Salah satu pelajaran terpenting dari pandemi bukan saja perihal penanganan medis atau pemulihan ekonomi, namun lebih-lebih bagaimana situasi krisis ini dapat menumbuhkan modal sosial (social capital) berupa rasa saling percaya dan solidaritas. Modal sosial inilah yang akan berdampak jangka panjang dalam menjaga optimisme masyarakat, bahwa seberat apapun tantangan yang dihadapi, kita mampu mengatasinya.
Pertanyaan pentingnya, apakah pandemi ini melahirkan altruisme atau justru apatisme di tengah masyarakat? Altruisme berarti perasaan dan sikap rela berkorban demi kepentingan bersama. Sebaliknya, apatisme berarti cuek dan tak peduli pada apapun yang terjadi di lingkungan sekitar. Apatisme ditandai dengan kehilangan empati pada mereka yang menjadi korban pandemi, baik yang terpapar secara medis maupun yang termiskinkan lantaran kekurangan atau bahkan kehilangan mata pencaharian.
Tumbuhnya altruisme dapat meningkatkan modal sosial, sebaliknya lahirnya apatisme bakal menghancurkan modal sosial tersebut. Padahal, sebagaimana disebut Francis Fukuyama, modal sosial merupakan fondasi terpenting sebuah bangsa dalam membangun masa depan. Fukuyama mendefinisikan modal sosial sebagai nilai-nilai informal yang dimiliki bersama di antara suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka (Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, 1995).
Tesis Fukuyama ini dilanjutkan dengan catatan bahwa tak mungkin kemakmuran sebuah bangsa tercapai jika modal sosialnya rendah, yang ditandai dengan lemahnya rasa saling percaya dan saling peduli. Kaitannya dengan pandemi Covid-19, dampak ekonomi tentu tak terhindarkan. Sebab itulah, modal sosial diharapkan dapat menjadi kunci dalam melewati fase krisis ini.
Dalam konteks Indonesia, tinggi atau rendahnya modal sosial dapat dilihat dari sejauh mana aktivitas kerelawanan (voluntarisme) dan kedermawanan (filantropisme) saat pandemi. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per 1 September 2021, relawan yang tergabung dalam satuan tugas nasional penanganan Covid-19 mencapai 43.339 orang. Itu belum dihitung relawan via lembaga swasta seperti Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Masyarakat Relawan Indonesia (MRI), hingga relawan di tingkat lokal berbasis komunitas seperti Mahasiswa Relawan Siaga Bencana (Maharesigana).
Tingginya semangat masyarakat Indonesia untuk terlibat dalam aktivitas kerelawanan setidaknya melahirkan optimisme. Bahwa kita masih saling percaya dan saling peduli. Tak mungkin seseorang bersedia menjadi relawan jika tak punya rasa peduli. Tak mungkin pula ia menjadi relawan jika tak percaya bahwa perubahan yang lebih baik pasti terjadi. Bahwa kita bisa menghadapi pandemi ini bersama-sama.
Dalam konteks global, sebuah studi yang dilakukan oleh Lifespan Brain Institute (LiBI) Philadelphia pada sejumlah negara di Eropa dan Amerika menunjukkan hasil yang menggembirakan. Dari sebanyak 3.042 orang yang terlibat dalam survei terkait kekhawatiran akan dampak Covid-19 bagi kesehatan fisik dan mental mereka, hanya 19,9% responden saja yang khawatir dirinya tertular virus, sementara 48,5% persen lebih khawatir jika keluarga mereka yang terpapar, lalu 36% responden khawatir jika dirinya tanpa sadar menulari orang lain. Hasil temuan LiBI ini menunjukkan tingginya altruisme warga dunia kala pandemi. Mereka lebih khawatir terhadap kondisi orang lain ketimbang dirinya sendiri.
Dunia layak berbelasungkawa karena pandemi Covid-19 telah menjangkiti lebih dari 200 juta orang dan merenggut lebih dari 4,5 juta nyawa. Namun, hal itu tak lantas menyurutkan rasa kemanusiaan kita. Masyarakat global memiliki modal sosial yang sangat kuat untuk bangkit. Tingginya rasa peduli yang terwujud dalam aktivitas kerelawanan dan kedermawanan adalah contoh paling nyata.
Penanganan pandemi di Indonesia pun sangat terbantu oleh filantropisme global. Berdasarkan data dari The White House (whitehouse.gov), Indonesia merupakan penerima donasi vaksin terbesar dari Amerika Serikat (AS), melampaui Filipina dan Kolombia di peringkat kedua dan ketiga. Indonesia menerima 8 juta dosis vaksin dari AS.
Bahkan, dalam sebulan terakhir, sebagaimana disampaikan Menkominfo (21/8), Indonesia ‘kebanjiran’ donasi dari berbagai negara. Mulai dari donasi 1.380 konsentrator oksigen dari Komunitas Changi Airport di Singapura, 176 ventilator dari warga New York, hingga hibah tahap pertama 450 ribu dosis vaksin AstraZeneca dari Pemerintah Belanda. Total, Belanda menyiapkan 3 juta vaksin bagi Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia juga terlibat aktif dalam memberikan bantuan dan dukungan kemanusiaan pada sejumlah negara sahabat. Di antaranya bantuan tabung oksigen bagi pemerintah India, logistik pembangunan tempat isolasi pasien Covid-19 untuk Singapura, bantuan kemanusiaan ke Wuhan dan Palestina, hingga dukungan akses kesetaraan vaksin melalui Coalition for Epidemic Preparedness Innovation (CEPI).
Pandemi boleh saja melahirkan krisis multidimensi bagi kehidupan kita. Namun selama modal sosial kita terjaga, optimisme akan selalu menyala. Altruisme yang ditunjukkan masyarakat global membuat kita percaya, apapun kesulitan yang dihadapi, senantiasa ada tangan-tangan mulia yang siap sedia memberikan dukungan dan bantuan atas nama kemanusiaan.
Melewati satu setengah tahun pandemi amatlah berat, terlebih diiringi ketidaktahuan kapan situasi ini akan berakhir. Sungguh sia-sia jika kita mengisi hari-hari dengan mengutuk keadaan ini. Justru, situasi pandemi adalah kesempatan bagi kita untuk membangkitkan rasa peduli dan empati. Ini adalah kesempatan berbagi dan menyalakan solidaritas.
Fenomena voluntarisme dan filantropisme yang terus tumbuh menjadi modal sosial yang amat berharga bagi bangsa ini. Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche pernah berkata, “That which does not kill us, makes us stronger” (Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat). Jika kita mampu melewati krisis ini, percayalah, kita bakal menjadi generasi tangguh yang berguna bagi bangsa ini di masa depan.