaklah sekacau seperti yang digambarkan Hobbes. Menurut Locke, selain punya kecenderungan kasar, manusia juga punya akal. Hal yang mirip juga disampaikan Montesquieu dan Rousseau. Bahkan, menurut Rousseau, manusia justru pada dasarnya adalah baik, cinta damai, memiliki cita rasa kebebasan sejak lahir, serta tidak suka perang.

Pemikiran Hobbes juga cenderung ditolak oleh falsafah dasar bangsa Indonesia, Pancasila. Manusia Indonesia diidentifikasi sebagai orang yang berketuhanan, menjunjung tinggi nilai-nilai etika, keadaban, dan keadilan, cenderung hidup harmonis dan menjunjung tinggi persatuan, serta mengutamakan kepentingan rakyat dan menjadikan musyawarah sebagai pilihan utama saat membicarakan kepentingan rakyat tersebut. Juga, yang sangat penting, Pancasila mengamanahkan negara ini dikelola oleh mereka yang memiliki sifat bijaksana, bukan mereka yang pandai beretorika dan berdebat.

Konflik di Partai Demokrat dan juga berbagai rivalitas politik di partai lainnya, membawa pertanyaan besar bagi bangsa ini: telah seberapa jauh kita berjarak dengan watak dasar kita sebagai bangsa Indonesia?

Otong Sulaeman
Otong Sulaeman
Doktor filologi lulusan Universitas Padjadjaran, saat ini mengajar Filologi Islam dan Filsafat Politik di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.